Oleh :
KHAERUL UMAM, S.Ag*)
(Penghulu Ahli Madya KUA Pakuhaji)
A. PENDAHULUAN
Belakangan ini publik dikejutkan dengan maraknya aksi penjarahan terhadap rumah beberapa tokoh politik, pejabat publik hingga kantor pemerintahan akibat aksi demonstrasi besar-besar di Jakarta, dan beberapa kota lain di Indonesia beberapa hari terakhir. Bahkan, sejumlah fasilitas-fasilitas publik menjadi amukan massa, mulai dari kantor pemerintahan, kendaraan-kendaraan bermotor milik masyarakat sipil dan aparat hingga halte-halte transportasi umum dihancurkan dibakar massa hingga halte-halte transportasi umum. Unjuk rasa yang semula memprotes besaran tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini berubah menjadi kerusuhan dan penjarahan di berbagai lokasi di Indonesia. Puncaknya pada Sabtu, 30 Agustus 2025 hingga Minggu dini hari, 31 Agustus 2025, terjadi penjarahan terhadap rumah-rumah anggota DPR seperti Ahmad Sahroni, Eko Purnomo (Eko Patrio), Uya Kuya, Nafa Urbach hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mereka membawa barang-barang dan mengobrak-abrik rumah para legislator dan menteri tersebut.
Aksi unjuk rasa atau demonstrasi adalah berkumpulnya sekelompok orang di sebuah tempat atau jalan guna menyuarakan pendapat, hujjah dan tuntutan yang mereka harapkan realisasinya. Kebijakan undang-undang yang memperbolehkan menyuarakan pendapat menjadi peluang masyarakat untuk memberikan aspirasi mereka terkait kebijakan pemerintah yang dinilai tidak benar. Aksi unjuk rasa pun banyak terjadi, misalnya unjuk rasa yang dilakukan oleh umat Islam yang terkenal dengan aksi bela Islam 212 dan 411 atas tindakan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang mencela Al-Qur’an, aksi unjuk rasa bela Palestina yang menuntut pembebasan dan kemerdekaan rakyat Palestina serta hukuman internasional terhadap Israel atas genosida yang dilakukan terhadap rakyat Palestina, dan lain sebagainya.
Peristiwa demonstrasi yang berujung dengan penjarahan ini tentu menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat: Apa sebenarnya yang dimaksud dengan demonstrasi atau unjuk rasa itu? Bagaimana sebenarnya hukum menjarah saat aksi demo dalam Islam? Tulisan ini mencoba menjawab pertaanyaan di atas dan semoga bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan kita.
B. PEMBAHASAN
- Tinjauan Umum Demonstrasi atau Unjuk Rasa
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada kaidah demokrasi Pancasila (Mustafa Kamal Pasha, dkk, 2003: 108). Bahwa negara memberi kebebasan mengemukakan pendapat atau memberikan aspirasi. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, dalam pasal 28 yang berbunyi: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2003). Ditambah lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 ayat (1) yang memperbolehkan menyampaikan pendapat dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi. Kebijakan undang-undang yang memperbolehkan menyuarakan pendapat menjadi peluang masyarakat untuk memberikan aspirasi mereka terkait kebijakan pemerintah yang dinilai tidak benar.
Konsep demokrasi saat ini dipahami secara beragam oleh berbagai kelompok kepentingan yang melakukan teoritisasi atau konsepsi dari perspektif tertentu. Keragaman konsep tersebut, meskipun terkadang sarat dengan aspek-aspek subjektif dari siapa perumusnya, namun sebenarnya bukanlah suatu yang harus dirisaukan. Karena perkara tersebut justru mengisyaratkan esensi demokrasi itu sendiri, yakni adanya perbedaan pendapat (Din Syamsuddin, 2000: 33). Namun terkadang adanya perbedaan pendapat ini justru menimbulkan suatu polemik atau kontroversi baru antar kelompok tertentu. Misalnya kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terhadap surat al-Maidah ayat 51 yang menuai pro dan konta. Berdasarkan hal inilah kemudian muncul suatu aksi unjuk rasa atau disebut juga dengan istilah “demonstrasi”.
