Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 21 Okt 2025 00:56 WIB ·

Membumikan Tradisi Pesantren: “Al-Adabu Fauqal ‘Ilmi Wabil Khidmah Tunālul Barakah”

Penulis: Khaerul Umam


 Membumikan Tradisi Pesantren:  “Al-Adabu Fauqal ‘Ilmi Wabil Khidmah Tunālul Barakah” Perbesar

Oleh :

KHAERUL UMAM, S.Ag*)

(Penghulu Ahli Madya KUA Pakuhaji)

 

 

Muqadimah

       Sebagaimana yang kita ketahui Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Hari Santri Nasional (HSN). Hal ini mengingatkan akan perjuangan bersejarah yang dilakukan para ulama dan santri dalam mempertahankan dan memperjuangkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tangan penjajah Belanda. Adapun pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional didasarkan kepada K.H. Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama pada saat itu menyerukan ajakan jihad, yang disebut sebagai Resolusi Jihad untuk melawan tentara sekutu. Dipimpin oleh kyai dan dibantu oleh santri sebagai tangan kanannya, semangat santri tidak goyah untuk bertekad dan bersatu melawan para penjajah yang hendak menghancurkan Indonesia lagi, padahal saat itu kemerdekaan Indonesia telah berlangsung 2 bulan sebelumnya.

     Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) ke-10, 22 Oktober 2025 ini diguncang dengan musibah dan cobaan berupa framing kejam terhadap dunia pesantren. Musibah ambruknya Gedung di ponpes Al-Khoziny Sidoarjo Jawa Timur pada hari Senin tanggal 29 September 2025 yang menelan korban jiwa 67 orang dan ratusan lainnya luka-luka serta ujian berupa fitnah dan framing negatif  dari sebuah tayangan Xpose Uncensored Trans7 tentang Pondok Pesantren Lirboyo. Liputan itu menyorot tradisi ta’dzim, pemberian amplop, penghormatan santri terhadap kiai dengan berjalan jongkok dan membantu pekerjaan rumah kiai, serta menyinggung soal kekayaan para kiai.

      Maka kemudian, kedua peristiwa tersebut menjadi tranding topik di berbagi platform media sosial, cuplikan tayangan Xpose Uncensored Trans7 tersebut tak luput menyulut komentar bernada sinis: “Feodal”, “Kiai eksploitatif”, “Santri jadi pembantu gratis”. Publik digital atau para netizen pun mulai “menguliti” tradisi pesantren: gotong royong membangun gedung, membantu di rumah kiai (ro’an ndalem), hingga berbagai bentuk pengabdian dianggap sebagai “kerja rodi” terselubung. Gayung bersambut, kaum santri pun dari mulai alumni maupun santri pondok pesantren secara umum melakukan perlawanan dan menyerukan gerakan boikot Trans7 yang menjadi trending di berbagai platform media sosial. Pertanyaannya, apakah pesantren memang feodal dan menindas, mengapa tradisi-tradisi mulia yang sudah membumi di pesantren puluhan tahun itu diusik? atau justru kita yang sedang terjebak dalam mitos modern yang diciptakan oleh media dan pihak-pihak tertentu yang membenci Islam?

Meluruskan Kekeliruan Paradigma Terhadap Pesantren

         Salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, menayangkan sebuah liputan yang menyorot kehidupan pesantren. Dalam tayangan tersebut, publik disodorkan narasi visual yang menggambarkan pesantren sebagai ruang feodalisme, di mana ada kiai menerima amplop dari santri. Lalu dinarasikan dengan cekikikan oleh suara perempuan, bahwa kiai itu mobilnya mewah, sarungnya mahal. Para santri harus jongkok atau “ngesot” di hadapan kiai, hingga kerja bakti atau ro’an dianggap sebagai bentuk perendahan martabat. Framing semacam ini tentu memantik kegelisahan banyak kalangan, terutama keluarga besar pesantren.

