Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 15 Sep 2025 13:36 WIB ·

Nikah Yes, Living Together No….!!!

Penulis: Khaerul Umam


 Nikah Yes, Living Together No….!!! Perbesar

Oleh :

KHAERUL UMAM, S.Ag*)

(Penghulu Ahli Madya KUA Pakuhaji)

 

 

A. PENDAHULUAN

      Kembali dunia jagat maya, media elektronik dan media cetak negeri ini dihebohkan dan menggemparkan warga seantero negeri serta membuat bulu kuduk merinding dengan berita pembunuhan paling sadis tahun ini. Di sebuah kamar kos sempit di Jalan Raya Lidah Wetan, Surabaya, cinta yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah jadi ruang penyiksaan terakhir. Di sanalah Tiara Angelina Saraswati (25), perempuan lulusan manajemen Universitas Trunojoyo Madura, menghembuskan napas terakhirnya, 31 Agustus 2025. Dia dimutilasi menjadi 310 bagian oleh Alvi Maulana (24), pacarnya sendiri.  Mereka bukan pasangan biasa, sudah lima tahun Bersama, hidup serumah, layaknya suami-istri meski belum menikah sah. Alvi ditangkap dini hari, Minggu, 7 September pukul 01.00 WIB, di kosnya sendiri: tempat pembunuhan dan mutilasi itu terjadi. Tenang. Tak melawan. Seolah sudah menunggu saat itu tiba. Kini, Alvi dijerat Pasal 340 KUHP junto Pasal 338 KUHP. Hukuman maksimal: penjara seumur hidup atau hukuman mati.

      Tapi di balik jeruji besi nanti, pertanyaan tetap menggantung: Bagaimana bisa cinta yang bertahan 5 tahun berakhir dengan 310 potongan tubuh? Apakah ini hanya soal emosi sesaat? Atau akumulasi kekerasan yang tak terlihat selama bertahun-tahun? Kisah Tiara bukan hanya tentang kekejaman seorang pacar. Ini adalah cermin gelap dari hubungan yang tak sehat, di mana kepemilikan mengalahkan kasih sayang, di mana amarah dianggap wajar, di mana kunci pintu jadi simbol perlawanan terakhir, sebelum nyawa jadi taruhannya. Universitas yang sama. Jurusan yang berbeda: informatika dan manajemen. Mereka muda, terpelajar, punya masa depan. Tapi semua itu hancur dalam satu malam, oleh satu pisau, oleh satu ledakan emosi yang tak terkendali. Dan kini, yang tersisa hanyalah 310 potongan yang harus disatukan kembali, bukan hanya secara fisik oleh polisi, tapi juga secara makna oleh kita semua, agar tak ada Tiara lain di masa depan.

      Belakangan ini sedang marak fenomena living together alias hidup bersama tanpa ikatan pernikahan di kalangan anak muda. Masyarakat umum biasa menyebutnya dengan istilah kumpul kebo atau kohabitasi. Praktik kohabitasi atau kumpul kebo semakin menjadi perhatian di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Meningkatnya angka pasangan yang memilih untuk tinggal bersama tanpa status perkawinan resmi menimbulkan kekhawatiran, praktik kohabitasi memiliki implikasi serius terhadap perempuan dan anak-anak, kelompok yang paling rentan dalam struktur keluarga informal. Kohabitasi memiliki risiko struktural yang jauh lebih besar bagi perempuan. Ketika si perempuan misalnya mengalami KDRT atau penyiksaan, dan kekerasan fisik lainnya itu akan punya makna tertentu ketika pelakunya adalah orang terdekat, dia akan sulit untuk memperberat gugatan secara hukum karena hubungan mereka tanpa ikatan pernikahan yang sah.

      Pasangan kohabitasi juga bisa menghadapi tekanan sosial, stigma, dan konflik dengan keluarga, yang berdampak pada kesehatan mental. Selain itu, ketiadaan perlindungan hukum juga membuat mereka lebih rentan terhadap kerugian emosional dan ekonomi jika hubungan berakhir secara tidak baik. Maka tulisan kami kali akan mencoba mengulas mengapa fenomena living together alias hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau kohabitasi atau kumpul kebo banyak dilakukan anak muda generasi milenial atau Gen-Z ini serta bagaimana perspektif hukum Islam, moral, sanksi sosial dan aturan regulasi yang ada.

B. KOHABITASI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM, MORAL, SANKSI SOSIAL DAN REGULASI

  1. Praktik living Together/Kohabitasi atau Kumpul Kebo Makin Marak di Indonesia, Apa Penyebabnya?

         Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral, dan budaya. Hal tersebut sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara, khususnya sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sila pertama ini, semua warga negara Indonesia memaknai asas ketuhanan sebagai sebuah ideologi bahwa setiap pemikiran dan tindakan harus berpedoman pada nilai-nilai agama. Hal ini terjadi karena asas ketuhanan merupakan asas tertinggi dalam suatu bangsa yang mempunyai sifat dasar atau mutlak. Nilai yang terkandung dalam asas ketuhanan ini juga saling berhubungan dengan sila Pancasila yang lain. Namun, di era modern ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mulai luntur yang mengakibatkan kesenjangan dalam perilaku masyarakat Indonesia. Saat ini banyak terjadi peristiwa terkait perubahan nilai-nilai agama dan penyimpangan moralitas terkait kebebasan seksual ke dalam kehidupan masyarakat. Salah satu fenomena yang terjadi adalah kohabitasi yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai perilaku penyimpangan sosial (Cahyani & Wibowo,2023).

         Kohabitasi merupakan suatu perbuatan yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada perbuatan zina (adultery) ataupun perbuatan kesusilaan lainnya. Perbuatan yang dapat merusak moral generasi bangsa ini sungguh sama halnya dengan perilaku pergaulan bebas yang dilakukan oleh remaja atau muda-mudi yang melakukan perbuatan kesusilaan tanpa ikatan perkawinan yang sah. Perbuatan kohabitasi seperti tinggal bersama di tempat penginapan, kos-kosan dan di rumah kontrakan tanpa pernikahan dan paksaan khususnya yang dilakukan oleh kalangan muda-mudi secara terselubung, dapat dirasakan bersama sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan kesopanan yang hidup di lingkungan masyarakat (Wowor et al, 2024).

         Kohabitasi adalah praktik hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Di Indonesia, istilah ini dikenal sebagai “kumpul kebo“, yang awalnya berasal dari istilah Belanda koempoel gebouw, artinya berkumpul di satu atap. Seiring waktu, istilah tersebut berubah menjadi “kumpul kebo”, yang kini sering digunakan secara luas. Di era globalisasi, kohabitasi mulai dianggap sebagai bagian dari gaya hidup modern dan tidak lagi dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Kenapa ya banyak anak muda yang terbawa tren ini? Jawabannya bisa beragam. Tapi, alasan yang paling dominan adalah enggak mau terikat dengan pernikahan yang dianggap ribet. The Conversation melaporkan, tren living together ini diambil anak muda karena dianggap sebagai hubungan yang lebih murni dan sebagai bukti nyata tanda cinta. (CNBCIndinesia.com, 1-02-2025).

        Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh The Conversation Indonesia, Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan temuan menarik dari hasil analisisnya terhadap data Pendataan Keluarga 2021 (PK 2021) yang dikeluarkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Berdasarkan data tersebut, ia menemukan bahwa sekitar 0,6 persen penduduk di Kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan praktik kohabitasi. Dari populasi pasangan kohabitasi yang tercatat, 1,9 persen diantaranya sedang hamil saat survei dilakukan, sementara 24,3 persen yang melakukan praktik ini ditemukan berusia di bawah 30 tahun. Tak hanya itu, sebagian besar (83,7 persen) memiliki tingkat pendidikan SMA atau lebih rendah, dengan 11,6 persen tidak memiliki pekerjaan dan 53,5 persen lainnya bekerja di sektor informal.

         Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengamati bahwa praktik kohabitasi kini semakin lazim terjadi di wilayah perkotaan, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Ia mengaitkan fenomena tersebut dengan adanya pergeseran nilai dan norma sosial, di mana pernikahan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan mutlak. “Secara nilai sosial norma, itu memang ada perubahan atau pergeseran. Pergeseran itu menganggap bahwa pernikahan bukan lagi sesuatu yang sakral dan mengikat. Mereka yang menggunakan cara pandang liberal melihat bahwa nilai norma itu bukan lagi sesuatu yang penting atau mengikat,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (6/11/2025).

        Tak hanya dipengaruhi oleh dinamika internal, fenomena kohabitasi juga mencerminkan pengaruh global. Rakhmat menyebut bahwa budaya Barat, yang lebih permisif terhadap relasi di luar pernikahan, ikut mempengaruhi cara pandang generasi muda Indonesia. Model seperti ini mulai diadopsi oleh sebagian masyarakat perkotaan Indonesia, terutama yang mengakses informasi dari media global atau pernah berinteraksi dengan kultur luar. Namun, ia juga menekankan bahwa konteks kohabitasi sangat beragam tergantung pada wilayah. Misalnya, di daerah timur Indonesia atau kawasan yang lebih religius dan terpencil, kohabitasi sering kali terjadi bukan semata-mata karena kebebasan nilai, tetapi karena keterbatasan akses pada lembaga resmi pernikahan seperti KUA atau gereja. Dalam kondisi tersebut, pasangan memilih untuk tinggal bersama tanpa pernikahan karena prosedur formal dinilai terlalu rumit atau tidak sesuai dengan kondisi lokal. “Ada keragaman konteksnya, antara di kota-kota besar misalnya, dengan di daerah-daerah pedalaman alasan kohabitasi berbeda. Taruhlah di Indonesia timur mereka melakukan itu mungkin karena ada pertimbangan lain. Misalnya, keterbatasan akses institusi seperti gereja atau KUA,” ujarnya.

       Terakhir, Rakhmat menyimpulkan bahwa kohabitasi bukan hanya fenomena sosial, tetapi juga bagian dari perubahan struktur nilai dalam masyarakat. Ia menyarankan agar pendekatan terhadap isu ini dilakukan secara kontekstual—dengan memahami latar belakang budaya, ekonomi, dan dinamika lokal dari masing-masing individu atau komunitas. Lalu, secara psikologis, apa saja yang melatarbelakangi keputusan sebagian individu untuk memilih tinggal bersama tanpa menikah secara resmi? Peneliti Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menyebut pasangan yang memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis dan sosial yang saling terkait.  Ia menjelaskan, secara psikologis, banyak yang melihat kohabitasi sebagai cara untuk menguji kecocokan sebelum menikah, memenuhi kebutuhan akan kedekatan emosional, atau menghindari tekanan pernikahan yang dianggap membatasi kebebasan pribadi. “Sebagian lainnya memilih kohabitasi karena latar belakang pengalaman keluarga yang tidak harmonis, yang menimbulkan ketakutan terhadap institusi pernikahan itu sendiri,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (11/6/2025).

      Sementara dari sisi sosial, tingginya biaya pernikahan, ketidakstabilan ekonomi, serta pengaruh nilai-nilai individualistik dan egaliter—khususnya di kalangan generasi muda perkotaan—mendorong kohabitasi sebagai pilihan yang dianggap lebih realistis. “Paparan terhadap media dan budaya global juga turut menormalkan gaya hidup ini, sehingga kohabitasi menjadi pilihan yang semakin diterima di lingkungan tertentu, meskipun masih menghadapi stigma dalam masyarakat yang lebih konservatif,” ujarnya.

        Lebih jauh, Wawan menjelaskan, dalam jangka panjang, pasangan yang menjalani hubungan kohabitasi dapat mengalami berbagai dampak psikologis, baik positif maupun negatif, tergantung pada kualitas hubungan dan konteks sosialnya. Secara positif, kohabitasi dapat meningkatkan kedekatan emosional, memperkuat keterampilan komunikasi dan kompromi, serta mengurangi tekanan sosial yang kerap muncul dalam pernikahan formal. “Namun di sisi lain, ketidakjelasan komitmen dapat memicu kecemasan, rasa tidak aman, dan ketidakpastian masa depan, terutama jika harapan antar pasangan tidak seimbang,” sambungnya. Ia menambahkan, dalam masyarakat yang masih memegang nilai tradisional seperti Indonesia, pasangan kohabitasi juga bisa menghadapi tekanan sosial, stigma, dan konflik dengan keluarga, yang berdampak pada kesehatan mental. Selain itu, ketiadaan perlindungan hukum juga membuat mereka lebih rentan terhadap kerugian emosional dan ekonomi jika hubungan berakhir secara tidak baik.

      Sistem kapitalisme yang membawa ide liberalisme telah berhasil menguasai pola pikir generasi muslim. Kebebasan ala barat seakan menjadi gaya hidup yang menyatu dengan perilaku sehari-hari. Lembaga pernikahan pun tak luput dari sergapan materialisme ala kapitalisme. Teori Second Demographic Transition mengungkap fakta bahwa lembaga pernikahan telah kehilangan statusnya sebagai pemersatu pasangan berdasarkan norma dan nilai sosial. Mungkin karena faktor biaya dan administrasi yang ribet, akhirnya banyak yang lebih memilih kumpul kebo yang dianggap sebagai jalan keluar terbaik. Daripada menikah dan akhirnya bercerai karena enggak cocok dan mengeluarkan biaya, lebih baik kumpul kebo karena enggak ada ikatan. Kalau sudah enggak cocok, ya sudah. Lo, gue, end!

        Perilaku living together menjadi tren berkat sumbangsih media juga. Belum lagi para selebritas dan influencer yang terang-terangan mengakui dan menampakkan ke hadapan publik kalau mereka hidup dengan pasangannya tanpa nikah. Sebut saja Christiano Ronaldo. Pemain sepak bola yang dijuluki CR7 ini seakan menjadi ikon pelaku living together dan para fans menganggap perilaku itu biasa saja. “Biar aja, sih. Itu, kan privasi orang. Yang penting enggak ganggu orang lain”. Komentar-komentar seperti ini banyak bermunculan saat menanggapi tren berbahaya ini. Atas nama kebebasan, hak azazi, atau privasi, setiap orang dianggap sah-sah saja melakukan apapun yang mereka mau tanpa memandang norma, adat istiadat bahkan agama.

  1. Kohabitasi Dalam Persfektif Hukum Islam

         Dalam Islam, pernikahan merupakan ikatan yang sah secara syariat untuk menjaga kehormatan, moralitas, dan martabat manusia. Hubungan intim hanya dibenarkan dalam ikatan pernikahan yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur‘an dan Hadits. Pandangan ini sejalan dengan nilai-nilai norma sosial yang hidup dalam Masyarakat Indonesia, yang menjunjung tinggi moralitas, kesusilaan, dan ketertiban umum. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa norma tersebut mulai luntur. Salah satu bentuk penyimpangan sosial yang marak terjadi adalah kohabitasi (kumpul kebo), yaitu praktik hidup bersama tanpa pernikahan.

        Dalam Islam, pernikahan merupakan ibadah yang bertujuan meraih keridhaan Allah Swt., bukan sekadar ikatan duniawi. Ia merupakan sunnah Rasulullah dan diatur secara rinci sebagai cara sah untuk memenuhi kebutuhan biologis, emosional, serta membentuk keluarga yang diberkahi (QS. An-Nisa: 3). Sebaliknya, kohabitasi dianggap sebagai zina, yaitu perbuatan keji yang dilarang keras dalam Islam (QS. Al-Isra‘: 32), karena tidak dilakukan dalam ikatan yang sah menurut syariat. Rasulullah saw. menekankan bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan sah untuk menjalani hubungan antara laki-laki dan perempuan (HR. Bukhari dan Muslim).