Secara etimologi, demonstrasi atau aksi unjuk rasa memiliki beberapa arti sebagaimana dalam kamus Ilmiah Populer. Aksi unjuk rasa adalah tindakan bersama untuk menyatakan protes; pertunjukan mengenai cara-cara menggunakan suatu alat; dan pamer kekuatan yang mencolok mata (Ahmad Maulana dkk, 2004: 62). Dalam politik Islam, makna aksi unjuk rasa adalah muzhaharah atau masirah, yaitu sebuah sarana atau media untuk menyampaian ide-ide dan gagasan yang dianggap benar, serta berupaya mensyiarkannya dalam bentuk pengerahan masa. Ia merupakan sarana yang sarat dengan tujuan digunakannya dan cara penggunaannya. Sebagaimana pisau, ia dapat digunakan untuk berjuang di jalan Allah, namun ia juga dapat digunakan untuk melakukan pembunuhan terlarang (Abdul Hayyi al-Farmawi, al-Atsariyah, Buletin Jum’at edisi 26, tahun 2010)
Berbeda dengan pengertian di atas, menurut Abu Syuja’ al-Azhari muzhaharah adalah keluarnya manusia ke jalan-jalan guna menuntut kebenaran, menolong pihak tertindas, menuntut hakim guna menghilangkan dan menyelesaikan kezaliman dan menunaikan hak (Abu Syuja’ al-Azhari, t.t: 4). Berdasarkan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna aksi unjuk rasa atau muzhaharah adalah keluarnya manusia ke jalanan guna menyuarakan aspirasi dan tuntutan.
Negara Indonesia yang menganut sistem pemerintahan berbasis demokrasi menjadikan aksi unjuk rasa memiliki dasar hukum. Dasar hukum tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, Dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Bahwa negara memberi kebebasan beraspirasi atau mengemukakan pendapat sebagaimana termaktub dalam undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 (amandemen IV), pasal 28 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang”( Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2003. Juga pasal 28 E ayat 3, berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Ditambah lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 ayat 1 yang memperbolehkan menyampaikan pendapat dengan cara unjuk rasa. Sehingga dalam iklim demokrasi, pilihan untuk melakukan aksi unjuk rasa adalah hal yang wajar untuk mengungkapkan aspirasi, sebab landasan demokratis adalah kebebasan (Diane Revitch, 2005: 13). Salah satu kebebasan tersebut adalah kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan inilah yang merupakan bagian terpenting dari demokrasi (Miriam Budiarjo, 2008: 211).
Namun, dalam menetapkan perundang-undangan kebolehan aksi unjuk rasa, pemerintah tidaklah melegalkan begitu saja. Terdapat asas-asas yang perlu diketahui dan hak serta kewajiban yang harus didapat dan diikuti. Beberapa asas ini dijelaskan dalam pasal 3 undang-undang No. 9, Tahun 1998 tentang kemerdekaan penyampain pendapat di muka umum. Ia memiliki lima asas yang merupakan landasan kebebasan bertindak dan bertanggung jawab untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Kelima asas itu adalah: Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas, dan Asas mufakat.
Adapun prosedur pelaksanaannya disebutkan dalam undang-undang tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum bab 3, Pasal 6 dan 8, yaitu: Pasal 6: Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; menghormati aturan-aturan moral yang diakui secara umum; menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Kemudian pasal 8: Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai.
Kedua. Dalam Hak Asasi Manusia. Kemerdekaan menyampaikan pendapat juga sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas.”
Oleh karena itu, perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran baik secara tulisan, lisan dan lain sebagainya harus tetap dipelihara. Sehingga seluruh layanan sosial dan kelembagaan, baik berupa infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan hukum dan penegakannya. Sehingga dengan hal itu, akan dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
- Tinjauan Hukum Islam Terhadap Aksi Penjarahan Saat Demonstrasi
Beberapa hari yang lalu terjadi demonstrasi atau unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia. Unjuk rasa yang semula memprotes besaran tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini berubah menjadi kerusuhan dan penjarahan di berbagai lokasi di Indonesia. Lalu bagaimana hukum dalam Islam terkait dengan penjarahan saat demo?
Islam adalah agama yang damai, mengajarkan kebaikan dan mengecam bentuk kemaksiatan dan kemungkaran, seperti menjarah, memanfaatkan, atau menguasai harta milik orang lain tanpa izin. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang diharamkan dalam agama. Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْس
Artinya: “Tidak halal mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya” (HR Ad-Daraquthni).
Hadits ini menegaskan bahwa kepemilikan seseorang itu dilindungi, dan mengambil hak orang lain tanpa izin atau kerelaannya adalah bentuk kezaliman yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sementara itu, dalam hadits yang lain Rasulullah SAW menyebutkan:
لاَ يَأْخُذََ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا وَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا
Artinya: “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, tidak dengan main-main tidak pula sungguhan, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikannya.” (H.R. Abu Daud dan At Tirmidzi).
