Pembaruan atas Pengaturan Itsbat Nikah Melalui Judicial Review
Pembaruan atas pengaturan itsbat nikah dilaksanakan melalui judicial review. Judicial review dilaksanakan terhadap huruf a angka 22 Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU Peradilan Agama 2006 yang hanya memberi kewenangan untuk menyatakan sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Perkawinan 1974 dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Secara lengkap, dalam penjelasan huruf a Penjelasan Pasal 49 UU Peradilan Agama 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan mengenai perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: 1) Izin beristri lebih dari seorang; 2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3) Dispensasi kawin; 4) Pencegahan perkawinan; 5) Penolakan perkawinan oleh Pe- gawai Pencatat Nikah; 6) Pembatalan perkawinan; 7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8) Perceraian karena talak; 9) Gugatan perceraian; 10) Penyelesaian harta bersama; 11) Penguasaan anak- anak; 12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16) Pencabutan kekuasaan wali; 17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekua- saan seorang wali dicabut; 18) Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19) Pembebanan kewajiban ganti keru- gian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20) Penetapan asal- usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; dan 22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Kalau saja angka 22 pada huruf a tersebut tidak ada, Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU Peradilan Agama 2006 justru tidak membatasi masalah waktu pelaksanaan perkawinan siri yang bisa diajukan penge- sahan nikahnya (istbat nikah). Asalkan perkawinannya telah dilaksana- kan secara sah menurut hukum agama, permohonan pihak yang ber- sangkutan atas itsbat nikah siri bisa dikabulkan oleh pengadilan agama.
Putusan Waris Beda Agama di Nias
Hezekieli Marunduri saat itu masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen, Medan. Bersama Asamudin Marunduri, Fangoja Marunduri, dan Sofunaso Marunduri, Hezekieli mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Nias. Tergugatnya adalah Azali Maruhawan (Tergugat-1) dan Zakalia Marunduri (Tergugat-2).
Jika ditelusuri, para penggugat dan tergugat sebenarnya masih punya hubungan kekerabatan. Ayah para penggugat mempunyai saudara kandung bernama Fataya Marinduri dan Satima Marinduri. Meski bersaudara, Fataya dan Satima beragama Islam, sedangkan ayah para penggugat beragama Kristen. Tergugat-1 adalah anak dari Satima Marunduri, sedangkan Zakalia Marunduri masih sepupu dengan Fataya karena nenek mereka bersaudara kandung dan sama-sama menganut agama Islam.
Persoalan muncul ketika Fataya dan isterinya wafat dan meninggalkan harta warisan berupa tanah dan kebun kelapa yang sangat luas. Kebun kelapa itu berasal dari pusaka ayahnya Tetandrosa Marunduni. Para penggugat beralasan merekalah ahli waris yang berhak karena Fataya tak mempunyai keturunan. Itu sesuai dengan hukum adat Nias. Sebaliknya, para tergugat mendalilkan sesuai hukum faraidl, merekalah yang berhak mendapatkan warisan karena sama-sama beragama Islam dengan pewaris.