       Dalam Islam, pernikahan membentuk struktur keluarga yang sah, serta menjamin hak dan kewajiban setiap anggotanya. Kohabitasi, yang tidak diakui secara syariat, berisiko menimbulkan masalah serius seperti hilangnya hak waris bagi anak, sulitnya pengakuan hukum dan sosial, serta lemahnya perlindungan terhadap perempuan dan anak. Karena itu, Islam menegaskan bahwa keabsahan hubungan dan jaminan hak-hak hanya dapat diperoleh melalui ikatan pernikahan.

         Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا

             Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu

                              jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ 17: Ayat 32).

        Ayat ini secara tegas menunjukkan larangan tidak hanya melakukan zina, tetapi juga mendekatinya. Dalam konteks kohabitasi atau kumpul kebo—yakni tinggal serumah antara laki-laki dan perempuan yang bukan pasangan suami istri—perilaku ini termasuk dalam kategori ―mendekati zina.‖ Hal ini karena kohabitasi membuka peluang besar terjadinya hubungan intim di luar ikatan pernikahan, yang merupakan bentuk dari zina itu sendiri. Kata “la taqrabu” (jangan kalian dekati) menunjukkan tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam ajaran Islam, yaitu tidak cukup hanya dengan menghindari perzinaan secara fisik, namun juga harus menjauhi segala bentuk aktivitas yang mengarah atau membuka peluang terjadinya zina. Maka, tinggal bersama tanpa ikatan yang sah termasuk dalam larangan ini. Zina merupakan salah satu dosa besar yang paling keji, tidak ada satu agama pun yang menghalalkanya baik itu agama yang turun dari langit maupun dari bumi. Bahkan bukan hanya perbuatan zina saja yang diharamkan akan tetapi mulai dari hal-hal kecil yang mendekatinya, karena banyak sekali timbul hal-hal yang yang bersifat negatif akibat perbuatan zina (Hadi, 2022).

        Dalam kajian yang dilakukan oleh Wiranto dan Akib dalam jurnal El-Maqra‟, dijelaskan bahwa larangan dalam ayat ini merupakan bentuk penjagaan syariat terhadap kehormatan manusia, karena zina bukan hanya merusak pribadi, tetapi juga merusak struktur sosial dan keturunan. Selain itu, Rasulullah saw. juga memperingatkan tentang dampak buruk yang ditimbulkan oleh zina, baik bagi individu maupun masyarakat. Beliau bersabda:”Tidak ada seorang pun yang berzina dengan seseorang yang bukan mahramnya, kecuali dia akan terjerumus ke dalam kebinasaan.” (HR. Ahmad).

       Hadis ini mempertegas bahaya moral dan spiritual dari perbuatan zina. Rasulullah SAW memperingatkan bahwa zina tidak hanya berdampak pada pelaku secara pribadi, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial dan nilai-nilai keluarga dalam masyarakat. Dalam konteks hadis ini, kohabitasi bisa dipandang sebagai jalan menuju kebinasaan (halāk), baik dari sisi kehormatan, akhlak, dan stabilitas sosial. Ketika praktik ini dibiarkan atau bahkan dinormalisasi, maka masyarakat akan menghadapi tantangan serius dalam menjaga nilai-nilai kesucian dan tanggung jawab dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan temuan dalam jurnal yang ditulis oleh Nurhayati, yang menyebutkan bahwa praktik kohabitasi adalah bentuk perzinaan terselubung yang bertentangan dengan prinsip maqashid syariah dalam menjaga nasab dan agama.

        Pengaruh dari fenomena kohabitasi ini membuat pernikahan kehilangan nilai dari segi sakral dan suci, bahkan dalam islam kohabitasi termasuk lingkup zina yang artinya kohabitasi tidak luput dari hal-hal seksual. Dapat dikatakan bahwa kohabitasi merenggut peran pembentukan keluarga dalam aspek agama juga norma sosial. Dalam perspektif Islam, terdapat batasan-batasan yang harus ditaati oleh laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Salah satu batasan dalam Islam yaitu larangan bersentuhan dengan lawan jenis dan tinggal berdua dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya. Rasulullah SAW bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ باِمْرَأَةٍ إِلاَّكاَنَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

      Artinya: “Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berduaan dengan seorang perempuan

                       kecuali yang ketiganya adalah syaitan” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim).

        Hadits di atas mengatur mengenai batasan-batasan antara hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Pada zaman sekarang berduaan tidak bisa lepas dari yang namanya pacaran, bahkan orang yang berpacaran secara sengaja mencari tempat yang sepi (Riyadi et al, 2024). Ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya berduaan, maka syaitan akan menjadi pihak ketiga yang akan menggoda dan menyesatkan keduanya dalam situasi tersebut. Makna yang terdapat dalam hadits ini yaitu perlu ditegakkannya batasan-batasan dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, dengan tujuan untuk menghindari keadaan yang dapat menimbulkan godaan atau pelanggaran moral yang akan berujung pada perilaku kohabitasi.

         Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّوَمَعَهاَذُو مَحْرَمٍ

                Artinya: “Janganlah seorang laki-laki itu berduaan dengan seorang perempuan kecuali ada

                                 mahram yang menyertai perempuan tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim).

        Dari hadits di atas sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam hadits tersebut bertujuan untuk mengharamkan tindakan berduaan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada orang yang ketiga bersama mereka. Imam An Nawawi berkata: “Jika laki-laki dan perempuan berduaan tanpa adanya orang ketiga bersama mereka, maka haram hukumnya menurut ijma ulama. Para ulama langsung mengarahkan larangan tersebut untuk sebuah tindakan yang haram untuk dilakukan karena tidak ada indikasi dari dalil lain yang mengatakan bahwa larangan tersebut hanya bermakna makruh (Multazam & Mujab, 2023).

         Masih banyak umat muslim di zaman sekarang yang tinggal bersama padahal tidak ada ikatan pernikahan yang sah, bahkan di beberapa lingkungan menormalisasikan hal tersebut. Rasulullah SAW menegaskan bahwa menikah merupakan cara yang dianjurkan untuk menjaga diri dari perbuatan zina serta merupakan bagian dari sunnah beliau (Hamidah & Arifin, 2024).

  1. Kohabitasi dalam Prespektif Moral

         Ali (2009) berpendapat bahwa dalam pandangan moralitas memiliki batasan-batasan yang harus ditaati oleh yang bukan muhrim, salah satunya seperti batasan dalam bersentuhan dengan lawan jenis hingga larangan tinggal berdua dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya. Di zaman sekarang orang yang tinggal bersama tanpa memiliki ikatan pernikahan sudah dianggap normal oleh beberapa orang dan beberapa lingkungan. Rasulullah mengingatkan mengenai hubungan kohabitasi, yang diketahui menarikpengaruh negatif, menimbulkan risiko perselingkuhan di antara individu yang belum menikah (Hamidah & Arifin 2024).

      Masyarakat Indonesia juga menganggap kohabitasi sebagai perbuatan yang tercela secara moral karena bertentangan dengan tuntutan moral, sehingga perbuatan tersebut memenuhi kriteria untuk dikriminalisasi. Selain itu, masyarakat Indonesia juga menghargai nilai kesusilaan, keamanan, dan ketertiban, dimana mereka memandang hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan hanya dapat dilakukan apabila sudah terdapat ikatan perkawinan yang sah, baik secara agama, maupun dicatatkan secara hukum, sehingga apabila terjadi kohabitasi di lingkungan mereka, maka akan muncul reaksi-reaksi keras seperti melakukan penggerebekan terhadap pelaku kohabitasi, mengusir pelaku kohabitasi dari lingkungan mereka, menangkap pelakunya dan dibawa ke pihak berwajib setempat, mempermalukan mereka di hadapan umum, bahkan mereka sampai menyelesaikannya secara brutal dengan cara main hakim sendiri (Setyawan,2024).

        Kohabitasi berakibat pada rusaknya moral masyarakat dan bangsa Indonesia, dan anak yang dilahirkan akan membawa beban psikologis dalam lingkungannya dan akan tumbuh generasi kohabitasi, terjadi rusaknya nasab seseorang, atau kaburnya garis keturunan seseorang, karena banyak terjadi pembuahan biologis yang tidak jelas siapa bapaknya. Seperti yang telah terjadi di negara-negara barat, karena minimnya moralitas, agama, serta budaya, keturunan mereka bisa saja budaya free sex. Kebanyakan pelaku kohabitasi sudah tidak percaya akan sakralnya ikatan perkawinan. Ditambah dengan ketidakjelasan garis keturunan seorang anak yang terlahir akibat kohabitasi ini, pada saatnya nanti akan banyak pelaku kohabitasi antara saudara dekat, sedarah bahkan antara saudara kandung sendiri karena tidak saling tahu, yang akan melahirkan keturunan yang kurang baik (secara fisik, mental) serta banyak timbul kriminalitas, seperti aborsi bila kehamilan tidak mereka inginkan (Soponyono, 2013).

  1. Kohabitasi dalam Aspek Sanksi Sosial

         Sanksi sosial merupakan respon masyarakat terhadap individu atau kelompok yang melakukan penyimpangan pedoman di dalam lingkungan masyarakat. Sanksi sosial dapat berupa pengucilan, stigma, atau penolakan yang dialami individu karena menyimpang dari norma sosial (Rina, 2023). Sanksi sosial meliputi berbagai bentuk reaksi dari masyarakat, termasuk kritik, ejekan, atau bahkan kekerasan, terhadap perilaku yang dianggap menyimpang (Nia, 2023). Sanksi sosial ini dapat berupa respon negatif atau positif tergantung pada perspektif masyarakat sendiri. Fungsi dari sanksi sosial untuk memelihara ketertiban dan keselarasan di lingkungan masyarakat, dengan harapan menciptakan lingkungan yang sehat dan sesuai dengan nilai moral, agama, budaya dan hukum yang hadir.

      Masyarakat Indonesia memandang kohabitasi merupakan kejahatan jenis kesusilaan dalam hukum adat maupun dalam agama. Hukum di Indonesia sendiri belum bisa menjangkau perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh pelaku kohabitasi. Maka dari itu sanksi sosial menjadi alat hukuman yang diberikan Masyarakat kepada pasangan yang melakukan kohabitasi untuk mencegah dan memberikan kesadaran pada perilaku yang dianggap menyimpang. Sanksi sosial pada pelaku kohabitasi merupakan cara Masyarakat dalam mempertahankan norma-norma dan nilai yang hadir pada Masyarakat.

       Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara beragama dengan penganut agama islam terbanyak. Maka kohabitasi ini tidak selaras dengan nilai moral, budaya dan agama yang ditanamkan sejak dahulu di Indonesia. Perilaku kohabitasi ini tindakan zinah jika dibiarkan akan merusak moral generasi bangsa Indonesia, merusak norma yang hadir di masyarakat, juga nilai bangsa Indonesia sebagai negara beragama. Implikasi pelaku kohabitasi tidak hanya mempengaruhi hukum negara saja, namun stigma masyarakat terutama di lingkungan dengan adat dan tradisi yang masih kuat seperti di pedesaan menolak keras dengan kontroversi kohabitasi ini. Penolakan masyarakat pada kohabitasi membuat pelaku mendapatkan tekanan dari pembicaraan negatif di lingkungan sosial. Tekanan tersebut bisa di dapat pada lingkungan keluarga, masyarakat, hingga pendidikan atau pekerjaan. Hal tersebut menjadi sanksi dari masyarakat dengan tujuan pelaku kohabitasi segera melakukan pernikahan secara sah agama dan sah negara.

        Dampak negatif yang diterima oleh pelaku kohabitasi tidak hanya stigma buruk masyarakat saja, namun pelaku bisa mendapatkan diskriminasi dalam lingkungan sosial, reputasi pada kehidupan profesional (lingkungan pekerjaan), reputasi keluarga dari lingkungan sosial, pengucilan hingga penolakan di lingkungan masyarakat. Masyarakat yang hidup di lingkungan modern (kota) dengan pengaruh globalisasi yang tinggi membuat sebagian masyarakat pro pada kohabitasi untuk diimplementasikan di Indonesia. Mereka berpendapat tujuan dari kohabitasi untuk mengenal lebih dalam pasangan sebelum menikah, hal tersebut dilakukan untuk menghindari masalah perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga ketidakcocokan dari perilaku pasangan. Namun, alasan tersebut tidak relevan dengan budaya, moral, agama dan hukum yang ada di Indonesia. Sanksi sosial yang diterima oleh pelaku kohabitasi merupakan reaksi penolakan masyarakat pada budaya kohabitasi yang terjadi di Indonesia.

  1. Upaya Pencegahan dan Regulasi Hukum Terhadap Pelaku Kohabitasi

         Salah satu upaya pemerintah untuk melindungi hak Perempuan dan menekan perilaku kohabitasi yang sedang marak terjadi di masyarakat dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI yang secara resmi meluncurkan program Gerakan Sadar (GAS) Pencatatan Nikah, di area Car Free Day, Jalan Thamrin, Jakarta, pada Ahad tanggal 6 Juli 2025 dalam rangkaian kegiatan Peaceful Muharam 1447 H, program GAS Pencatatan Nikah ini sebagai upaya menyerukan pentingnya pencatatan pernikahan yang sah dan legal di mata hukum.

       Menteri Agama RI KH. Nasaruddin Umar menyampaikan, pencatatan nikah bukan sekadar urusan administrasi, tetapi menyangkut perlindungan hak-hak sipil keluarga, terutama perempuan dan anak. Ia menyebut bahwa tanpa akta nikah yang sah, banyak hak dasar tidak dapat diakses, mulai dari akta kelahiran anak, kartu keluarga, hingga jaminan sosial. “Pernikahan yang tidak tercatat menyebabkan anak tidak bisa mendapatkan akta kelahiran. Dampaknya sangat besar, anak tidak bisa mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, bahkan bantuan negara,” ungkap Menteri Agama saat membuka acara secara simbolis.

       Menurutnya, penurunan angka pernikahan resmi di Indonesia saat ini merupakan fenomena sosial yang patut diwaspadai. Ia menyinggung tren hidup bersama tanpa menikah yang makin meluas di negara-negara Barat, antara lain Prancis, Amerika Serikat, dan Kanada, yang mulai meninggalkan lembaga pernikahan. “Biasanya, dua juta dua ratus ribu orang menikah setiap tahun di Indonesia. Sekarang jumlahnya menurun. Ini harus menjadi perhatian bersama karena pernikahan adalah pilar budaya dan moral bangsa,” tegasnya. Imam Besar Masjid Istiqlal itu membandingkan kebijakan di Prancis yang memberi berbagai insentif untuk warganya yang bersedia menikah dan punya anak. Negara memberikan tunjangan persalinan, beasiswa anak, hingga penghapusan pajak. “Ini menunjukkan betapa pentingnya institusi pernikahan dalam membangun bangsa,” ujarnya.

     Menteri Agama juga mengingatkan agar masyarakat Indonesia tidak tergoda meniru budaya luar yang bertentangan dengan nilai dan norma lokal. “Saya pernah temui orang di Kanada, sudah hidup bersama 20 tahun, punya anak, tapi tidak menikah. Budaya seperti ini kalau masuk ke Indonesia sangat berbahaya,” imbuhnya. Lebih jauh, ia menyerukan agar jajaran Kemenag dari pusat hingga daerah aktif mensosialisasikan pentingnya pencatatan nikah kepada masyarakat. “Modernitas tidak boleh membuat kita melupakan fondasi moral bangsa. Pernikahan yang sah dan tercatat adalah bagian dari ketahanan keluarga dan nasional,” tandasnya. Ia menyebut, program GAS Nikah bukan hanya kegiatan simbolik, tetapi bagian dari gerakan moral dan edukatif yang harus terus diperluas melalui kerja sama lintas sektor. “Kita ingin seluruh rakyat, terutama generasi muda, paham bahwa nikah sah itu bukan beban, tapi pelindung masa depan,” pungkas KH. Nasaruddin Umar.

        Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, kohabitasi atau praktik kumpul kebo sendiri didefinisikan sebagai hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan. Artinya ini juga mencakup pasangan yang tinggal bersama dan berperilaku seperti suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum. Sebagai informasi, KUHP baru ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Ketentuan dalam KUHP versi baru ini baru akan berlaku 3 tahun setelah diundangkan, atau mulai 2 Januari 2026 mendatang.

        Praktik kohabitasi atau kumpul kebo sendiri diatur secara eksplisit dalam Pasal 411 dan 412. Pasal 411 mengatur soal tindak pidana perzinahan, sementara Pasal 412 mengatur pidana terhadap individu yang hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan yang sah. Dalam proses pembahasannya, pasal tersebut sempat memicu kontroversi karena dinilai menyangkut ranah privasi. Tak hanya itu, muncul pula kekhawatiran bahwa pasal ini berdampak negatif ke sektor pariwisata yang bergantung pada kunjungan wisatawan asing. “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” bunyi Pasal 412 ayat 1 aturan tersebut.

         Pada 2024 lalu, pemerintah melalui pernyataan, Direktur Jenderal HAM, yang waktu itu dijabat oleh Dhahana Putra, menerangkan bahwa baik kohabitasi maupun perzinaan merupakan delik aduan terbatas. Maka dari itu, tindakan kohabitasi dan perzinaan sebagaimana diatur di dalam pasal 411 dan pasal 412 hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.  “Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut, tanpa adanya pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait tindakan tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum,” imbuh Dhahana, dikutip dari situs resmi Direktorat Jenderal HAM (29/7/2024).

         Sementara itu, analis hukum Kemenkumham, Dinda Balqis, dalam artikel “Kajian atas Pasal Kohabitasi dalam KUHP” yang dilansir situs web Rechtsvinding BPHN, menjelaskan bahwa Pasal 412 ayat (1) di KUHP baru berisi delik formil. Artinya, delik dianggap terpenuhi saat tindakan yang dilarang sudah terlaksana, tanpa memperhatikan ada atau tidak akibatnya. Maka, saat ada pria dan perempuan hidup bersama layaknya suami-istri tanpa ikatan perkawinan, pelaku kohabitasi (kumpul kebo) itu bisa dipidana tanpa menunggu ada akibat dari tindakannya. Orang atau pelaku kohabitasi yang dimaksud dalam Pasal 412 ayat (1) di KUHP Baru ini bisa pria atau perempuan yang sudah menikah maupun belum, salah satunya ataupun keduanya.

        Definisi pelaku ini berbeda dengan tindak pidana perzinahan yang diatur dalam KUHP lama. Sebab, di KUHP lama, tidak pidana perzinahan mensyaratkan salah satu atau kedua pelaku sudah terikat dalam pernikahan. Ketentuan di KUHP lama juga mensyaratkan adanya persetubuhan dalam tindak pidana perzinahan, sementara Pasal 412 ayat (1) di KUHP Baru tidak mengharuskan ada hal itu. Lebih lanjut, Pasal 412 ayat (2) di KUHP baru menegaskan tindak pidana kohabitasi adalah delik aduan absolut. Maksudnya, tindak pidana ini bisa diproses oleh penegak hukum hanya jika diadukan oleh pihak tertentu yang merasa dirugikan. Di pasal 412 ayat (2) KUHP baru, disebutkan secara terang batasan pihak yang dapat mengadukan tindak pidana kohabitasi. Hanya ada pihak yang bisa melaporkan tindak pidana ini.

       Pertama, pihak yang dapat mengadukan tindak pidana kohabitasi hanya suami/istri, apabila pelaku terikat dalam perkawinan. Kedua, jika pelaku tidak terikat dalam pernikahan, pihak yang memiliki hak untuk mengadukan tindakan pidana kohabitasi adalah orang tua atau anaknya. Maka itu, jika ada aduan tindak pidana kohabitasi dari pihak lain di luar 2 kategori di atas, laporan tersebut batal demi hukum atau tidak dapat diproses.

C. PENUTUP

    Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai moral, budaya, dan agama dalam kehidupan masyarakatnya menilai kesucian serta kesakralan ikatan pernikahan ternodai dengan adanya perilaku kohabitasi yang menjamur di masyarakat. Dampak buruk dari globalisasi membuat beberapa kelompok masyarakat mewajarkan perilaku asusila tersebut. Berdasarkan perspektif hukum, moral, dan sanksi sosial, menunjukkan bahwa kohabitasi masih menjadi isu yang kompleks dan kontroversial. Secara hukum, meskipun belum ada aturan spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur secara tegas mengenai kohabitasi, terdapat undang-undang terkait perzinahan yang dapat menjerat pelaku kohabitasi, terutama jika ada pengaduan dari pihak ketiga, seperti keluarga atau masyarakat sekitar.

       Dalam konteks moral masyarakat, kohabitasi sering dianggap bertentangan dengan norma agama dan adat yang umumnya menjunjung tinggi nilai pernikahan sebagai ikatan yang sah antara laki-laki dan perempuan. Hal ini memicu pandangan negatif di kalangan masyarakat, yang sering kali menganggap kohabitasi sebagai tindakan tidak bermoral. Dari segi sanksi sosial, pelaku kohabitasi sering kali menerima stigma dan tekanan sosial  yang kuat. Mereka dapat menghadapi diskriminasi, pengucilan, dan bahkan rasa malu yang dipaksakan oleh norma sosial yang berlaku. Sanksi-sanksi ini lebih bersifat informal namun dapat berdampak signifikan terhadap kehidupan pribadi dan hubungan sosial pelaku kohabitasi.

      Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara beragama dengan penganut agama Islam terbanyak. Maka kohabitasi ini tidak selaras dengan nilai moral, budaya dan agama yang ditanamkan sejak dahulu di Indonesia. Perilaku kohabitasi ini tindakan zina jika dibiarkan akan merusak moral generasi bangsa Indonesia, merusak norma yang hadir di masyarakat, juga nilai bangsa Indonesia sebagai negara beragama. Zina merupakan salah satu dosa besar yang paling keji, tidak ada satu agama pun yang menghalalkanya baik itu agama yang turun dari langit maupun dari bumi. Bahkan bukan hanya perbuatan zina saja yang diharamkan akan tetapi mulai dari hal-hal kecil yang mendekatinya, karena banyak sekali timbul hal-hal yang yang bersifat negatif akibat perbuatan zina.

       Secara keseluruhan, kohabitasi di Indonesia tidak sejalan dengan nilai-nilai hukum, moral, dan norma sosial yang berlaku, sehingga praktik ini memang seharusnya ditolak oleh masyarakat luas. Meskipun ada beberapa kelompok yang lebih progresif, perubahan pandangan tersebut tidak mengubah fakta bahwa kohabitasi bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, adat, dan tatanan sosial yang mendukung pentingnya institusi pernikahan sebagai dasar hubungan yang sah dan bermartabat.

REFERENSI

Ahmad Behiej. (2008). Hukum pidana. Yogyakarta: Teras.

Al-Bukhari, M. I. I. (n.d.). Sahih al-Bukhari. Retrieved from https://sunnah.com/bukhari

Arifin, T. (2014). Ulumul Hadits. Bandung: Sunan Gunung Djati Press.

Arifin, T. (2016). Antropologi hukum Islam. Bandung: Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN

Sunan Gunung Djati.

Azizah, A. (2022). Kohabitasi dalam perspektif agama dan hukum: Pandangan Islam dan

                               hukum pidana Indonesia. Jurnal Hukum dan Masyarakat, 10(3).

Federspiel, H. M., Arifin, T., & Hidayat, R. T. (1996). Kajian Al-Qur‘an di Indonesia: Dari

Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab. Bandung: Mizan.

Hadi, M. (2021). Hukum pidana Indonesia: Perspektif terhadap kohabitasi. Jurnal Hukum

Pidana, 18(2).

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur‘an dan terjemahannya. Retrieved

from https://quran.kemenag.go.id/

Kurniawan, W., Sudarmanto, K., & Sukarna. (2022). Kohabitasi dalam KUHP 2023 ternyata

                          tidak (perlu) dipidana. Journal Juridisch, 2(3).

Muslim, I. H. (n.d.). Sahih Muslim. Retrieved from https://sunnah.com/muslim

Nurhayati. (2022). [Review of Islamic legal issues]. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 7(2).

Qobili, M. Z. (n.d.). Jarimah zina sebagai alternatif pencegahan perzinaan di Indonesia dalam

                            perspektif maqasid Jasser Auda (Undergraduate thesis, Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta).

Safitri, N. I., & Wahyudi. (2022). Kriminalisasi perbuatan kohabitasi dalam perspektif pembaharuan  

                          Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Jurnal Ilmiah Wahana

Pendidikan, 8(2).

Setyawan, D. (2024). Kriminalisasi kohabitasi: Telaah dari aspek kesusilaan, adat, agama, moral,

                        kriminologi, dan psikologi. Jurnal Hukum Pidana dan Penanggulangan Kejahatan,

13(3).

Siregar, Z. (2020). Tindak pidana perzinaan dalam perspektif hukum pidana dan hukum Islam. Jurnal

Hukum & Pembangunan, 48(2).

Slamet, M. (2020). Konsep halal dan haram dalam Islam dan penerapannya pada zina dan kohabitasi.

Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, 9(3).

Sudirman, A. (2019). Peran pernikahan dalam mencegah perzinaan dalam perspektif hukum Islam.

Jurnal Hukum Islam, 11(2).

Yulinda Nurul Aini,https://theconversation.com/mengapa-tren-kohabitasi-melanda-indonesia-meski-tak-sesuai- nilai-hukum-dan-agama-22303, 8 Februari 22, 2024

Wiranto, & Akib. (2022). Pernikahan dalam perspektif Islam sebagai solusi preventif  terhadap zina.

El-Maqra‘, 7(2).

 

———

**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah, penulis, dan                pemerhati sosial keagamaan

 

0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 297 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Penghulu dan Dinamika Sosial Politik Nusantara: Sebuah Tinjauan Historis

21 November 2025 - 14:59 WIB

Tertib dalam Wudhu: Analisis Fiqih dan Teori Hukum Islam

13 November 2025 - 16:17 WIB

Etika dan Peran ASN dalam Tanggung Jawab Lingkungan

12 November 2025 - 20:38 WIB

STRATEGI ORMAS PEREMPUAN ISLAM MEREBUT RUANG PUBLIK: Studi Muslimat NU dan Aisyiyah

10 November 2025 - 22:53 WIB

Transformasi Fiqih dalam dunia Islam : Analisis sejarah dan teori

10 November 2025 - 15:11 WIB

WALI NIKAH ILEGAL (PART 1)

2 November 2025 - 20:54 WIB

Trending di Karya Ilmiah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x