Dalam khazanah fiqih Islam, penjarahan dikenal dengan istilah intihab yaitu pengambilan harta milik orang lain dengan cara paksa dan dalam keadaan diketahui pemilik barang. Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa penjarahan berbeda dengan pencurian (sariqah). Jika pencurian dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan pemilik barang, maka penjarahan dilakukan secara terang-terangan, bahkan kadang disertai dengan kekerasan. Ada pula istilah lain yang dekat dengan praktik penjarahan, yaitu ghashab (merampas hak orang lain secara zalim) dan qath‘ut thariq (perampokan di jalanan). Semua bentuk tersebut secara prinsip sama-sama masuk dalam kategori tindakan zalim yang diharamkan.
Penjarahan termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Islam sangat melarang tindakan ini. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya:“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang bathil”(QS An-Nisa: 29).
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair menegaskan:
الْكَبِيرَةُ السَّابِعَةُ وَالثَّمَانُونَ بَعْدَ الْمِائَةِ أَكْلُ الْمَالِ بِالْبُيُوعَاتِ الْفَاسِدَةِ وَسَائِرِ وُجُوهِ الْأَكْسَابِ الْمُحَرَّمَةِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ﴾ [النساء: ٢٩] وَاخْتَلَفُوا فِي الْمُرَادِ بِهِ، فَقِيلَ الرِّبَا وَالْقِمَارُ وَالْغَصْبُ وَالسَّرِقَةُ وَالْخِيَانَةُ وَشَهَادَةُ الزُّورِ وَأَخْذُ الْمَالِ بِالْيَمِينِ الْكَاذِبَةِ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: هُوَ مَا يُؤْخَذُ مِنْ الْإِنْسَانِ بِغَيْرِ عِوَضٍ -إلى أن قال- وَقِيلَ: هُوَ الْعُقُودُ الْفَاسِدَةُ، وَالْوَجْهُ قَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ إنَّهَا مُحْكَمَةٌ مَا نُسِخَتْ وَلَا تُنْسَخُ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ اهـ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْأَكْلَ بِالْبَاطِلِ يَشْمَلُ كُلَّ مَأْخُوذٍ بِغَيْرِ حَقٍّ سَوَاءٌ كَانَ عَلَى جِهَةِ الظُّلْمِ كَالْغَصْبِ وَالْخِيَانَةِ وَالسَّرِقَةِ، أَوْ الْهُزْؤِ وَاللَّعِبِ كَالْمَأْخُوذَةِ بِالْقِمَارِ وَالْمَلَاهِي وَسَيَأْتِي ذَلِكَ كُلُّهُ، أَوْ عَلَى جِهَةِ الْمَكْرِ وَالْخَدِيعَةِ كَالْمَأْخُوذَةِ بِعَقْدٍ فَاسِدٍ
Artinya: “Dosa Besar ke-187, Memakan Harta dengan Jual Beli yang Rusak dan Berbagai Bentuk Penghasilan yang Diharamkan. Allah Ta’ala berfirman, wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil (QS An-Nisa: 29). Para ulama berbeda pendapat mengenai makna memakan harta dengan cara batil. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud adalah riba, perjudian, perampasan, pencurian, pengkhianatan, kesaksian palsu, dan mengambil harta dengan sumpah dusta. Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud adalah segala sesuatu yang diambil dari seseorang tanpa adanya imbalan. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah akad-akad yang rusak (al-‘uqud al-fasidah). Pendapat yang lebih kuat adalah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa ayat ini tetap berlaku dan tidak akan dihapus hingga Hari Kiamat. Sebab, larangan memakan harta dengan cara batil mencakup segala bentuk perolehan yang tidak sah, baik dengan cara kezaliman seperti perampasan, pengkhianatan, dan pencurian; dengan cara permainan dan hiburan yang terlarang seperti perjudian dan permainan sia-sia; maupun dengan cara tipu daya dan penipuan seperti transaksi yang rusak (akad fasid) (Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair, [ Beirut, Darul Fikr: 1407 H], juz I, halaman 383).
Kelak di akhirat, Allah akan meminta pertanggungjawaban orang yang merampas harta dan belum mengembalikannya atau meminta kehalalannya, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْئٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْتَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلِمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ.
Artinya: “Barangsiapa berbuat dzolim kepada saudaranya dalam kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia meminta kehalalannya pada hari ini (di dunia) sebelum (datang hari) yang tidak ada Dinar tidak pula Dirham. Apabila ia mempunyai amalan sholih, maka akan diambil darinya sekadar kedzolimannya dan apabila ia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambil dari kejelekan orang yang didzolimi kemudian ditimpakan kepadanya”. (H.R. Muslim dan An Nasai).
