Hukum Keluarga di Sudan

Hukum Keluarga di Sudan

Dengan kekuasaan yang diberikan oleh Gubernur-Jendral, Pengadilan Komisioner berwenang mengatur hukum acara peradilan, membentuk peradilan khusus, menggugat para pihak, menentukan biaya perkara, mengangkat pengacara, menetapkan saksi-saksi dan lain-lain.

Pada tahun 1906, Sir Auction Colvin, penguasa tertinggi Inggeris di Mesir, menjadikan Pengadilan Komissioner menjadi Departemen Para Hakim Sipil (the Departement of Civil Judges) sebagai pengadilan banding. Ketua Mahkamah Agung disebut Chief Judge (Ketua Hakim). Berdasarkan Ordonansi Tahun 1915, Mahkamah Agung (High Court) terdiri dari Pengadilan Banding (Court of Appeal) dan Pengadilan Tingkat Pertama (Court of the Original Jurdisdiction). Dengan demikian, Pengadilan Komisioner dan Pengadilan Kelas I, II, dan III Magistrate dinyatakan hapus. Ketua Mahkmah Agung (High Court) disebut Chief-Justice.

Pada masa kolonial, hakim yang diangkat Pemerintah pada umumnya adalah hakim darurat berasal dari profesi militer atau administrarif, dan sedikit sekali yang merupakan hakim profesional.

Sistem peninggalan Inggeris-Mesir berlanjut sampai ke masa kemerdekaan tahun 1956 dengan berbagai penyesuaian penting, antara lain melalui proses sudanisasi dan islamisasi di Sudan. Proses sudanisasi, intinya adalah mengganti aparat peradilan, terutama hakim, dengan tenaga-tenaga asli Sudan dan mengganti administrasi peradilan dengan yang lebih berciri Sudan serta menggunakan bahasa Arab. Sedangkan proses islamisasi adalah memperbaiki sistem dan perundang-undangan sehingga lebih sejalan dengan syari`at Islam.

Dalam Konstitusi Sementara Sudan yang diberlakukan oleh Majelis Komando Revolusi pada bulan Agustus 1973 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah badan yang independen dan terpisah dari badan eksekutif dan legislatif. Lembaga peradilan berada di bawah kekuasaan Ketua Mahkamah Agung. Hal yang mirip juga dicantumkan dalam Konstitusi Transisi Sudan Tahun 1985, Konstitusi Sudan Tahun 1998, dan Konstitusi Sudan Tahun 2005.

Peradilan Sipil (Perdata), diatur dalam Ordonansi Peradilan Sipil, mempunyai satu Pengadilan Tinggi (High Court of Justice, Mahkamah Agung) dan beberapa Pengadilan Propinsi (Provincial Courts). Sedangkan Peradilan Pidana dengan KHUP dan KUHAPidana mempunyai beberapa Pengadilan Besar (Major Courts), Pengadilan Kecil (Minor Courts) dan Pengadilan Magistrate (Magistratrate’s Courts).

Sementara itu masalah hukum personal atau keluarga warga beragama Islam dilaksanakan oleh Mahâkim Syar’iyyah yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman di Sudan. Setelah UU Hukum Personal atau Keluarga Tahun 1991, Mahâkim Syar’iyyah (Mahkamah Syar’iyah) disebut sebagai Mahakim al-Ahwal ash-Shakhshiyyah (Pengadilan Hukum Personal atau Keluarga) karena kewenangannya yang menyangkut masalah personal atau keluarga. Pengadilan Hukum Personal atau Keluarga terdiri dari sebuah Mahkamah Banding (Court of Appeal), beberapa Pengadilan Tinggi (High Courts) dan Pengadilan Qadhi (Qâdhi Courts). Pengadilan ini berada di bawah seorang Qâdhî al-Qudhât (Grand Qâdhi).[6]

Selain itu, Sudan juga pernah mengenal jabatan Mufti yang merangkap sebagai hakim agung. Dalam keadaan Qadhi al-Qudhat berhalangan, maka Mufti menggantikan peranan Qadhi al-Qudhat. Tugasnya adalah menerbitkan fatwa (legal oponion) berdasarkan hukum Islam untuk kepentingan negara dan masyarakat.[7] Jabatan Mufti berlanjut sampai tahun 1991, ketika disahkan UU Hukum Pribadi atau Keluarga.[8] Fungsi Mufti kemudian digantikan oleh Lembaga Hukum Islam (Majma’ al-Fiqh al-Islami) yang dibentuk berdasarkan undang-undang.