       Masalahnya bukan semata pada fakta visual yang disajikan, melainkan pada cara pandang (paradigma) yang melatarinya. Media, dengan kacamata eksternal (paradigma etik), melihat fenomena pesantren dengan logika institusi modern sekuler: hubungan guru–murid dipahami semata-mata dalam kerangka relasi pedagogik formal, seperti sekolah umum. Padahal, dunia pesantren memiliki paradigma emik, yakni cara pandang dan sistem makna yang lahir dari dalam tradisi itu sendiri.Maka, dalam konteks ini, secara fenomenologis, ada makna yang sebenarnya dihidupi. Pendekatan fenomenologi mengajarkan bahwa untuk memahami sebuah realitas sosial, seseorang harus masuk ke dalam horizon makna para pelakunya. Dalam dunia pesantren, relasi kiai dan santri bukanlah relasi transaksional atau hierarkis sebagaimana dipahami dalam struktur kekuasaan modern. Ia adalah relasi spiritual, keilmuan, dan pengabdian. Di pesantren ada kearifan lokal: bil khidmah tunālul barakah.

       Menghormati kiai dengan cara duduk sopan, “ngesot” (meski “ngesot” ini tidak berlaku pada semua pesantren), atau mencium tangan bukanlah tanda perendahan diri, melainkan ekspresi ta‘zhim—sebuah bentuk penghormatan yang dihidupi sebagai nilai spiritual dan rasa cinta kepada guru atau kiai. Demikian pula amplop atau hadiah yang diberikan santri kepada kiai bukan “suap” atau “transaksi”, tetapi bagian dari adab tabarrukan, mencari keberkahan dari ilmu dan guru. Itu pun, lagi-lagi, banyak kiai yang sebenarnya bekerja dan punya usaha ekonomi atau bisnis. Tetapi tidak semua orang tahu. Jika fenomena ini dipahami dengan paradigma luar dan liar, tentu akan terlihat “feodal” atau “tidak egaliter”. Namun bila dilihat dari dalam, maknanya justru sangat luhur. Sebab kiai diposisikan sebagai mursyid (pembimbing ruhani) dan pewaris ilmu, sementara santri berperan sebagai murid yang mengabdi untuk mencari keberkahan ilmu, bukan sekadar ijazah.

       Penghormatan dan pemuliaan kepada kyai dilandasi pada sikap kecintaan lantaran kyai adalah orang tua yang melahirkan dari kebodohan menuju pencerahan dan dari akhlak buruk menuju akhlak yang baik. Lebih dari itu, kyai adalah seorang yang berilmu, shaleh, dan berakhlak mulia yang dalam pandangan Islam disunnahkan untuk dihormati dan dimuliakan. Para ulama menyatakan bahwa disunnahkan mencium tangan guru, ulama, orang-orang shaleh, dan orang-orang mulia.

       Imam an-Nawawi dalam kitab Fatawa al-Imam an-Nawawi menyatakan bahwa “disunnahkan mencium tangan orang-orang shaleh dan orang-orang alim yang agung”. Penghormatan kepada guru, orang tua, orang alim, asketis/zahid, karena ilmu dan akhlak dan sesamanya adalah bagian dari urusan keagamaan, bukan urusan duniawi. Dalam hadits Sunan Aby Dawud dikatakan bahwa tangan Kanjeng Nabi dicium oleh para sahabat dan anak cucunya. Sebagaimana Abu ‘Ubaidah mencium tangan Sayyidina Umar bin al-Khatthab sahabat dekat Nabi.

      Syekh Dr Ahmad Syarbushy dalam kitab Yasalunaka fi ad-Din wa al-Hayat menyatakan bahwa mencium tangan seseorang adalah mulia ketika bertujuannya mulia. Niat baik dan mulia mencium tangan kedua orang tua, guru, mursyid rohaniyah, orang shaleh, kekasih Allah/ wali, atau seorang yang agung yang menebar manfaat adalah mulia, baik, dan dianjurkan. Bahkan mayoritas ulama dan as-Syekh Muhammad Ali as-Shabuni dalam kitab Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam ketika menafsirkan QS. Al-Mujadalah: 110 menyatakan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa berdiri atau body language yang lain boleh untuk memuliakan orang lain dari golongan orang-orang mulia dan shaleh. Karena sikap penghormatan dan menghormati adalah wajib bagi seorang muslim. Karena sejatinya menghormati itu adalah jalan cinta dan kasih sayang. Kami kalangan santri merujuk pada al-Quran, hadits, prilaku para sahabat dan pandangan para ulama dalam kitab kuning.

Membuka Nalar: Pahami Tradisi Pesantren

        Memang tidak mudah memahami pesantren. Sangat wajar Gus Dur menyebut pesantren sebagai Sub-Kultur. Menurut Gus Dur, sistem kehidupan pesantren sangat beda sekali dengan kehidupan di luar pesantren. Contohnya, aktivitas pesantren biasanya hidup di malam hari. Ini beda dengan orang kota yang justru mereka malam hari sudah tidur, karena harus bangun pagi hari untuk bekerja. Sementara Santri, aktivitasnya baru dimulai malam hari: mereka masak, nyuci baju, dan belajar. Sehingga bangunnya kerapkali kesiangan. Konon tulisan ini ditulis Gus Dur untuk memberi penjelasan soal Pesantren kepada sosiolog dan antropolog kawakan jaman itu.

        Dari pesantren santri diajarkan bagaimana cium tangan ke orang tua, ustadz, termasuk ke santri senior yang umurnya lebih tua. Ini tradisi yang sama sekali tidak atau jarang temukan di luar pondok. Di zaman sekarang, cium tangan ke orang yang lebih tua bukanlah suatu hal yang umum. Pesantren itu juga banyak macamnya. Tradisinya juga berbeda-beda. Ada santri yang tumbuh dalam tradisi pesantren yang berbeda-beda. Ada pesantren yan lekat dan terpengaruh kuat sama tradisi Nadhlatul Ulama (NU),  begitu pun tradisi di pesantren PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) di sini jarang sekali melihat orang cium tangan, termasuk ke guru. Relasi guru dan murid kayaknya lebih egaliter, pesantren-pesantren dan pendidikan yang berada di bawah naungan Muhammadiyah, kultur budaya dan tradisinya tentu berbeda dengan pesantren-pesantren lainnya.

         Penulis pernah tinggal dan belajar di pondok salaf meski hanya tiga tahun plus satu tahun waktu kuliah di UIN di Bandung, dan sekarang sedang menyekolahkan  dua orang anak di sebuah pondok pesantren modern di daerah Tangerang, sedangkan si sulung sedang menempuh kuliah di UIN Jakarta. Penulis ingin bercerita berdasarkan pengalaman nyata tentang satu hal: amplop bisyaroh lainnya. Jika libur lebaran selesai, libur yang biasanya cukup lama, santri akan kembali ke pondok dengan suka cita. Yang mereka pertama lakukan setiba di pondok adalah berkunjung ke rumah kyai. Orang tua penulis, sudah menyiapkan “sesuatu” yang harus saya berikan kepada pak kyai Ketika tiba di pondok. Isinya terkadang beras, makanan-makanan ringan atau kue-kue, juga terkadang ada amplopnya. Berama santri lain penulis masuk ke rumah kyai, bersalaman mencium tangannya dengan sedikit membungkuk–dalam kasus penulis tidak ngesot atau jongkok terlalu dalam. Pak Kyai biasanya menanyakan kabar kami, kabar keluarga dan lantas ia akan bercerita tenatang banyak hal: program pondok, rencana ngaji pasaran selama Ramadhan dan lain-lain.

       Sebelum santri pulang ke “kobong” masing-masing, sambil pamit bersalaman, kami memberikan “bisyaroh” sederhana: sebuah amplop atau tadi bingkisan-bingkisan yang dibawa dari rumah. Bisyaroh sendiri arti harfiahnya kabar gembira. Tapi kata itu lebih sering dipakai untuk menunjuk pada fenomena pemberian dari murid atau santri kepada gurunya sebegai bentuk rasa terima kasih, syukur dan kecintaan pada guru.

          Anak penulis yang kedua dan ketiga sekarang juga sekolah di sebuah pondok modern. Berbeda dengan pondok salaf penulis dulu di Serang yang nyaris gratis, penulis harus membayar cukup mahal uang bulanan untuk kedua anak penulis di pondok itu. Maklum santri dilayani dengan baik: makan yang cukup, jajanan, laundry, pakian seragam, dan lain-lainnya. Seperti di pondok-pondok lainnya, dan bahkan juga terjadi di sekolah-sekolah umum, setiap tahun pasti wali murid atau santri akan patungan untuk memberikan sesuatu kepada guru/ustadz. Menjelang lebaran juga biasanya wali murid atau santri akan melakukan hal yang sama: patungan untuk THR.

      Bahkan tahadust binni’mat, untuk penulis sendiri ketika jadwal penjengukan santri minggu pertama tiap bulannya sudah mempersiapkan beberapa amplop dan bingkisan lainnya, baik untuk pa kyainya, ustadz/ustadzah kamarnya (rata-rata ada 3 orang), guru mengajinya, dan guru kelasnya, dan untuk THR pun penulis menyiapkan khusus. Dan orang tua memberikan uang itu dengan ikhlas dan suka rela. Jika dipesantren yang harus membayar mahal saja bisyaroh itu diberikan, bayangkan jika anda bersekolah di sebuah pondok yang nyaris gratis, atau membayar sangat murah. Uang di amplop atau bingkisan-bingkisan buah tangan tadi tidak ada artinya dibanding dengan apa yang selama ini diberikan kyai pada santrinya. Bentuk hormat, kecintaan dan rasa sosial itu universal.

        Bisyaroh untuk Kiyai adalah tradisi santri sowan ke kiyai di awal tahun pembelajaran pasca liburan di kampung halaman. Biasanya seperti pengalaman pribadi saya, orangtua menitipkan oleh-oleh dan bisyarah untuk kiyai. Ada empat alasan. Pertama, lillahi ta’ala, semata hanya karena Allah. Bersedekah/hadiah atau bisyarah adalah baik kepada siapapun, apalagi kepada kepada guru kita, orangtua kita. Kedua, bahasa orangtua saya, titip awak (menitipkan diri) anaknya yang akan bermukim di pondok pesantren. Orangtua saya sering berkata, “kita kudu pintar nitipake awak” (kita wajib pinta menitipkan diri kita). Ketiga, berterimakasih kepada kiyai yang sudah direpotkan dan tersita waktunya untuk mendidik santri 24 jam dan bertahun-tahun. Keempat, meraih keikhlasan dan keberkahan. Karena keikhlasan guru bisa menjadikan santri futuh (terbuka) akal pikirannya sehingga mudah mempelajari pelajaran, mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah. Amplop yang hanya berisi tak seberapa yang setahun sekali itu sungguh tidak seimbang dengan apa yang sudah diberikan kiyai kepada santri. Dan pemberian santri itu inisiatif santri. Kiyai tidak berharap dan mengharapkan apapun dari santrinya. Yang diharapkan kiyai adalah santri betah di pesantren, rajin belajar dan mengaji, dan kelak ilmunya bermanfaat dan berkah untuk diri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Kiyai mendoakan dan nirakati (laku spiritual) untuk santri-santrinya. Dalam malam yang sunyi, kiyai memohon kepada Allah agar santri-santrinya dibukakan akal pikirannya agar mudah memahami pelajaran dan mendapatkan ilmu manfaat dan berkah.

Membumikan Tradisi Pesantren

       Ketika kamera Trans7 menyorot santri berjalan jongkok menerima minuman, yang sebenarnya adalah simbol penghormatan (ta’dzim), makna spiritual itu tiba-tiba berubah menjadi citra penindasan. Gambar yang sama, tapi konteksnya diputus. Menghormati kiai dengan cara duduk sopan, “ngesot” (meski “ngesot” ini tidak berlaku pada semua pesantren), atau mencium tangan bukanlah tanda perendahan diri, melainkan ekspresi ta‘zhim, sebuah bentuk penghormatan yang dihidupi sebagai nilai spiritual dan rasa cinta kepada guru atau kiai.

         Coba perhatikan di luaran sana, banyak kasus viral seorang guru atau beberapa guru di sekolah yang dilaporkan ke pihak berwajib karena menegur, menampar dan tindakan lain yang tujuannya menegakan aturan atau disiplin malah berujung guru-guru tersebut dipidanakan. Ini semua diantaranya akibat murid dan orang tua murid tersebut sudah tidak menghargai, tidak punya adab sopan santun dan menaruh hormat atau ta’dzim kepada gurunya.

          Ada pepatah/kutipan berasal dari bahasa Arab “ الأَدَبُ فَوْقَ الْعِلْم “ artinya: “Adab itu di atas ilmu.” Kalimat ini menekankan pentingnya adab atau etika dalam menuntut ilmu. Adab adalah mencakup perilaku yang baik, sopan santun, dan kesadaran akan tanggung jawab, yang semuanya dianggap lebih penting daripada sekadar memiliki pengetahuan. Maka dari itu, adab dan etika perlu diterapkan sebagai penyeimbang ilmu dan kepintaran yang kita miliki. Sebab, kepintaran seseorang tidak akan ada harganya apabila tidak mempunyai adab (etika). Ilmu akan menjadi berbahaya bagi dirinya dan orang lain apabila tidak dihiasi dan dibarengi dengan akhlak.

         Mengutip ucapan  K.H. Muhammad Syafi’i Baidlowi, Pengasuh Ponpes Ma’hadut Tholabah, Babakan, Lebaksiu, Tegal. Kata beliau, “Kalau hanya mengandalkan ilmu tanpa dibarengi adab, iblis lebih bisa. Sebab iblis diberikan keistimewaan oleh Allah lebih pintar dari pada manusia”. Imam Malik pun pernah berkata kepada salah seorang pemuda Quraisy tentang pentingnya mendahulukan adab sebelum mempelajari ilmu, “ تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “ artinya:“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

       Dalam dunia pesantren, relasi kyai dan santri bukanlah relasi transaksional atau hierarkis sebagaimana dipahami dalam struktur kekuasaan modern. Ia adalah relasi spiritual, keilmuan, dan pengabdian. Di pesantren ada kearifan lokal: bil khidmah tunālul barakah (dengan mengabdi, akan mendatangkan keberkahan). Demikian pula amplop atau hadiah atau bisyarah yang diberikan santri kepada kiai bukan “suap” atau “transaksi”, tetapi bagian dari adab tabarrukan, mencari keberkahan dari ilmu dan guru (ngalap barokah). Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga ruang reproduksi nilai-nilai sosial dan spiritual. Tradisi kerja bakti (ro’an) bukanlah perintah jongos, melainkan pembiasaan gotong royong, tanggung jawab kolektif, dan adab melayani. Lagi pula, ro’an (kerja bakti) itu biasa untuk membersihkan kamar mandi dan halaman pesantren supaya bersih. Kalau ada sebagian yang ikut bantu kiai, biasanya mereka santri khusus; mereka dibebaskan syahriahnya atau ditanggung makan minumnya oleh kyainya.

       Bagi orang yang tidak pernah mondok atau terbiasa dengan tradisi pesantren, tentu akan kaget melihat tradisi-tradisi penghormatan terhadap guru (ta’dziman wa takriman), berkhidmat, ro’an dan bisyaroh yang terkesan tidak lazim bagi orang yang tumbuh di lingkungan non-pesantren. Apalagi kalau cuma melihatnya dalam bentuk potongan video, yang sudah diframing buruk oleh Trans7.

