Di era modern ini, berbelanja telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan rumah tangga. Keberlimpahan produk dan kemudahan akses mendorong masyarakat untuk terus berbelanja, tak jarang melampaui batas kebutuhan. Ditambah semakin mudahnya berbelanja via platform digital. Lantas, bagaimana seharusnya kita memandang aktivitas ini? Apakah fenomena berbelanja yang tak terhindarkan di era digital ini merupakan cerminan kebutuhan mendasar manusia, atau sekadar hasrat yang dikendalikan oleh daya tarik komersial yang tak terbatas? Apakah belanja merupakan kebutuhan ataukah keinginan semata.
Tulisan ini akan mengupas sedikit fenomena belanja sebagai bagian dari kegiatan konsumsi rumah tangga. Menelusuri batas tipis antara kebutuhan dan keinginan, serta menawarkan saran bijak dalam berbelanja.
Data BPS tahun 2023 menunjukkan, konsumsi rumah tangga mendominasi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, mencapai 57,01%. Angka ini mencerminkan peran sentral konsumsi dalam menggerakkan roda ekonomi. Namun, di balik angka tersebut, terdapat pola konsumsi yang perlu ditelaah.
Tingginya budaya konsumtif membuat banyak rumah tangga terjebak dalam dilema membedakan kebutuhan pokok dengan keinginan semata. Seringkali, batas antara kebutuhan dan keinginan rumah tangga menjadi kabur. Kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan papan dengan secukupnya, menjadi prioritas utama. Namun, gaya hidup modern melahirkan keinginan sekunder dan tersier yang tak kalah menggoda, seperti gadget terbaru, fashion terkini, hingga liburan mewah.
Psikologi menjelaskan bahwa manusia memiliki dua dorongan utama: kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah hal-hal yang esensial untuk kelangsungan hidup, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Sedangkan keinginan adalah hasrat untuk memiliki sesuatu yang tidak esensial, namun dapat meningkatkan kualitas hidup dan memberikan rasa puas. Kebutuhan sangat penting untuk bertahan hidup, keinginan tidak. Menariknya, penelitian J. Bosulu tahun 2021 menunjukkan bahwa “keinginan” memiliki pengaruh lebih besar pada perilaku konsumsi, dan untuk memotivasi tindakan, stimulus perlu diarahkan pada kondisi yang diinginkan.
Teori psikologi menjelaskan beberapa faktor yang mendorong keinginan berbelanja.
Pertama, tekanan sosial. Iklan gencar dan media sosial memicu rasa iri dan dorongan untuk mengikuti tren, memicu pembelian impulsif. Ketika platform media sosial menjadi ajang flexing, atau memang sengaja sebagai aktivitas marketing, keinginan membeli barang-barang yang kadang tidak dibutuhkan semakin meningkat. Padahal belum tentu apa yang nampak di dunia maya (ekspektasi), akan sesuai dengan realita.
Kedua, pencarian identitas. Barang-barang tertentu diasosiasikan atau menjadi simbol status sosial dan citra diri. Hal ini mendorong perilaku konsumtif di mana orang membeli barang-barang tersebut untuk meningkatkan harga diri dan mendapatkan pengakuan sosial.
Ketiga, memenuhi kekosongan. Terkadang, berbelanja menjadi pelarian dari stres, kesepian, atau rasa tidak puas, memicu pembelian emosional. Di tengah kesibukan dan tekanan hidup, beberapa orang mencari pelampiasan dalam bentuk berbelanja. Ketika stres, seseorang mungkin tergoda untuk membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan, seperti pakaian baru, gadget, atau makanan yang tidak sehat. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan stres dan meningkatkan mood secara temporer.
“Berbelanja tidak selalu buruk. Dengan kesadaran dan prinsip yang kuat, kita dapat menjadi konsumen cerdas dan bertanggung jawab.”
Imam Al-Ghazali, dalam beberapa kitabnya seperti Ihya’ ‘Ulumuddin dan Kimiya as-Sa’adah, mengingatkan kita tentang pentingnya hidup sederhana dan bersyukur. Beliau menganjurkan konsumsi yang moderat dan terencana, demi tercapainya ketenangan jiwa dan kebahagiaan hakiki. Beliau memberikan panduan bagi individu untuk membangun hubungan harmonis dengan diri sendiri, orang lain, dan Tuhan, yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermakna, yang didasari oleh kesederhanaan, rasa syukur, dan pencerahan spiritual.
Pemenuhan kebutuhan merupakan hak asasi manusia dan wajib diprioritaskan. menekankan pentingnya keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Konsep ad-dlaruriyat – Maqashid As-syari’ah menjelaskan bahwa dalam Islam kebutuhan pokok harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan memastikan kehidupan yang layak. Sehingga aktivitas belanja dalam rumah tangga sepatutnya disandarkan pada tujuan kemaslahatan kehidupan rumahtangga.
Berikut beberapa saran untuk mencapai konsumsi bijak dalam rumah tangga.
- Buatlah daftar belanja. Catat kebutuhan primer dan sekunder secara realistis, hindari pembelian impulsif.
- Tetapkan anggaran. Alokasikan dana secara proporsional untuk berbagai kebutuhan, termasuk menabung dan investasi.
- Pertimbangkan kualitas. Pilihlah barang yang tahan lama dan fungsional, daripada mengejar tren sesaat.
- Belanjalah dengan sadar. Hindari godaan iklan dan diskon berlebihan, fokuslah pada kebutuhan nyata.
- Bersyukurlah atas apa yang dimiliki. Hargai apa yang Anda miliki, alih-alih selalu tergoda dengan hal baru.
Berbelanja bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia mendorong pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan hidup. Di sisi lain, ia dapat menjerumuskan ke dalam pola konsumtif yang tidak sehat dan menjebak kita dalam siklus materialisme yang seringkali berakhir dengan penderitaan.
Dengan kebijaksanaan dan kesadaran, kita dapat bertransformasi menjadi konsumen cerdas yang bijak memilah kebutuhan dan keinginan, demi mencapai kebahagiaan sejati dan stabilitas keuangan rumah tangga.
Wallahu a’lam..