Dalam setiap rumah tangga, suami sering disebut sebagai pemimpin keluarga. Namun, kepemimpinan dalam pandangan Islam bukanlah simbol kekuasaan, melainkan tanggung jawab yang penuh kasih dan pengabdian. Al-Qur’an menegaskan, “Ar-rijālu qawwāmūna ‘ala an-nisā’…” (QS. An-Nisā’: 34), yang berarti laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Kata qawwāmūna tidak sekadar berarti berkuasa, tetapi menggambarkan seseorang yang menegakkan, menjaga, dan melindungi. Artinya, suami ditugaskan Allah bukan untuk berkuasa atas istri, tetapi untuk menjadi penopang dan penjaga kesejahteraan keluarganya.
Ayat “Ar-rijālu qawwāmūna ‘ala an-nisā’…” (QS. An-Nisā’: 34) menjadi dasar utama konsep kepemimpinan suami dalam Islam. Dalam tafsir Ibn Katsir, kata qawwāmūna dijelaskan sebagai “orang yang bertanggung jawab untuk mendidik, menafkahi, dan menjaga istrinya,” karena Allah memberikan kepada laki-laki kewajiban dan kemampuan yang lebih besar dalam urusan tersebut. Sementara itu, Al-Marāghī menafsirkan ayat ini sebagai bentuk tanggung jawab yang disertai dengan rasa kasih sayang, dan bukanlah suatu kekuasaan yang menindas. Artinya, kepemimpinan suami bukan berarti ia lebih mulia dari istri, tetapi karena ia memikul amanah yang lebih berat untuk menjaga keseimbangan dalam rumah tangga.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, kepemimpinan suami mencakup tiga hal penting. Pertama, tanggung jawab spiritual, yakni membimbing keluarga agar selalu dekat dengan Allah, sebagaimana firman-Nya: “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Kedua, tanggung jawab moral, yaitu menjadi teladan dalam akhlak, tutur kata, dan sikap terhadap pasangan serta anak-anak. Ketiga, tanggung jawab sosial dan ekonomi, yakni memenuhi kebutuhan keluarga dengan usaha yang halal dan penuh keberkahan.
Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau memimpin keluarganya bukan dengan kekerasan, tapi dengan kelembutan. Dalam riwayat disebutkan, beliau membantu pekerjaan rumah, menjahit bajunya sendiri, dan mendengarkan keluh kesah istrinya dengan penuh perhatian. Semua itu menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang lebih tinggi, tapi siapa yang lebih tulus dalam melayani.
Kepemimpinan yang Qur’ani selalu berjalan di atas cinta dan tanggung jawab. Ketika suami memimpin dengan ilmu dan kasih sayang, sementara istri mendukung dengan keikhlasan dan doa, maka rumah tangga akan menjadi taman ketenangan—sakinah, mawaddah, wa rahmah. Inilah cita-cita yang dihadirkan Al-Qur’an: rumah tangga yang dipimpin bukan dengan kuasa, tetapi dengan hati.
Menjadi suami berarti menerima amanah besar dari Allah, bukan sekadar peran sosial, tetapi tanggung jawab spiritual yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Kepemimpinan bukan hak istimewa untuk di banggakan, melainkan tugas mulia untuk dijalankan dengan kebijaksanaan, kasih, dan kesabaran. Ketika seorang suami memahami bahwa ia bukan penguasa atas istrinya, melainkan penjaga dan pembimbing menuju ketaatan, maka rumah tangganya akan dipenuhi keberkahan.
Di sinilah letak indahnya ajaran Islam: kepemimpinan suami bukan untuk menundukkan, tetapi untuk menuntun. Ia adalah pelita yang menyalakan arah, bukan api yang membakar. Dan ketika suami menunaikan kepemimpinannya dengan cinta dan tanggung jawab, maka keluarga itu akan menjadi ladang pahala dan tempat bersemainya ketenangan hati, sebagaimana janji Allah bagi mereka yang menegakkan rumah tangga di atas nilai-nilai iman dan kasih sayang.
Ridho Adiansyah
Penghulu KUA Kec. Cengkareng, Jakarta Barat, DKI Jakarta.








