Curhat CPNS: Aku Lulus Tes Negara, Tapi Gagal Tes Sabar

Curhat CPNS: Aku Lulus Tes Negara, Tapi Gagal Tes Sabar

Aku kira setelah lulus CPNS, hidup akan sedikit lebih baik. Aku bayangkan seragam putih rapi, nama terpampang di papan absen, dan pekerjaan sesuai deskripsi. Tapi ternyata, aku salah besar. Aku lulus tes negara, iya. Tapi di kantor, yang benar-benar diuji adalah kesabaran.

Aku masih muda. Lulusan baru. Masih ingat semua shortcut di keyboard, tahu cara merge Excel, paham cloud storage, dan bisa bikin presentasi kinclong dalam satu malam. Tapi karena itu pula, aku jadi tukang segala. Di kantor, teknologi bukan alat bantu, tapi momok. Dan aku—yang dianggap “generasi digital”—jadi korban ekspektasi.

“Ini tolong bikinkan ya, saya bingung buka file-nya.”
“Ini kayaknya rusak deh printer-nya, kamu aja yang urus, kan kamu ngerti.”
“Nanti ya, kamu yang handle Zoom meeting, saya pusing liat layar.”

Awalnya kupikir itu wajar. Mereka senior, aku junior. Tapi lama-lama, beban itu seperti tembok. Makin hari makin tinggi. Pekerjaanku sendiri tak pernah tuntas, karena aku harus jadi pelayan teknologi bagi orang-orang yang dulu membanggakan mesin ketik.

Aku pernah tanya, “Ini bukan tupoksi saya, Bu.”
Jawabannya tajam. “Kita di sini kerja tim. Semua bantu semua.”
Tapi entah kenapa, ‘semua bantu semua’ itu artinya aku bantu semua, dan semua tidak bantu aku.

Kadang aku tertawa sendiri. Dulu belajar soal pelayanan publik, etika birokrasi, dan manajemen waktu. Tapi tak ada satu bab pun yang mengajarkan bagaimana caranya bilang “tidak” pada senior yang meminta dibikinkan PowerPoint untuk laporan tahunan yang bukan tugasku.

Aku sering duduk di meja, sore hari, semua orang sudah pulang. Menatap layar monitor, sambil meng-edit file yang bahkan bukan aku yang buat. Deadline-nya besok pagi. Tapi mereka akan bilang, “Kamu kan cepat ngerjainnya.”

Tak ada yang lebih menyakitkan dari dianggap mesin. Mereka pikir hanya karena aku bisa, aku harus. Mereka lupa, aku juga punya batas. Aku juga lelah. Aku juga manusia.

Tapi kupendam. Kupelajari. Kupahat sabar itu dalam-dalam. Karena aku tahu, jika aku protes, aku akan dicap manja. Tidak siap kerja. Tidak hormat pada senior. Maka kutulis semua ini dalam diam. Dalam tumpukan file. Dalam kopi yang dingin karena terlalu sibuk membalas WA mereka.

Tuhan tahu, aku tidak malas. Aku hanya ingin adil.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan