Penjelasan qat’i al-dalalah tersebut, dapat diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang menunjukkan untuk suatu makna yang jelas. Qat’i al-dalalah dalam pengertian ini dapat dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti”.
Al-Gazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurut ulama ini, qat’i al-dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat semenjak asalnya. [20] Tampaknya yang dimaksud Syatibi bahwa jarang sekali ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an adalah qat’i yang mengandung makna yang jelas lagi berdiri sendiri tanpa didukung oleh dalil lain.
Kedua, qat’i al-dalalah dari sisi bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung oleh dalil. Dalam ide yang sama al-Gazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil. [21]
Abdul Wahbah Abdul Salam menyetujui pendapat yang mendefinisikan zanni al-dalalah sebagai: “Apabila dalalah suatu lafal tidak menunjukkan untuk makna tertentu, tetapi mengandung kebolehjadian makna lain, lafal itu sendiri mengandung dua makna atau lebih”.
Definisi tersebut, jelas bahwa nas atau ayat-ayat zanni al-dalalah mengandung kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad bagi para ulama untuk menentukan makna mana yang lebih kuat dan dikehendaki oleh ayat tersebut dengan jalan menafsirkan atau menakwilkannya. Dalam konteks ini, mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat-ayat zanni al-dalalah. Ayat-ayat zanni bukan hanya dapat dikaji dari sisi kebahasaan, tetapi dapat dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan menggunakan metode istinbat hukum yang meliputi kias, istihsan, istislah dan ‘urf.
[1] Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, Semarang: Bulan Bintang, hlm. 43
[2] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973, hlm. 219.
[3] Munawar Kholil, op. cit
[4] Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet-8, 2002, hlm. 123.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’shum, et al., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005, hlm. 424.
[6] Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Juz 2, Bairut: Dar al-Fikr, tt., h, 784.
[7] Jalaluddin al-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazdo’ir, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, 1987, h. 31.
[8] Hasbi Asy-Siddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 373.
[9] Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, al-Maqâsyid al-’Âmmah, h. 138
[10] Abdallah M. al-Susayn al-’Amri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam, h. 42.
[11] Abdallah M. al-Susayn al-’Amri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam ., h. 42-43
[12] Abdallah M. al-Susayn al-’Amri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam , h. 43.
[13] Muhammad Abu Zahrah, ….., h. 426
[14] Al-Syatibi, Al-I’tishom, Beirut: Dar al-Fikr, 1991, h. 115.
[15] Abdullah Wahab Khallaf,….h, 125.
[16] Mukhsin Jamil (ed.), Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), h. 24.
[17] Mukhsin Jamil (ed.), Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam,……,25.
[18] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Juz I (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 2003), h. 26.
[19] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, ……27.
[20] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Jil. II (Beirut: Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, t.th), h. 94.