Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 17 Okt 2025 14:25 WIB ·

Pesan Moral Poligami dalam Perspektif Islam

Penulis: Dian Rahmat Nugraha


 Pesan Moral Poligami dalam Perspektif Islam Perbesar

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menelaah pesan moral di balik praktik poligami dalam Islam melalui studi historis kehidupan Nabi Muhammad SAW. Metode yang digunakan adalah analisis hermeneutika teologis dengan teori feminisme Islam dan maqashid syariah sebagai kerangka interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa poligami bukanlah ajaran normatif, melainkan izin kontekstual yang muncul dalam situasi sosial tertentu seperti penyantunan janda dan anak yatim.

Kata Kunci: Poligami, Hermeneutika, Feminisme Islam, Moralitas, Sejarah Nabi

Abstract

This study aims to explore the moral messages behind polygamy in Islam through the historical life of Prophet Muhammad (PBUH). The method used is theological hermeneutic analysis framed within Islamic feminism and maqasid al-shariah. The findings indicate that polygamy is not a normative teaching but a contextual permission in specific socio-historical circumstances, such as caring for widows and orphans.

Keywords: Polygamy, Hermeneutics, Islamic Feminism, Morality, Prophetic History

Pendahuluan

Poligami telah lama menjadi perdebatan dalam wacana hukum Islam dan gender. Sebagian umat Islam menganggap poligami sebagai bagian dari sunnah Nabi SAW, sementara yang lain menilai praktik tersebut berpotensi melahirkan ketidakadilan dan keretakan rumah tangga. Dalam konteks masyarakat modern, khususnya Indonesia, poligami seringkali menjadi isu sosial dan moral yang sensitive

Menurut Ambar (2015), penyebab utama perdebatan poligami bukanlah teks keagamaan itu sendiri, melainkan pemahaman yang sempit terhadap nilai moral Islam. Ayat QS. An-Nisa (4):3 sering disalahpahami sebagai legitimasi untuk beristri lebih dari satu tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan tujuan moral dari ayat tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pembacaan ulang terhadap teks Al-Qur’an dengan pendekatan yang lebih etis dan kontekstual, yang berorientasi pada maqashid syariah dan keadilan gender.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode analisis hermeneutika teologis. Pendekatan ini memadukan studi teks (Al-Qur’an dan hadis) dengan konteks historis kehidupan Nabi SAW serta teori feminisme Islam. Sumber data primer berasal dari Al-Qur’an, khususnya QS. An-Nisa (4):3 dan QS. An-Nisa (4):129, serta hadis-hadis terkait keadilan dalam rumah tangga. Sumber sekunder meliputi karya tafsir klasik dan kontemporer seperti Quraish Shihab (1996), Analisis dilakukan melalui tiga tahap: (1) Analisis teks – menelaah struktur linguistik dan makna kontekstual ayat; (2) Analisis historis – menelusuri latar sosial budaya masa pewahyuan; (3) Analisis moral-teologis – menilai implikasi nilai-nilai keadilan, rahmah, dan kemanusiaan universal.

Pembahasan

Rasulullah SAW menjalani kehidupan monogami selama 25 tahun bersama Sayyidah Khadijah RA, dan hanya melakukan poligami setelah Khadijah wafat. Mayoritas istri Nabi merupakan janda korban perang yang membutuhkan perlindungan. Hal ini menunjukkan bahwa praktik poligami beliau bersifat sosial-humanistik, bukan didorong oleh nafsu (Ambar, 2015). Riffat Hassan menegaskan bahwa tindakan Nabi SAW tersebut merupakan bentuk moral *ta’awwun* (kerjasama sosial) yang mencerminkan kasih sayang

Dalam QS. An-Nisa (4):3 disebutkan: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat; tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” Ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah syarat mutlak poligami. Sementara QS. An-Nisa (4):129 menegaskan, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.

Pendekatan hermeneutika teologis menafsirkan ayat poligami dalam bingkai *asbabun nuzul*. Ayat tersebut turun pascaperang Uhud, ketika banyak perempuan menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Oleh karena itu, perintah poligami dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Bagian akhir ayat (“fa wahidatan”) menegaskan bahwa monogami lebih mendekati keadilan. Menurut Quraish Shihab (1996), pesan moral dalam ayat ini bukan pembolehan tanpa batas, tetapi peringatan etis agar tidak membuat aniaya dan tidak adil

Hadis Nabi SAW juga memperkuat prinsip keadilan: “Barang siapa memiliki dua istri lalu tidak berlaku adil, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan tubuh miring sebelah” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya syarat sosial, melainkan juga tuntutan moral dan eskatologis.

Dalam kerangka feminisme Islam, poligami harus dilihat melalui prinsip *keadilan substantif*. Islam tidak menolak perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi menegaskan kesetaraan moral keduanya di hadapan Allah (QS. Al-Hujurat:13). Amina Wadud (2019) menekankan bahwa tafsir Al-Qur’an harus berorientasi pada keadilan relasional antara laki-laki dan perempuan, bukan pada keunggulan satu jenis kelamin atas yang lain. Poligami yang merendahkan martabat perempuan bertentangan dengan ajaran Islam

Menurut Yusuf al-Qaradawi (2018), poligami dibolehkan hanya ketika syarat keadilan, kemampuan finansial, dan kemaslahatan sosial terpenuhi. Sementara Husein Muhammad (2019) menegaskan bahwa poligami sering disalahgunakan untuk membenarkan perilaku patriarkal yang tidak sesuai dengan maqashid syariah. Oleh karena itu, reinterpretasi poligami perlu diarahkan pada konteks kesejahteraan dan keadilan sosial.

 

Pendekatan maqashid syariah modern sebagaimana dikemukakan oleh Jasser Auda (2020) menekankan bahwa tujuan hukum Islam adalah menjaga keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan sosial. Bila suatu praktik, termasuk poligami, menimbulkan mudarat lebih besar daripada manfaat, maka praktik tersebut bertentangan dengan maqashid. Dalam konteks ini, poligami hanya dapat dibenarkan apabila benar-benar menjadi solusi sosial, bukan sekadar pemuasan pribadi.

Data Kementerian Agama Republik Indonesia (2022) menunjukkan bahwa praktik poligami di Indonesia seringkali memunculkan ketegangan emosional, ekonomi, dan spiritual dalam keluarga. Banyak kasus perceraian disebabkan oleh ketidakmampuan suami bersikap adil. Hal ini menegaskan bahwa poligami modern tidak hanya isu hukum, tetapi juga masalah moral dan sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman agama yang lebih empatik dan kontekstual.

Dengan demikian, melalui analisis hermeneutika, feminisme Islam, dan maqashid syariah, dapat disimpulkan bahwa poligami dalam Islam bukanlah bentuk ideal pernikahan. Keteladanan Nabi SAW menunjukkan bahwa monogami lebih sejalan dengan nilai rahmah dan keadilan universal. Dalam era modern yang menjunjung kesetaraan, umat Islam dituntut untuk memahami pesan moral di balik teks, bukan hanya bentuk lahiriahnya.

Kesimpulan

Poligami dalam Islam merupakan izin bersyarat, bukan perintah normatif. Praktik ini hanya dibolehkan jika mampu memenuhi tuntutan keadilan dan kemaslahatan sebagaimana diatur dalam QS. An-Nisa (4):3 dan ditegaskan dalam QS. An-Nisa (4):129. Rasulullah SAW menunjukkan bahwa monogami adalah pilihan moral yang lebih sesuai dengan prinsip rahmah, keadilan, dan keseimbangan sosial.

Dalam perspektif maqashid syariah, hukum Islam ditujukan untuk memelihara kehormatan manusia (*hifz al-‘ird*), menjaga keturunan (*hifz al-nasl*), dan menegakkan keadilan (*al-‘adl*). Bila poligami menimbulkan mudarat, maka secara etis ia kehilangan legitimasi moralnya. Oleh karena itu, umat Islam sepatutnya meneladani keteladanan Nabi SAW dalam keadilan dan kasih sayang, serta menjadikan monogami sebagai simbol moralitas keluarga Islam modern yang harmonis, setara, dan berkeadilan.

Daftar Pustaka

Ambar, Iriani. (2015). Menelisik Pesan Moral di Balik Poligami (Deskripsi Historis Kehidupan Muhammad SAW dan Implikasinya dalam Islam). Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 8, No. 1.

Hassan, Riffat. (1990). Feminisme dan Al-Qur’an. Ulumul Qur’an, Vol. II.

Shihab, M. Quraish. (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan.

Abu Zayd, Nasr Hamid. (1992). Tekstualitas Al-Qur’an. Kairo: Al-Markaz al-Tsaqafi.

Mernissi, Fatima. (1991). Setara di Hadapan Allah. Yogyakarta: LSPPA.

Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity. Chicago: University of Chicago Press.

Wadud, Amina. (2019). Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. Oxford University Press.

Auda, Jasser. (2020). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law. London: IIIT.

Muhammad, Husein. (2019). Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Gender. Yogyakarta: LKiS.

Al-Qaradawi, Yusuf. (2018). Fiqh al-Mar’ah fi al-Islam. Beirut: Dar al-Syuruq.

Kementerian Agama RI. (2022). Laporan Statistik Perkawinan dan Poligami di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Bimas Islam.

0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 23 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Membaca Ulang Evolusi Peran Penghulu: Dari Masjid ke Kantor Urusan Agama

4 November 2025 - 15:56 WIB

WALI NIKAH ILEGAL (PART 1)

2 November 2025 - 20:54 WIB

Pentingnya Pendidikan Karakter Di Indonesia

1 November 2025 - 23:40 WIB

Herizal, S. Ag.,M.A (Kepala KUA Sitinjau Laut) Lakukan Pembinaan PC. BKMT Kecamatan Sitinjau Laut

29 Oktober 2025 - 09:03 WIB

KUA Sitinjau Laut Gelar Bimbingan Pranikah Kolaboratif Bersama Puskesmas dan PLKB Sitinjau Laut

29 Oktober 2025 - 08:57 WIB

Refleksi Sumpah Pemuda: Meneladani Ashabul Kahfi

28 Oktober 2025 - 12:04 WIB

Trending di Karya Ilmiah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x