Memakan makanan dari harta rampasan atau jarahan akan menjadikan daging yang tumbuh tidak akan masuk surga, tempatnya adalah di neraka, Rasulullah SAW bersabda:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
Artinya: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (H.R. Ibn Hibban).
Dalam Riwayat lain menyebutkan:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ
Artinya: “Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya.” (H.R. At Tirmidzi).
Islam mengharamkan penjarahan (mencuri atau merampas harta) sebagai dosa besar (jinayat), yang pelakunya akan dikenai sanksi duniawi dan akhirat. Selanjutnya, Islam mewajibkan pelaku penjarahan, terlepas dari konteksnya, untuk menerima hukuman berdasarkan hukum yang berlaku di dunia dan pertanggungjawaban di akhirat kelak di hadapan Allah SWT. Oleh sebab itu, Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan harta benda seseorang, dan mengambilnya secara paksa adalah perbuatan terlarang.
Penjarahan bukan sekadar pencurian biasa. Tindak kejahatan ini muncul dalam situasi darurat seperti bencana, kerusuhan, atau kecelakaan massal, dilakukan secara terbuka dan sering melibatkan banyak orang. Dalam hukum Indonesia, istilah “penjarahan” tidak diatur secara khusus dalam KUHP. Namun, perbuatan ini termasuk dalam kategori pencurian dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP. Pelaku penjarahan bisa dihukumi dengan ancaman pidana penjara hingga tujuh tahun.
Demikianlah penjelasan beberapa redakasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menjarah harta orang lain tanpa izin adalah perbuatan yang tidak bermoral dan merupakan bentuk kezaliman yang hukumnya haram. Tindakan ini termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara batil, yang jelas dikecam dalam Islam dan termasuk dosa besar. Selain melanggar syariat, perbuatan tersebut juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
C. PENUTUP
Berdasarkan seluruh pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa aksi unjuk rasa atau demonstrasi adalah tindakan bersama untuk menyuarakan aspirasi dan kebebasan berpendapat. Dalam politik Islam ia disebut dengan muzhaharah atau masirah, yaitu sebuah sarana atau media untuk menyampaian ide-ide dan gagasan yang dianggap benar, serta berupaya mensyiarkannya dalam bentuk pengerahan massa. Kebijakan undang-undang yang memperbolehkan menyuarakan pendapat menjadi peluang masyarakat untuk memberikan aspirasi mereka terkait kebijakan pemerintah yang dinilai tidak benar. Tetapi terkadang banyak kita jumpai demonstrasi atau unjuk rasa itu berujung kericuhan dan penjarahan saat aksi demo tersebut, seperti masa reformasi tahun 1998 dan unjuk rasa yang semula memprotes besaran tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini berubah menjadi kerusuhan dan penjarahan di berbagai lokasi di Indonesia pada tanggal 25-31 Agustus 2025 yang baru lalu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penjarahan dalam bentuk apa pun, terlebih dalam kondisi chaos seperti demo atau kerusuhan, adalah haram hukumnya. Ia bukan hanya melanggar hukum positif negara, tetapi juga merupakan dosa besar dalam pandangan syariat Islam. Oleh karena itu, umat Islam harus berhati-hati dan tidak mudah terbawa arus emosi massa. Menyampaikan aspirasi diperbolehkan, namun melakukannya dengan cara-cara yang melanggar hak orang lain jelas dilarang agama. Islam selalu menekankan keadilan, penghormatan terhadap hak orang lain, serta menjaga keamanan bersama. Semoga negara Indonesia ke depannya semakin damai dan sejahtera, dijauhkan dari perpecahan dan adu domba dan menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Aamiin.
REFERENSI
Al-Quran dan Terjemahanya, Shafra’. Solo, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri: 2013.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, takliq: Abdurrahman bin Nashir bin Barrak, (Riyadh: Dar al-Thaybah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 2005.
Ahmad Maulana, dkk, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Absolut, 2004.
Abdul Hayyi al-Farmawi, al-Atsariyah, Buletin Jum’at edisi 26, tahun 2010.
Abu Syuja’ al-Azhari, al-Muzhaharah al-Silmiyyah, t.tp: t.p, t.t.
Diane Revitch, Demokrasi Klasik dan Modern, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair, [ Beirut, Darul Fikr: 1407 H], juz I
Mustafa Kamal Pasha, dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis dan Filosofis, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2003)
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
http://www.pusterad.mil.id/pos-lintas-batas-negara-di-entikong-sudah-terbangun-46/, diakses tanggal 12 Februari 2018.
Undang-Undang no. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
———-
**) Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan








