Fenomena nikah siri, atau pernikahan yang tidak tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA), masih menjadi realitas yang tak terhindarkan di tengah masyarakat kita. Berbagai alasan melatarbelakangi praktik ini: mulai dari menghindari birokrasi yang dianggap rumit, keterbatasan finansial, hingga motif poligami tanpa persetujuan sah. Namun, di balik beragamnya alasan tersebut, nikah siri menyimpan dilema hukum yang mendalam, utamanya terkait penegakan hak-hak fundamental perempuan dan anak. Di sinilah peran penghulu, sebagai garda terdepan pelayanan keagamaan dan pencatat pernikahan, menjadi sangat krusial dan patut dioptimalkan.
Secara syariat, nikah siri memang bisa saja dianggap sah jika memenuhi rukun dan syarat pernikahan Islam, seperti adanya calon suami-istri, wali, dua orang saksi, mahar, serta ijab kabul. Namun, tanpa pencatatan resmi oleh negara, pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum di mata hukum positif Indonesia. Konsekuensinya fatal dan seringkali baru disadari ketika masalah muncul. Perempuan yang menjalani nikah siri tidak memiliki buku nikah sebagai bukti autentik perkawinannya. Artinya, ia tidak memiliki legalitas formal untuk menuntut hak-haknya jika terjadi perselisihan, perceraian, penelantaran, atau bahkan ketika pasangannya meninggal dunia. Hak atas nafkah, harta bersama, hingga warisan bisa terancam dan sulit diperjuangkan secara hukum.
Lebih memilukan lagi, anak-anak hasil nikah siri menjadi pihak yang paling dirugikan dan rentan. Status mereka di mata hukum seringkali tidak jelas. Anak tidak memiliki akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah secara sah, yang berdampak pada akses mereka terhadap hak-hak sipil dasar seperti pendidikan, kesehatan, identitas diri, hingga warisan di kemudian hari. Mereka berpotensi menyandang status anak luar kawin, yang secara hukum hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak dasar anak yang seharusnya dilindungi oleh negara dan orang tua.
Melihat kompleksitas dan dampak negatif ini, peran penghulu menjadi sangat vital, melampaui sekadar pencatat. Penghulu adalah sosok yang paling dekat dengan masyarakat dalam urusan pernikahan. Mereka memiliki otoritas moral, pengetahuan hukum Islam, dan pemahaman mendalam tentang regulasi negara. Oleh karena itu, optimalisasi peran penghulu dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan strategis:
Menguatkan Edukasi dan Sosialisasi Literasi Hukum
Penghulu harus menjadi ujung tombak edukasi masyarakat tentang pentingnya pencatatan pernikahan dan konsekuensi hukum dari nikah siri. Sosialisasi ini tidak bisa hanya formalitas, melainkan harus intensif dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat di Palimanan, dari majelis taklim, pertemuan RT/RW, hingga forum-forum pemuda. Penekanan utama harus pada perlindungan hak-hak perempuan dan anak, bukan sekadar formalitas administrasi. Masyarakat perlu memahami bahwa pencatatan pernikahan adalah bentuk perlindungan hukum dan pengakuan negara terhadap keberadaan keluarga.
Menjadi Garda Terdepan Pencegahan dan Mediasi
Ketika ada indikasi atau keinginan masyarakat untuk melakukan nikah siri, penghulu memiliki kewajiban moral dan profesional untuk memberikan pemahaman mendalam tentang risiko dan kerugiannya. Mereka bisa menjadi mediator dan konselor, menawarkan solusi atau mengarahkan pada prosedur yang benar, seperti Itsbat Nikah bagi pasangan yang sudah terlanjur nikah siri namun ingin memperoleh legalitas. Pendekatan persuasif dan empatik akan lebih efektif daripada sekadar menolak permohonan.
Membangun Kolaborasi Lintas Sektoral
Penghulu juga dapat memperluas jangkauan perlindungannya dengan berkolaborasi dengan lembaga hukum dan perlindungan perempuan serta anak. Dalam kasus-kasus di mana penghulu menemukan adanya praktik nikah siri yang merugikan pihak tertentu, khususnya perempuan dan anak, mereka bisa merujuk korban ke lembaga bantuan hukum atau pusat perlindungan untuk mendapatkan pendampingan. Sinergi ini akan memastikan bahwa hak-hak yang terabaikan dapat diperjuangkan melalui jalur hukum yang tepat.
Fenomena nikah siri adalah cerminan kompleksitas sosial yang berakar pada berbagai faktor, termasuk pemahaman agama yang parsial dan kondisi ekonomi. Namun, sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, terutama hak perempuan dan anak, kita tidak bisa membiarkannya terus berlanjut tanpa upaya serius. Dengan penguatan dan optimalisasi peran penghulu sebagai agen edukasi, pencegahan, dan pelindungan, kita berharap dapat meminimalisir dampak buruk nikah siri. Pada akhirnya, ini adalah upaya kolektif kita untuk memastikan setiap pernikahan di Palimanan dan seluruh Indonesia tercatat, memberikan kepastian hukum, dan yang terpenting, melindungi masa depan generasi penerus bangsa.