Abstrak
Tulisan ini membahas tentang kewajiban tertib (tartīb) dalam pelaksanaan wudu sebagaimana diperdebatkan oleh para ulama empat mazhab. Fokus pembahasan diarahkan pada landasan dalil Al-Qur’an, hadis, serta qiyas yang digunakan oleh masing-masing mazhab, disertai dengan analisis hukum Islam secara teoretis. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah library research dengan metode analisis deskriptif-komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ulama Syafi‘iyah dan Hanabilah mewajibkan tertib dalam wudu berdasarkan tekstualitas ayat dan praktik Nabi, sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah tidak mewajibkannya karena tidak ditemukan dalil yang tegas. Artikel ini menegaskan bahwa kewajiban tertib merupakan bentuk ketaatan terhadap nash dan sunnah yang mengandung hikmah metodologis dalam menjaga kesempurnaan ibadah.
Kata kunci: tertib, wudu, fiqh, teori hukum Islam, qiyas, mazhab.
Pendahuluan
Wudu merupakan salah satu syarat sah salat yang sangat penting dalam fikih ibadah. Di antara rukun wudu yang menjadi bahan perdebatan ulama adalah tertib atau urutan dalam membasuh anggota wudu sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Māidah [5]: 6. Dalam ayat tersebut Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu hingga siku, dan sapulah kepalamu, serta (basuhlah) kakimu hingga kedua mata kaki.” (QS. al-Māidah [5]: 6)
Perbedaan pandangan para ulama muncul karena persoalan apakah susunan dalam ayat tersebut menunjukkan kewajiban tertib atau tidak. Tulisan ini berusaha menganalisis secara komprehensif dasar hukum, teori, dan argumentasi fiqh para ulama mengenai tertib dalam wudu serta implikasinya terhadap hukum Islam.
. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data bersumber dari kitab-kitab klasik dan modern seperti al-Umm karya Imam al-Syafi‘i, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, al-Mabsūṭ karya al-Sarakhsi, dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah. Analisis dilakukan dengan pendekatan komparatif mazhab dan teori hukum Islam (uṣūl al-fiqh), yaitu dengan menelaah istidlāl (pengambilan dalil)
dan maqāṣid (tujuan hukum) di balik kewajiban tertib.
. Landasan Teoretis
Dalam kerangka teori hukum Islam, tertib dapat dipahami dengan tiga pendekatan utama:
1. Teori Nasy’ al-Ahkām (Proses Pembentukan Hukum): Hukum tertib lahir melalui proses istidlal terhadap nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Dalam konteks ini, tertib termasuk hukum ta‘abbudī yang didasarkan pada perintah syar‘i, bukan semata rasionalitas manusia.
2. Teori Qiyas (Analogi Hukum): Menurut ulama ushul, ibadah yang terdiri dari beberapa bagian yang saling terikat seperti salat dan haji wajib dilakukan secara tertib karena setiap bagian memiliki keterkaitan substansial terhadap sahnya ibadah secara keseluruhan.
3. Teori Maqāṣid al-Syarī‘ah: Tertib memiliki tujuan menjaga kesempurnaan ibadah (ḥifẓ al-‘ibādah) dan mendidik kedisiplinan spiritual umat Islam. Secara maqāṣid, tertib menjadi simbol tanzīm (keteraturan) dalam penghambaan kepada Allah SWT.
. Hasil dan Pembahasan
Mazhab Syafi‘i dan Hanbali mewajibkan tertib dalam wudu. Mereka berdalil pada QS. al-Māidah [5]: 6 yang menyebut urutan anggota wudu secara berstruktur. Selain itu, hadis Nabi SAW yang berbunyi: “Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah” (HR. Muslim) menegaskan prinsip keharusan mengikuti urutan yang disebutkan oleh Allah. Dalam pandangan Syafi‘iyah, tertib merupakan rukun wudu, sehingga jika dilakukan tidak berurutan maka wudu menjadi batal.
Sebaliknya, Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa tertib tidak wajib. Menurut mereka, huruf “و” (waw al-‘aṭf) dalam ayat wudu tidak menunjukkan urutan, tetapi hanya penghubung. Selama semua anggota wudu telah dibasuh, maka wudu dianggap sah. Imam al-Sarakhsi dalam al-Mabsūṭ menyebut, “Tidak ada dalil tegas yang mewajibkan tertib, dan asal hukum ibadah adalah bebas dari kewajiban tambahan kecuali ada nash yang jelas.”
Dalil nakli yang mendukung kewajiban tertib juga dapat ditemukan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim yang menggambarkan tata cara wudu Nabi SAW secara konsisten berurutan. Dalam hadis dari Uthman bin ‘Affan disebutkan bahwa Nabi berwudu dengan membasuh wajah, kemudian tangan hingga siku, mengusap kepala, dan membasuh kaki hingga mata kaki. Tidak ditemukan satu pun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi mengubah urutan tersebut. Hal ini menjadi dalil kuat bahwa tertib merupakan bagian integral dari tata cara wudu yang sah.
Menurut Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Guru Besar Fiqh dan Ushul Fiqh Universitas Damaskus, dalam karyanya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, tertib merupakan simbol ketaatan formal terhadap nash syar‘i dan refleksi terhadap keteraturan dalam syariat. Pendapat serupa disampaikan Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, Guru Besar Fiqh UIN Syarif Hidayatullah, yang menegaskan bahwa tertib dalam wudu merupakan cerminan kesempurnaan ibadah yang menuntut kehati-hatian dan ketundukan terhadap sunnah Nabi.
. Kesimpulan
Kewajiban tertib dalam wudu memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan hadis. Mayoritas ulama (Syafi‘iyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa tertib merupakan rukun yang wajib, sementara sebagian ulama (Hanafiyah dan Malikiyah) menganggapnya sunnah. Secara teoretis, tertib memiliki nilai metodologis dalam menjaga kesempurnaan ibadah dan ketertiban umat. Oleh karena itu, pelaksanaan wudu secara tertib merefleksikan nilai disiplin dan kesucian spiritual dalam syariat Islam.
. Daftar Pustaka
Al-Syafi‘i, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990.
Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr, 2002.
Ibn Qudamah. Al-Mughni. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1997.
Al-Sarakhsi. Al-Mabsūṭ. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1993.
Malik bin Anas. Al-Muwaththa’. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 1981.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Al-Syaukani. Nail al-Autar. Kairo: Dar al-Hadith, 2005.
Al-Ghazali. Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.
Ibnu Hazm. Al-Muhalla. Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
Ibnul Qattan, Abu al-Hasan. Al-Iqna‘ fi Mas’alat al-Ijma‘. Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1998.
Al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1999.
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr, 2004.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Fiqh Muqaran. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.