       Maka tradisi-tradisi penghormatan dan adab sopan santun, tradisi berkhidmat/pengabdian dengan ikhlas, tradisi ro’an (kerja bakti), dan tradisi memberikan hadiah atau bisyaroh dimanifestasikan oleh santri dan membumi di lingkungan masyarakatnya ketika kembali ke masyarakatnya akan berdampak positif, bukan hanya untuk kesalehan dirinya saja, tetapi juga bisa menjadi kesalehan masyarakatnya. Santri sudah terbiasa dengan adabnya, akan mengabdi di masyarakatnya dengan ikhlas, tradisi ro’an atau gotong royong yang merupakan budaya nenek moyang kita yang mulai pudar akan dihidupkan kembali, dan tradisi memberikan hadiah atau sedekah akan menjadi kebiasaannya.

Penutup

        Media televisi sering kali lebih suka pada “narasi sensasional” ketimbang menyelami kedalaman makna lokal. Akibatnya, pesantren yang sesungguhnya menjadi pilar peradaban Islam Nusantara sejak berabad-abad lalu dipersepsikan negatif oleh publik perkotaan yang tidak mengenal dunia pesantren secara langsung. Hemat penulis, kita harus berani menegaskan kedaulatan makna. Liputan Trans7 semacam itu perlu dikritisi, bukan untuk menolak transparansi atau evaluasi terhadap pesantren, melainkan untuk melawan kolonialisasi makna. Dunia pesantren berhak menjelaskan dirinya sendiri, bukan semata menjadi objek framing media. Jurnalisme yang sehat seharusnya tidak hanya melihat atau menghakimi, tetapi juga memahami dengan baik dan utuh. Dengan pendekatan fenomenologi, wartawan atau pihak media seharusnya menyelami makna yang dihayati para santri dan kiai. Mereka perlu sadar bahwa cara pandang mereka sendiri terbentuk oleh konstruksi sosial modern.

          Dari kasus Trans 7 tersebut, ada beberapa hal penting yang bisa kita ambil pelajaran dan hikmahnya. Pertama, tidak semua yang terlihat itu bisa langsung dihakimi, di balik jalan jongkok ada adab, di balik amplop ada cinta, dan dibalik pengabdian ada nilai yang tidak bisa diterjemahkan oleh kamera. Kedua, pesantren bukan tempat penindasan, tetapi tempat pendidikan. Bukan ruang feodalisme, tetapi ruang pembentukan karakter. Karena di pesantren santri belajar bukan hanya mengaji tetapi juga mengabdi, santri belajar bukan hanya menalar tetapi juga menghargai. Dan kalau jurnalisme modern tidak sanggup menangkap kedalaman itu, maka tugas kita sebagai santri, alumni, dan pencinta ilmu adalah meluruskan bukan dengan amarah tetapi dengan nalar, bukan dengan makian tetapi dengan fakta. Ketiga, pondok pesantren bukan musuh peradaban, justru pilar utama penjaga akhlak dan keutuhan bangsa, jangan jadikan pesantren sasaran framing dan fitnah, kami cinta kedamaian tetapi juga akan tegas jika kehormatan ulama kami dilecehkan. Semoga bermanfaat…! Selamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2025: Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”.

 

———–

**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang,   da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan, juga pernah nyantri di Ponpes Miftahussa’adah Benggala Neglasari Kota Serang-Banten.

 

0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 26 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Dari Pesantren untuk Bangsa, Selamat Hari Santri

22 Oktober 2025 - 19:47 WIB

Santri, Pesantren, dan Indonesia: Transformasi Resolusi Jihad Digital Menuju Indonesia Emas 2045

21 Oktober 2025 - 14:49 WIB

NIKAH : Ibadah Yang Bertabur & Berlimpah Pahala

21 Oktober 2025 - 01:26 WIB

Terbukanya Pintu Rezeki Setelah Menikah, Benarkah?

21 Oktober 2025 - 01:10 WIB

 WALI NIKAH ILEGAL (PART 2)

20 Oktober 2025 - 17:26 WIB

Pesan Moral Poligami dalam Perspektif Islam

17 Oktober 2025 - 14:25 WIB

Trending di Karya Ilmiah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x