Menu

Mode Gelap

Kolom · 23 Agu 2025 06:30 WIB ·

Penghulu di Era Digital Antara Tradisi dan Transformasi

Penulis: Ahmad Zarkasyi Mujahid


 Penghulu di Era Digital Antara Tradisi dan Transformasi Perbesar

Penghulu merupakan figur penting dalam sistem sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia. Keberadaannya tidak hanya dipandang sebagai representasi negara dalam pencatatan pernikahan, tetapi juga sebagai simbol otoritas agama yang menjaga kesakralan akad nikah. Peran ganda inilah yang menjadikan penghulu memiliki posisi unik sebagai birokrat sekaligus ulama, sebagai pelayan administrasi sekaligus pendidik masyarakat. Namun, dalam dua dekade terakhir, perubahan besar terjadi: era digital menghadirkan tantangan sekaligus peluang yang menuntut penghulu untuk bertransformasi.

Salah satu bentuk konkret transformasi itu adalah digitalisasi administrasi pernikahan melalui Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH). Jika dahulu pendaftaran pernikahan mengharuskan calon pengantin membawa berkas fisik yang menumpuk, kini proses tersebut dapat dilakukan secara daring dengan lebih cepat dan transparan. Digitalisasi ini menghadirkan efisiensi, mengurangi praktik penyalahgunaan administrasi, sekaligus memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Akan tetapi, di balik kelebihan tersebut, muncul pula persoalan literasi digital yang belum merata di masyarakat, khususnya di daerah pedesaan. Dalam konteks inilah, penghulu dituntut bukan hanya menjadi pencatat, tetapi juga fasilitator yang mampu menjembatani kesenjangan teknologi.

Transformasi digital juga berdampak pada aspek edukatif penghulu, terutama dalam bimbingan perkawinan. Regulasi Kementerian Agama mewajibkan pasangan calon pengantin mengikuti bimbingan perkawinan, yang semula hanya dilaksanakan secara tatap muka di KUA. Namun, pandemi COVID-19 mempercepat inovasi: bimbingan kini tersedia dalam bentuk e-learning, webinar, hingga kelas virtual. Hal ini memperluas jangkauan layanan, memungkinkan calon pengantin di daerah terpencil sekalipun untuk memperoleh materi bimbingan yang standar.

Penulis sendiri beberapa hari yang lalu berkesempatan mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) Fasilitator Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin. Dari kegiatan tersebut, semakin tampak bahwa penghulu memang dituntut untuk tidak lagi terbatas pada peran konvensional di ruang kelas, melainkan bertransformasi menjadi fasilitator digital yang mampu menggunakan teknologi komunikasi sebagai media dakwah dan edukasi. Pengalaman ini sekaligus menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas diri agar penghulu siap menjawab tantangan zaman.

Tidak hanya itu, media sosial kini menjadi ruang baru bagi penghulu untuk berinteraksi dengan masyarakat. Di tengah maraknya konten hiburan yang sering kali minim nilai edukatif, kehadiran penghulu dengan konten kreatif dapat menjadi alternatif literasi pernikahan dan keluarga. Melalui platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube, penghulu dapat menyampaikan materi tentang keluarga sakinah, pengelolaan konflik rumah tangga, hingga edukasi kesehatan reproduksi. Inovasi semacam ini menegaskan bahwa penghulu bukan hanya aktor administratif, tetapi juga komunikator publik yang mampu menyesuaikan diri dengan dinamika zaman.

Namun demikian, transformasi digital tidak berarti meniadakan tradisi. Akad nikah tetap merupakan momen sakral yang harus dijalankan dengan lisan, kehadiran fisik, dan suasana penuh khidmat. Kehadiran penghulu dalam prosesi akad tidak dapat digantikan oleh teknologi, karena pada titik itu penghulu menjalankan fungsi spiritual, bukan sekadar administratif. Allah Swt. menegaskan dalam Al-Qur’an: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Rum: 21). Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan hanya kontrak sosial, tetapi juga ikatan sakral yang tidak bisa dilepaskan dari nilai spiritual.

Di sisi lain, peralihan menuju sistem digital juga menimbulkan tantangan baru terkait kapasitas sumber daya manusia. Tidak semua penghulu memiliki latar belakang teknologi informasi, sehingga diperlukan program pelatihan berkelanjutan untuk memastikan bahwa mereka mampu menguasai aplikasi digital, sistem informasi, dan teknik komunikasi daring. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sungguh-sungguh).” (HR. al-Baihaqi). Hadits ini memberikan landasan moral bahwa penghulu yang profesional harus terus meningkatkan kapasitasnya, termasuk dalam menguasai teknologi baru.

Lebih jauh, era digital juga memunculkan persoalan etika dan keamanan data. Digitalisasi administrasi pernikahan menyimpan data sensitif masyarakat yang harus dijaga kerahasiaannya. Penghulu, bersama dengan instansi terkait, perlu memastikan bahwa penggunaan sistem digital tidak membuka celah bagi kebocoran data atau penyalahgunaan informasi. Prinsip kerahasiaan dan keadilan harus tetap dijunjung tinggi, sebagaimana amanah profesi penghulu selama ini.

Transformasi penghulu di era digital sejatinya merupakan bagian dari proses modernisasi birokrasi di Indonesia. Menurut teori manajemen perubahan Kurt Lewin, setiap organisasi harus melalui tiga tahap: unfreezing, changing, dan refreezing. Penghulu dan KUA telah memasuki tahap changing, di mana adaptasi teknologi menjadi keharusan. Namun, proses refreezing atau pembakuan sistem baru belum sepenuhnya selesai. Masih banyak ruang yang harus diperkuat, baik dari sisi regulasi, kompetensi, maupun infrastruktur.

Dalam perspektif sosiologis, penghulu juga memainkan peran sebagai agen sosialisasi nilai-nilai keluarga. Transformasi digital memberikan medium baru bagi peran ini, tetapi juga menuntut kemampuan narasi yang berbeda. Bahasa digital menekankan kecepatan, visualisasi, dan interaktivitas. Penghulu yang mampu mengemas pesan-pesan moral dalam format yang sesuai dengan karakteristik media sosial akan lebih mudah diterima oleh generasi muda. Dengan demikian, digitalisasi bukan hanya soal alat, tetapi juga tentang membangun pendekatan komunikasi yang relevan dengan audiens masa kini.

Pada akhirnya, penghulu di era digital dihadapkan pada persimpangan: apakah akan bertahan dengan cara lama, ataukah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman? Jawabannya tentu bukan dikotomis, melainkan integratif. Tradisi harus tetap dijaga sebagai akar nilai, sementara transformasi digital menjadi sayap yang memungkinkan profesi penghulu terbang lebih tinggi. Jika keduanya dapat dipadukan, maka penghulu akan tetap relevan, bahkan semakin berperan penting, dalam membangun keluarga sakinah dan masyarakat yang berdaya di era informasi.

1 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 46 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Filosofi “CATIN NAMPAK” [Analisis Kinerja Penghulu Berdampak]

12 Oktober 2025 - 20:03 WIB

Supaya Penuh Syukur Jangan Melihat Nikmat Orang Lain dan Kekurangan Dirimu

22 September 2025 - 15:16 WIB

Pengikat Keharmonisan Pasutri

19 September 2025 - 11:31 WIB

Peran Penghulu dalam Mengawal Kemerdekaan Keluarga dan Bangsa

19 Agustus 2025 - 09:44 WIB

Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Bekasi: Antara Tekanan Sosial dan Tantangan Zaman

22 Juli 2025 - 10:57 WIB

“Penghulu” dalam Potret Pendidikan Masa Lalu

6 Juli 2025 - 07:59 WIB

Trending di Artikel
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x