Dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzi dan Ibn Hibban disebutkan :
عَنْ رُوَيْفِى بن ثَابِتْ رَضِيَ الله عَنهُ قالَ, قالَ رَسوْلُ الله صلي الله عليه وسلم لاَيَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Artinya :“Dari Ruwaifi bin Tsabit RA berkata, Rasululullah bersabda : tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menuangkan air bibitnya pada tanaman orang lain”.[8]
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab VIII pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dicantumkan bahwa :
- Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.[9]
Jika pria yangmenikahi wanita hamil tersebutadalah priayang menghamilinya ada beberapa pendapat ulama :
- Ulama madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali ) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah atau boleh bercampur sebagai suami istri dengan ketentuan bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
- Ibnu Hazm ( adzamiri ) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur, tetapi dengan catatan jika mereka telah bertaubat dan menjalani hukuman dera ( cambuk ) karena mereka telah berzina.
Pendapat ini berdasarkan pada hukum yang pernah ditetapkan oleh sahabat Nabi antara lain :
- Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, maka beliau berkata : “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
- Seorang laki-laki tua menyatakan keberadaannya kepada Khalifah Abu Bakar, dan berkata : “Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan”. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain, untuk melakukan hukuman dera ( cambuk ) kepada keduanya, kemudian dikawinkannya.
Jika pria yang menikahi wanita hamil tersebut bukan priayang menghamilinya dalam hal ini ada beberapa pendapat dari para ulama :
- Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan, sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal Pendapat beliau berdasarkan pada firman Allah QS. An-Nur : 3
Ibnu Qudaimah sejalan dengan pendapat Imam Abu Yusuf dan menambahkan, bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan 2 syarat :
- Wanita tersebut telah melahirkan, bila dia hamil. Jadi dalam keadaan hamil tidak boleh kawin
- Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera
(cambuk), apakah dia hamil atau tidak.
- Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani mengatakan, bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits :
Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahirkandungannya
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain ( tidak ada masa ‘iddah ). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab ( keturunannya ) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya.
Mengenai bayi yang dilahirkan, sepakat Ulama Hukum Islam menetapkan bahwa status anak itu termasuk anak hasil zina bila laki-laki yang mengawininya bukan yang menghamilinya, akan tetapi bila yang mengawini itu orang yang menghamilinya, maka terjadi dua macam pendapat dikalangan ulama, yaitu :
- Ada yang menetapkan bahwa bayi itu termasuk anak hasil zina, bila ibunya dikawini setelah kandungannya berumur 4 bulan keatas, dan bila kurang dari umur kandungan tersebut, maka bayi yang dilahirkannya termasuk anak suaminya yang sah.
- Ada lagi yang menetapkan bahwa bila ibunya sudah hamil, meskipun kandungannya baru beberapa hari, kemudian dikawini oleh orang yang menghamilinya, maka bayi yang dilahirkannya bukan anak suaminya yang sah. Karena keberadaannya dalam kandungan, mendahului perkawinan ibunya, maka bayi tersebut termasuk anak hasil zina.
Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masailul Fiqhiyah, menuturkan dilihat secara hukum perdata Islam, anak hasil zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya didunia ini, sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW Artinya :
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci/bersih (dari segala dosa), Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Thabrani dan Baihaqi dari Al Aswad bin Sari)
Dan diperkuat dengan firman Allah dalam surat An-Najm, ayat 38
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
Artinya : “Bahwasannya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”[10]
Oleh karena itu anak hasil zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti. Perlu ditambahkan bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari perkawinan, maka “sang ayah” berhak menolak keabsahan anak itu menjadi anaknya, sebab masa hamil yang paling sedikit berdasarkan Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 233 dan surat Al Ahqaf ayat 15 adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari seorang wanita hamil tidak ada nash yang jelas didalam Al Qur’an dan Sunnah.
- Status Anak Hasil Hubungan Diluar Nikah
Pada dasarnya, setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, termasuk juga anak yang dilahirkan akibat hubungan diluar nikah, dan tidak dibebani sedikit pun dosa oleh perbuatan siapa pun termasuk dosa yang dilakukan kedua orang tuanya.
Semua mazhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia tidak memiliki ayah. Meskipun si laki-laki yang menzinainya dan yang menabur benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Walaupun si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami tetap tidak berbapak. Berdasarkan Sabda Nabi SAW :
“setiap anak dinasabkan kepada ayahnya yang sah, dan tiada hak apapun bagi si pezina”
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
- Anak itu tidak berbapak
- Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu
- Bila anak itu perempuan dan dikala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim.[11]
Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” adalah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah” sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
“anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”[12]