Upaya perdamaian sudah dilakukan, tetapi menemui jalan buntu. Hingga akhirnya perkara ini masuk ke pengadilan. Di pengadilan, penggugat menghadirkan tujuh orang saksi, empat diantaranya beragama Islam. Para saksi ini pada pokoknya menyatakan bahwa menurut hukum adat Nias yang berlaku, para penggugatlah yang berhak mewarisi. Di daerah Hinako, tempat tinggal pewaris, yang berlaku adalah hukum adat, walaupun dalam satu keluarga itu berlainan agama. Para Tergugat mengajukan enam orang saksi, salah satunya beragama Kristen. Para saksi ini pada intinya menyatakan karena mendiang Fataya Marunduri beragama Islam, maka pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.
Dalam pertimbangannya, hakim TW Siregar melihat bahwa keterangan para saksi penggugatlah yang kuat dasar pengetahuannya, atau dapat memberikan contoh yang konkrit di Hinako. Di daerah ini, dalam pembagian waris, hukum adatlah yang berlaku. Misalnya, bapak tergugat II (beragama Islam) yang wafat tanpa meninggalkan anak laki-laki, hartanya dibagi menurut hukum adat. Tergugat II sebagai anak perempuan hanya mendapatkan peragih (pemberian) saja, bukan sebagai ahli waris.
“Keterangan saksi-saksi penggugat lebih kuat dan dapat dipercaya, oleh karena disertai dengan dasar pengetahuan, atau dengan contoh-contoh,” urai hakim dalam pertimbangan. “Terbuktilah bahwa di kampung Hinako, dalam hal pembagian waris berlakulah hukum adat Nias, tanpa melihat agamanya, dan oleh karena itu dalam perkara ini khususnya, untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris dari mendiang Fataya Marunduri, harus dipakai hukum adat Nias,” sambung hakim dalam pertimbangan Bukti putusan Pengadilan Agama yang disertakan para Tergugat ditepis hakim karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama di Luar Jawa dan Madura, Pengadilan Agama seharusnya hanya berwenang mengadili perkara waris jika dalam satu keluarga sama-sama beragama Islam. Hakim juga menegaskan hukum adat Nias menganut patrialkal (garis keturunan bapak). Yang merupakan ahli waris menurut hukum adat Nias adalah laki-laki berdasarkan garis keturunan ayah.
Walhasil, hakim mengabulkan gugatan para penggugat. Meskipun mereka berbeda agama dari pewaris, mereka tetap berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris sesuai dengan hukum adat Nias. Perkara ini diputus hakim TW Siregar pada 13 Agustus 1970, dan menjadi salah satu bagian dari putusan dalam buku Yurisprudensi Indonesia yang diterbitkan Mahkamah Agung pada 1975. Dalam perjalanannya, sudah ada banyak putusan Mahkamah Agung yang mengoreksi putusan-putusan yang mendiskriminasi perempuan dalam pembagian waris. Dalam ada beberapa putusan juga yang menyangkut pembagian waris jika dalam satu keluarga berbeda agama.
Mungkin saja selama empat puluh tahun terakhir sejak putusan PN Gunung Sitoli tersebut keluar, ada banyak putusan sejenis yang memperlihatkan dinamika hukum nasional. [11]
Cerai Tidak Menghapus Utang
Perceraian mengakibatkan banyak konsekuensi hukum. Salah satunya utang-piutang yang terjadi saat ikatan pernikahan masih berlangsung. Jika pasangan suami istri cerai, maka utang ditanggung siapa?
Salah satu kasus perceraian dengan meninggalkan hutang terjadi pada salah satu kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama (PA) Semarang. Sepasang suami istri Hendi (40) dan Heny (36) pada 2003, ketika mereka bercerai, mereka mempunyai utang senilai Rp 1 miliar, sehingga terjadi sengketa siapa yang menanggung utang tersebut. Lantas pada 6 September 2008 hakim membuat keputusan bahwa utang tersebut dilunasi dari harta gono-gini.