Kedua, pranata-pranata sosial merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat Islam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Interaksi sosial itu berpatokan dan mengacu kepada keyakinan (kesepakatan tentang benar dan salah), nilai (kesepakatan tentang baik dan buruk), dan kaidah (kesepakatan tentang yang mesti dilakukan dan yang mesti ditinggalkan), yang dianut oleh mereka. Ia merupakan per- wujudan amal shaleh sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi sosial.[5]
Dengan demikian, pembaruan hukum Islam sebagai aktualisasi perintah Allah mempunyai beragam bentuk dan mencakup beragam pranata sosial. Oleh karena itu, pembaruan hukum Islam di Indonesia terpola pada internalisasi hukum Islam ke dalam pranata-pranata sosial atau sebaliknya pranata sosial terinternaliosasi ke dalam hukum Islam. Pada konteks ini, tampak relasi yang saling mendukung antara hukum Islam dan pranata sosial.
B. Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Pembaruan pemikiran hukum Islam pada masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih cendrung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan dipahami melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang dikandung oleh teks wahyu. Ada dua konsep dalam pembaruan, yakni; (1) konsep konvensional, dan (2) konsep kontemporer yang muncul dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dalam bentuk kodifikasi.
Penerapan metode konvensional, para ulama terlihat dalam berijtihad dan menerapkan pandanagn hukumnya dengan mencatat ayat al Quran dan Sunnah. Para ahli menetapkan, ada beberapa cirihas atau karasteristik metode penetapan hukum Islam (fiqh) yaitu; menggunakan pendekatan parsial (global), kurang memberikan perhatian terhadap sejarah, terlalu menekankan pada kajian teks/harfiah, metodologi fiqh seolah-olah terpisah dengan metodologi tafsir, terlalu banyak dipengaruhi budaya-budaya dan tradisi-tradisi setempat, dan dalam beberapa kasus di dalamnya meresap praktek-praktek tahayul, bid’ah dan kufarat, khususnya yang berkaitan dengan ibadah. Masuknya unsur politik di dalamnya atau pengaruh kepentingan penguasa dalam menerapkan teori-teori fiqh.
Sedangkan metode kontemporer pada prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam kontemporer di Indonesia yaitu:
- Takhayyur yaitu memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk ulama di luar madzhab, takhayyur secara substansial disebut tarji
- Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih) dalam menetapkan hukum satu masa
- Takhshish al-qadla, yaitu hak negara menbatasi kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yuridiksi dan hukum acara yang ditetapkan.
- Siyasah syar’iyah yaitu kebijakan penguasa menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari’ah, reinterpretasi nash terhadap nash (al Quran dan sunnah).
Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan di negara-negara muslim modern (termasuk Indonesia) dalam melakukan pembaruan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
- Intra doctrinal reform tetap merujuk pada konsep fiqh konfensional dengan cara; tahyir (memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk ulama diluar madzhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq, (mengkombinasikan sejumlah pendapat).
- Extra doctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fiqh konvensional tapi merujuk pada nash al Quran dan sunnah dengan melakukan penafsitran ulang terhadap nash (reinterpretasi).[6]
C. Aspek-aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Pembaruan hukum keluarga Islam merupakan kebutuhan yang harus segera direspon sebagai upaya memberikan jawaban terhadap problema kontemporer. Formulasi hukum keluarga Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fikih bukan rumusan baku yang tidak boleh berubah, melainkan harus dipandang sebagai penafsiran atau rumusan para ulama pada zamannya yang membutuhkan kritisisme sesuai dengan tuntutan perubahan. Oleh karena itu, hukum keluarga Islam harus senantiasa ditafsir agar responsif dengan persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip dasarnya. Hal ini penting agar hukum keluarga Islam tidak mengalami fosilisasi), dan pada gilirannya akan kehilangan aktua- litanya dan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri.