Masih terkait dengan artikel yang penulis tulis sebelumnya (Urgensi Pencatatan Perkawinan, 24-09-2024) bahwa Perkawinan yang tidak tercatat dapat menimbulkan permasalahan hukum, tidak adanya perlindungan hukum terhadap istri, anak dan segala sesuatu akibat dari perkawinan. Konsekuensi dari tidak dicatatkannya perkawinan mengakibatkan status perkawinan tidak jelas termasuk anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat menjadi anak yang tidak sah pula, perceraian juga tidak mungkin dilakukan karena tidak adanya akta perkawinan. Perkawinan tidak tercatat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi istri namun juga anak-anak yang dilahirkan karena hak-hak keperdataan mereka tidak terlindungi oleh hukum.
Mengingat begitu pentingnya pencatatan perkawinan, lantas bagaimana dengan perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah ? Dalam kasus ini digunakanlah peluang terbatas pada ketentuan KHI Pasal 7 ayat 3e “Isbat Nikah dapat dimintakan pada perkawinan yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Perkawinan”, pada pasal yang sama pada ayat 4 kemudian disebutkan bahwa yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah adalah suami isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepntingan dengan itu”.
Solusi terhadap pernikahan yang tidak dicatatkan ada dengan adanya isbat nikah, meski demikian fakta dilapangan masih banyak masyarakat yang melangsungkan pernikahan namun tidak dicatatkan, beberapa diantaranya disebabkan karena 1) Mahalnya biaya untuk memperoleh dokumen, 2) Jauhnya jarak ke kantor layanan 3) Kurangnya pemahaman prosedur, dan 4) Rumitnya proses yang harus dijalani. ini tentu menjadi problem, karena jumlahnya yang tidak sedikit, padahal dalam setiap peraturan perundang-undangan dalam pertimbangan hukumnya selalu menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pengakuan hukum tanpa diskriminasi termasuk hak membentuk keluarga dan keturunan melalui perkawinan yang sah dan hak anak atas identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran.
Isbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya pernikahan agar memiliki kekuatan hukum. Permohonan isbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama oleh para pihak dalam perkawinan yang tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan mendasarkan penetapan isbat nikah oleh Pengadilan Agama, para pihak dapat ke Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama untuk meminta perkawinannya tersebut dictatatkan dan dikeluarkan Buku Kutipan Akta Nikahnya. Dari kutipan akta nikah tersebut kemudian digunakan dasar untuk membuat akta kelahiran dari anak-anak yang lahir dari hasil pernikahan tersebut.
Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menetukan adanya suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan/akta nikah yang dicatat dalam register. Akta perkawinan/akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti
perkawinan artinya tanpa adanya akta perkawinan yang tercatat dalam register perkawinan secara hukum dianggap tidak ada atau belum ada perkawinan atau dengan kata lain Perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama akan diterbitkan Akta Nikah, merupakan unsur konstitutif perkawinan.
Mengacu pada banyaknya permasalahan hukum yang terjadi di bidang perkawinan, sebenarnya urgensi pencatatan perkawinan “tidak sekedar” ketertiban administrasi tetapi berimplikasi juga terhadap “sah”-nya perkawinan, ahli waris dan identitas anak. Namun politik hukum nasional masih menempatkan pencatatan perkawinan sebagai ketertiban administrasi dan kepastian hukum bukan sebagai keabsahan perkawinan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan dan Pasal 5 ayat 1 KHI “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
Pengadilan Agama berdasar Perma Nomor 1 Tahun 2015, melaksanakan Isbat Nikah karena pertimbangan maslahat bagi umat Islam. Isbat Nikah memberikan manfaat pada masyarakat muslim untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi berwenang dalam memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami isteri.
Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban suatu negara, kepastian hukum (rechtszekerheid) juga merupakan jaminan bagi masyarakat bahwa semuanya akan diperlakukan oleh negara berdasarkan peraturan hukum tidak dengan sewenang-sewenang. Hukum adalah kumpulan nilai dan norma masyarakat yang ditulis dan diberlakukan dengan seperangkat sanksi bagi yang tidak mematuhi. Sebagai produk politik, maka hukum berwajah kepentingan-kepentingan yang dominan dalam proses dan institusi. Proses dan Institusi dalam membuat wajah hukum selalu diwarnai atas hukum masa lalu (ius constituendum), hukum yang berlaku
saat ini dan hukum bagi masa yang akan datang (ius constitutum). oleh karena itulah wajah hukum dapat dilihat dari bagaimana hukum dirumuskan, ditegakkan dan bagaimana hukum dirumuskan untuk masa depan. Hakim Peradilan Agama sebagai penegak hukum, patut menggunakan otoritasnya dalam perspektif hukum yang berkeadilan dengan menjalankan aktifitasnya selalu mempertimbangkan dan menentukan pilihan yang tepat berkaitan dengan tujuan hukum dan disesuaikan dengan realitas kehidupan bermasyarakat.
Ada 3 (tiga) alasan bagi Hakim Pengadilan Agama dalam mempertimbangkan permohonan isbat nikah setelah berlakunya UU Perkawinan ; Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit, yakni hakim dianggap mengetahui hukum isbat nikah; Kedua, berlakunya asas kebebasan hakim untuk menemukan hukumnya terhadap kasus yang belum terdapat hukumnya (rechtsvacuum). Ketiga, realitas hakim untuk menemukan dan menganalisis sebuah kebenaran baru atas suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum.
Pendekatan tersebut memungkinkan hakim melakukan penafsiran sosiologis terhadap peraturan perundang-undangan terkait agar tidak terjadi kebuntuan hukum (rechtvinding). Dalam konteks Politik Hukum, hakim dengan kewenangannya dapat memerankan dirinya sebagai pembentuk, penentu, penerapan aturan perundang-undangan, hingga penegakan hukum dapat berjalan efektif. Degan perspektif politik hukum pula, hakim dapat aktif menggunakan bahan-bahan hasil penelitian, kajian dan analisis atas perubahan perubahan yang terjadi terkait perlu atau tidaknya isbat nikah, sehingga hakim bersikap aktif dapat memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan utamanya keadilan bagi perempuan dan anak dalam perkawinan dan keluarga.
(Afif Zakiyudin, Penghulu – KUA Kec. Kendal, Kab. Kendal)