Berdasarkan UU Pokok-Pokok Kahakiman (The Judiciary Act) 1986, UU Hukum Acara Perdata (The Civil Procedure Act) 1983, dan UU Hukum Acara Pidana (The Criminal Procedure Act) 1991, Ketua Mahkamah Agung Sudan mengepalai dua lembaga sekaligus, yaitu Mahkamah Agung/The Supreme Court, dan Majelis Tinggi Peradilan/The Supreme Council of Judiciary sebagai Komisi Yudisial. Ketua Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman dengan mengepalai peradilan, bidang administrasi dan bidang keuangan.[9]

Mahkamah Agung mempunyai 70 hakim agung. Majelis Hakim Agung bersidang dengan tiga hakim. Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Putusan yang sudah diambil tidak dapat direvisi, kecuali bila Ketua Mahkamah Agung melihat sesuatu menyangkut hukum syari`at sehingga dibentuk majelis baru beranggotakan 5 orang hakim agung yang meninjau kembali putusan yang sudah diambil.

Hakim Agung diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan Majelis Tinggi Peradilan yang dipilih dari kalangan hakim tinggi dan profesi lainnya dengan kualifikasi serta syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Majelis Tinggi Peradilan yang diketahui KMA beranggotakan Wakil-Wakil KMA, 2 orang ketua pengadilan, Menteri Kehakiman dan Keuangan mewakili eksekutif, dan 2 orang pejabat tinggi yang menangangi fungsi keuangan dan peradilan. Sekretaris Majelis adalah salah seorang hakim agung. Majelis Tinggi Peradilan mempunyai empat devisi, yaitu kesekretariatan, inspeksi peradilan, statistik peradilan dan personalia.

Penerpan hukum Islam di luar hukum keluarga dimulai pada masa pemerintahan Presiden Numeiri yang mengumumkan ‘pemberlakuan hukum pidana Islam pada bulan September 1983 menyangkut hudûd.[10] Untuk itu Numeiri membentuk sebuah komite yang mempersiapkan UU Hukum Pidana 1983, UU Hukum Perdata, UU Hukum Personal atau Keluarga dan beberapa UU Hukum Acara.[11] B’’erbagai UU ini kemudian dinyatakan berlaku, merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya.

Setelah diterapkan selama satu tahun atau lebih ternyata menimbulkan berbagai kritikan dari kalangan penantang dan pendukung pidana Islam. Kritikan tersebut pada dasarnya karena sifat ketergesa-gesaan pembuatan perundang-undangan, minimnya penelitian ilmiah yang memadai,[12] sumber daya yang terbatas dan lain-lain. Kritikan dari pihak penantang, terutama dari pihak Gereja di wilayah Selatan dan kekuatan Barat, dengan berbagai dalih, antara lain karena Sudan pada dasarnya adalah sebuah negara multi agama dan budaya, khususnya di wilayah Selatan yang lama bergolak sampai akhirnya dicapai perjanjian perdamaian.[13]

Fase kedua penerapan hukum Islam dalam bentuk yang lebih luas dilakukan pada tahun 1991 di bawah kepemimpinan Presiden ’Umar Basyir dengan merevisi beberapa pasal berbagai undang-undang yang diundangkan selama Presiden Numeiri. Penekanan pada fase revisi ini tidak hanya dalam bidang penengakan hukum, tetapi lebih-lebih lagi dalam bidang pendidikan dan ekonomi, dengan tujuan membentuk warga negara yang berkemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi sehingga pada masa depan tidak ada alasan untuk menangguhkan pelaksanaan hukum pidana hudud.[14]

  1. Sekilas Hukum Diskriminatif

Diskriminasi terhadap perempuan dalam hal akses karir dan pengembangan sangat sering dan kerangka hukum saat ini tidak memadai memungkinkan perempuan membela kasus mereka di pengadilan. Menurut Undang-Undang Kebangsaan 1991 pemberian kewarganegaraan Sudan berdasarkan kondisi dinyatakan oleh Pasal No.4 (Seseorang dianggap sebagai Sudan dengan kelahiran berikut kondisi (a) jika ia memperoleh kewarganegaraan Sudan kelahiran (b) terlebih dahulu telah lahir di Sudan atau ayahnya lahir di Sudan harus pada saat berlakunya undang-undang ini seorang warga di Sudan dan dia atau keturunan orang tua nya adalah penduduk di Sudan sejak hari pertama Januari 1956.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan