Tahun 2024 ini Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) mengusung tema “Teguhkan Komitmen Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju.” Tema ini mengisyaratkan pentingnya peran semua elemen masyarakat, termasuk penghulu yang bernaung di bawah Kementerian Agama, dalam mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi. Sebagai tokoh yang memiliki peran strategis dalam pelayanan publik, penghulu kerap berada di garis depan dalam urusan sosial dan administrasi, khususnya layanan pernikahan. Oleh karena itu, kesadaran dan komitmen penghulu dalam mencegah gratifikasi sangatlah penting.

Gratifikasi, dalam bentuk pemberian uang, barang, atau fasilitas lainnya, sering kali dianggap sebagai “hadiah” atas jasa pelayanan. Dalam beberapa kasus, tidak disadari bahwa pemberian tersebut berpotensi melanggar hukum, terutama jika dimaksudkan untuk mendapatkan pelayanan khusus atau mempercepat proses tertentu.

Pemberian tersebut, dalam konteks budaya, kadang juga dianggap sebagai bentuk rasa terima kasih, namun menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi yang diterima oleh pejabat publik harus dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemberian yang tidak dilaporkan dapat menimbulkan persepsi negatif di masyarakat, menimbulkan potensi konflik kepentingan, dan menurunkan integritas profesi penghulu.

 

Peran Penghulu dan Strategi Pencegahan Gratifikasi

Penghulu memiliki tugas utama di bidang pelayanan pernikahan, baik di dalam maupun di luar Kantor Urusan Agama (KUA), yang perannya tentu bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sehingga untuk meneguhkan komitmen dalam mencegah gratifikasi, penghulu dapat melakukan beberapa hal.

  1. Edukasi tentang Gratifikasi kepada Masyarakat

Dalam upaya mencegah gratifikasi, edukasi kepada masyarakat merupakan langkah penting dan mendasar. Sebagian masyarakat belum memahami perbedaan antara “hadiah” yang sah menurut norma sosial dan gratifikasi yang melanggar hukum. Ketidaktahuan ini sering kali menjadi celah yang dimanfaatkan untuk memperkuat budaya pemberian yang tidak sepatutnya. Oleh karena itu, penghulu memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan informasi yang jelas kepada masyarakat tentang pentingnya menghindari gratifikasi.

Penyampaian pesan anti-gratifikasi kepada masyarakat dapat dilakukan penghulu dalam berbagai momen, seperti dalam kegiatan bimbingan perkawinan atau acara pernikahan. Penghulu dapat menyampaikan pesan tentang: Pertama, Hak dan Kewajiban dalam Pelayanan Publik, masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa pelayanan yang diberikan penghulu sudah diatur oleh regulasi dan tidak membutuhkan pemberian tambahan. Dengan memahami hak mereka, masyarakat dapat terhindar dari praktik yang tidak sesuai aturan. Kedua, Bentuk Apresiasi, jika masyarakat ingin menunjukkan rasa terima kasih, penghulu dapat menyarankan bentuk apresiasi nonmateri yang tidak melanggar hukum, seperti doa atau ucapan terima kasih secara langsung.

  1. Berani Katakan “Jangan”

Sebagai pejabat publik, penghulu harus berani berkata “jangan” terhadap setiap bentuk pemberian yang berpotensi menjadi gratifikasi. Sikap tegas ini penting untuk menanamkan prinsip anti-gratifikasi, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada masyarakat.

Berani Menolak dengan Bijak, ketika masyarakat menawarkan pemberian, penghulu dapat dengan sopan menolaknya sambil memberikan penjelasan bahwa tugas yang dilaksanakan sudah menjadi kewajiban tanpa memerlukan imbalan tambahan. Misalnya, penghulu dapat berkata: “Terima kasih, tetapi saya tidak dapat menerima ini.” Selain itu, untuk menegaskan agar masyarakat tidak memberikan imbalan, penghulu dapat menyampaikan pesan kepada pasangan calon pengantin atau masyarakat, baik ketika pelaksanaan bimbingan perkawinan maupun sebelum mengakhiri acara akad nikah, dengan mengatakan, “nanti setelah akad nikah selesai, jangan memberikan imbalan kepada penghulu.”

Jadilah Teladan, seorang penghulu ketika secara konsisten menolak gratifikasi, masyarakat akan belajar dan mulai menghormati prinsip tersebut. Teladan ini akan menciptakan efek berantai, di mana masyarakat akan menjadi lebih sadar dan ikut serta dalam mendukung budaya anti-gratifikasi. Salah satu teladan adalah sebagaimana yang telah dilakukan oleh tiga kepala KUA di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan yang mengembalikan uang gratifikasi kepada unit pengendalian gratifikasi (kemenag.go.id, 29/11/2024).

 

Kesadaran Bersama dan Ketegasan Aturan

Budaya pemberian di masyarakat sering kali dipersepsikan sebagai bagian dari tradisi dan rasa hormat. Perbedaan persepsi ini memerlukan kesepakatan dan kesepahaman bersama, tidak hanya di masyarakat tetapi juga sesama penghulu atau ASN, sehingga akan melahirkan kesadaran bersama. Perbedaan persepsi juga memerlukan aturan yang jelas dan ketegasan pimpinan, misalnya semua pemberian di luar aturan adalah gratifikasi apapun bentuk dan rupanya.

 

Kesimpulan

Penghulu, yang tentunya juga perlu dukungan dari semua pihak, memiliki peran strategis dalam mencegah gratifikasi sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan meningkatkan kesadaran dan integritas dalam menjalankan tugasnya, penghulu dapat menjadi teladan dalam memperjuangkan nilai-nilai anti-gratifikasi di masyarakat. Peringatan Hakordia tahun 2024 dapat menjadi momentum bagi para penghulu untuk terus meneguhkan komitmennya dalam mewujudkan Indonesia yang bersih dari gratifikasi demi kemajuan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *