Menu

Mode Gelap

Opini · 1 Agu 2025 15:44 WIB ·

Polemik Usia Balig pada Wali Nikah

Penulis: Nor Lutfi Fais


 Polemik Usia Balig pada Wali Nikah Perbesar

Kajian mengenai batas usia minimal balig (akil balig) sebenarnya telah banyak dilakukan, baik melalui perbincangan tatap muka atau tulisan artikel. Meski demikian, aplikasinya di lapangan sering kali masih mengundang pertanyaan.

Seorang kawan yang juga berprofesi penghulu pernah bercerita kepada penulis bahwa aplikasi usia balig oleh penghulu, utamanya berkaitan dengan wali nikah, masih mengalami perbedaan. Beberapa ada yang berpatokan pada angka 18. Sementara sisanya lebih memilih angka yang lebih rendah, 15.

Sebuah reel yang diunggah Instagram milik Muhammad Faiz Arrauhi juga belakangan ramai sebelum akhirnya di take down menyusul kontennya yang dinilai kurang pas oleh beberapa penghulu terkait aplikasi wali nikah. Pangkal masalahnya setelah ditelusuri juga berkaitan dengan soal balig.

Oleh karenanya, bagaimana sebenarnya batasan usia balig bagi wali nikah?

Fikih Balig

Di beberapa tulisan yang terbit di portal-portal keislaman, pembahasan mengenai balig selalu diposisikan sebagai sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena balig menjadi batas minimal seseorang dikenakan kewajiban dan tanggung jawab syariat atau taklif, baik dalam ibadah ataupun muamalah.

Artinya, ketika seseorang telah mencapai usia balig maka ia wajib melaksanakan perintah syariat dan berhak atas pahalanya, seperti salat dan puasa. Ia juga wajib menjauhi larangannya dan akan mendapatkan dosa jika melanggarnya.

Meski demikian, sejatinya balig tidak menjadi kriteria satu-satunya seseorang berstatus mukallaf, tetapi juga berakal. Hanya saja, karena akal bersifat abstrak sehingga balig dipilih sebagai praduga. Karena balig lebih terdefinisikan (mundlabith) ketimbang berakal.

Di tulisan-tulisan tersebut juga dijelaskan tanda-tanda seseorang telah berstatus balig. Misalnya keterangan yang dirujuk dari kitab Safinah al-Najah karya Syekh Salim ibn ‘Abdillah al-Hadlramiy,

عَلَامَاتُ اْلبُلُوْغِ ثَلَاثٌ: تَمَامُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فِي الْذَّكَرِ وَالْأُنْثَيْ وَالْإِحْتِلَامُ فِي الْذَّكَرِ وَالْأُنْثَيْ لِتِسْعِ سِنِيْنَ وَالْحَيْضُ فِي الْأُنْثَيْ لِتِسْعِ سِنِيْنَ

“Tanda-tanda balig ada tiga: sempurnanya usia 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan, mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan ketika berusia 9 tahun, dan menstruasi bagi perempuan (saja) ketika berusia sembilan tahun.” (Safinah al-Najah, 2009: 17)

Dari ketiga tanda tersebut, fokus pada tulisan kali ini relasinya dengan masalah wali nikah adalah usia, yang dalam penjelasan Syekh Salim adalah 15 tahun.

Apa yang disebutkan oleh Syekh Salim ini merupakan representasi dari mazhab Syafii. Karena dalam mazhab lain usia balig ditetapkan pada usia 17 dan 18. Yang terakhir ini (18) merujuk pada keterangan Wahbah al-Zuhailiy dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh merupakan pendapat mazhab Hanafi.

الثالث البلوغ: وعلاماته خمس: الاحتلام، وإنبات الشعر، والحيض، والحمل، وبلوغ السن، وهو خمسة عشر عاماً، وقيل: سبعة عشر عاماً، وقال أبو حنيفة: ثمانية عشر عاماً.

Merujuk pada ulasan yang lirboyonet, dari kitab Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba‘ah, semua mazhab menyebutkan bahwa batas usia balig adalah 15 tahun, kecuali mazhab Maliki yang menetapkan usia 18.

Terlepas dari perbedaan pendapat mazhab yang ada, batas maksimal usia balig adalah 18. Artinya, jika seseorang telah mencapai usia 18 tahun (hijriah, karena hitungan usia dalam kitab-kitab Islam merujuk pada kalender hijriah) maka ia telah dianggap balig, kendati belum mengalami mimpi basah atau menstrusi.

Regulasi Balig

Kriteria balig bagi wali nikah pada regulasi perkawinan di Indonesia sempat mengalami perubahan sebagaimana dapat dilihat melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) yang telah ditetapkan. PMA Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah menetapkan bahwa syarat wali adalah baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun. Tambahan ‘berumur sekurang-kurangnya 19 tahun’ ini juga berlaku tidak hanya pada wali saja, tetapi juga pada saksi nikah dan wakil suami.

Tambahan tersebut kemudian ‘hilang’ pada PMA-PMA berikutnya, yakni PMA Nomor 19 Tahun 2018 Tentang Pencatatan Perkawinan, PMA Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan, PMA Nomor 22 Tahun 2024 Tentang Pencatatan Pernikahan, dan PMA Nomor 30 Tahun 2024 Tentang Pencatatan Pernikahan.

Jika menilik dari fikih mazhab empat sebelumnya, syarat ‘baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun’ memang cukup problematik. Pasalnya, status balig tidak hanya dengan kriteria usia, tetapi juga bisa dengan mimpi basah atau menstruasi. Oleh karenanya, akan timbul kontradiksi jika status balig justru dibatasi dengan kriteria usia.

Hal ini yang kemudian memunculkan ‘protes’ dari forum Bahtsul Masail Bu Nyai Nusantara dan Muslimat NU se-Jawa Timur. Dikutip dari NU Online Jawa Timur, alih-alih menetapkan usia 19 tahun forum tersebut hanya merekomendasikan ‘syarat’ rusyd bagi wali. Dalam konteks wali, rusyd ini merupakan pemahaman kemaslahatan pernikahan bagi wali nikah .

Menjawab Pertanyaan Balig

Ada sebagian penghulu yang mengajukan isykalan, apakah jika usia minimal disebutkan sebagaimana PMA terdahulu, menyalahi syariat?

Pertanyaan ini dapat digambarkan ke dalam dua shurah. Pertama, syarat wali nikah turut menyertakan redaksi ‘balig’ di samping menetapkan usia secara eksplisit sebagaimana PMA Nomor 11 Tahun 2007. Kedua, syarat walil nikah langsung menetapkan usia minimal tanpa menyertakan redaksi ‘balig’.

Perlu dipahami bahwa tiga tanda balig sebagaimana dijelaskan Syekh Salim sebelumnya bersifat independen. Artinya, seseorang yang telah mengalami salah satu dari tiga tanda tersebut, otomatis menyandang status balig. Oleh karenanya, gambaran pertama yang menyertakan redaksi ‘balig’ di samping menetapkan usia justru akan menjadikan rancu status balig itu sendiri. Hal ini karena independensi masing-masing tanda balig. Sementara pada gambaran kedua, terdapat reduksi terhadap tanda-tanda balig sebagaimana kesepakatan ulama empat mazhab. Menyalahi syariat atau tidak? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Jika dikatakan bahwa penetapan usia didasarkan pada kematangan nalar berpikir wali (rusyd) maka agaknya kurang tepat. Penyebabnya karena nalar berpikir lebih dekat kaitannya dengan syarat ‘berakal’, bukan pada syarat ‘balig’.

Alasan yang mungkin tepat untuk menjawab penetapan usia (19 tahun) pada syarat ‘balig’ adalah rujukan terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada undang-undang tersebut anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kendungan. Sehingga wali yang belum berusia 18 tahun dianggap belum cakap mengingat statusnya yang masih anak-anak.

Namun demikian, kriteria anak dalam regulasi perundang-undangan dan dalam ketentuan syariat sangatlah berbeda. Anak dalam ketentuan syariat boleh jadi merupakan terjemahan dari shabiyy atau murahiq. Dan dalam ketentuan syariat, ketika ia telah mencapai salah satu dari tiga tanda balig, ia dianggap dewasa (mukallaf) hingga dikenai kewajiban syariat.

Kesimpulan

Alhasil, penggunaan redaksi ‘balig’ dalam syarat wali nikah sebagaimana penetapan PMA-PMA pasca PMA Nomor 11 Tahun 2007 sudah tepat. Toh, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga hanya menggunakan redaksi ‘balig’ tanpa penjelasan usia tertentu. Adapun implementasinya di lapangan yang mengalami perbedaan, itu menjadi hak prerogatif penghulu sebagai representasi qadli yang memutuskan. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Next Post Sekufu
0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 31 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

“Cuan” Memboming Dengan Aksi Viral [catatan harian penghulu]

1 Oktober 2025 - 00:03 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Musrenbang Sebagai Penjembatan Program KUA Kecamatan

29 September 2025 - 21:27 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Pengukuhan dan Rakerwil PW APRI Aceh 2025–2029: Momentum Kebersamaan, Profesionalisme, dan Penguatan Peran Penghulu

29 September 2025 - 06:21 WIB

“BIMWIN” Disandingkan Dengan “Tepuk Sakinah”

28 September 2025 - 20:37 WIB

Trending di Opini
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x