Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 27 Sep 2025 16:17 WIB ·

Peran Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Islam sebagai Fondasi Legalitas dan Solusi Masalah Kependudukan: Sebuah Kajian Transdisipliner

Penulis: Muhammad Andriyani


 Peran Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Islam sebagai Fondasi Legalitas dan Solusi Masalah Kependudukan: Sebuah Kajian Transdisipliner Perbesar

Oleh : Muhamad Andriyani, S.H.I., M.Sy

andridunk@gmail.com

Penghulu Ahli Pertama KUA Pasarkemis Kab. Tangerang

 

A. Pendahuluan

  1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan pondasi fundamental dalam pembentukan keluarga dan masyarakat, sekaligus menjadi gerbang bagi berbagai hak dan kewajiban sipil serta sosial. Dalam perspektif Islam, perkawinan adalah akad yang memiliki konsekuensi hukum dan sosial luas, melampaui sekadar ikatan spiritual. Sejalan dengan ajaran Islam, hukum positif di Indonesia mewajibkan pencatatan perkawinan sebagai bukti legalitas formal yang memberikan kepastian hukum bagi pasangan dan keturunannya. Pencatatan ini menjadi dasar bagi urusan administrasi kependudukan krusial seperti Kartu Keluarga, Akta Kelahiran anak, hingga hak-hak sipil lainnya.(Jannah et al., 2021)

Namun, fenomena perkawinan yang tidak tercatat secara resmi masih menjadi tantangan di Indonesia, menimbulkan permasalahan legalitas dan kependudukan yang kompleks. Ketidaksesuaian antara status perkawinan secara syariat Islam dan pencatatan hukum positif menciptakan dualisme legalitas yang merugikan. Perkawinan tidak tercatat seringkali berimplikasi pada kesulitan akses hak dasar warga negara, termasuk identitas anak yang jelas, hak waris, kesehatan, pendidikan, dan hak politik (Abror et al., n.d.). Anak dari perkawinan tidak tercatat mungkin mengalami hambatan dalam memperoleh akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah, yang berujung pada kesulitan mengakses layanan publik dan pembuktian nasab secara hukum negara(Anas Maulana, 2022). Fenomena ini sangat relevan dikaji melalui pendekatan transdisipliner, yang mengintegrasikan fikih Islam, hukum positif, sosiologi, dan administrasi publik. Pendekatan ini menawarkan kerangka analisis komprehensif untuk mengurai kompleksitas isu, menggali akar permasalahan dari berbagai sudut pandang, dan merumuskan solusi holistik berdasarkan studi Pustaka (Abdulahanaa, 2015). Pemahaman mendalam mengenai peran pencatatan perkawinan dari sudut pandang Islam dan hukum positif, serta dampaknya terhadap kependudukan, esensial untuk mengatasi tantangan ini secara efektif. (Anas Maulana, 2022)

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mengkaji beberapa rumusan masalah utama:

  1. Bagaimana perspektif Islam dan literatur fiqih kontemporer memandang pencatatan perkawinan sebagai fondasi legalitas?
  2. Bagaimana literatur hukum Indonesia mengartikulasikan pencatatan perkawinan terkait legalitas dan masalah kependudukan?
  3. Bagaimana literatur dari disiplin sosiologi dan administrasi publik menjelaskan peran pencatatan perkawinan dalam mengatasi masalah kependudukan?
  4. Bagaimana integrasi perspektif Islam, hukum, sosiologi, dan administrasi publik dalam literatur dapat menawarkan solusi bagi masalah kependudukan terkait perkawinan di Indonesia?
  1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Menganalisis pandangan Islam dan literatur fiqih kontemporer mengenai pencatatan perkawinan sebagai fondasi legalitas.
  2. Mengidentifikasi artikulasi hukum Indonesia mengenai pencatatan perkawinan dan implikasinya terhadap legalitas serta masalah kependudukan dari literatur.
  3. Menjelaskan peran pencatatan perkawinan dalam mengatasi masalah kependudukan berdasarkan literatur sosiologi dan administrasi publik.
  4. Merumuskan solusi bagi masalah kependudukan terkait perkawinan melalui sintesis literatur dari perspektif Islam, hukum, sosiologi, dan administrasi public
  1. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat:

  1. Manfaat Teoritis: Memberikan kontribusi dalam khazanah keilmuan Kajian Islam Transdisipliner, khususnya terkait dengan isu pencatatan perkawinan, legalitas, dan kependudukan.
  2. Manfaat Praktis: Memberikan pemahaman yang lebih komprehensif bagi pembuat kebijakan, praktisi hukum, akademisi, serta masyarakat umum mengenai urgensi dan implikasi pencatatan perkawinan.
  1. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif. Analisis yang digunakan adalah analisis transdisipliner yang mengintegrasikan berbagai sumber literatur yang relevan. Sumber data primer mencakup kitab-kitab fiqih, literatur hukum Islam kontemporer, peraturan perundang-undangan terkait perkawinan dan kependudukan di Indonesia, serta artikel jurnal ilmiah. Data sekunder berasal dari buku, jurnal, dan publikasi lain yang relevan dari disiplin sosiologi dan administrasi publik. Teknik analisis data yang digunakan meliputi analisis isi (content analysis) untuk memahami konten literatur, dan sintesis literatur untuk mengintegrasikan temuan dari berbagai sumber guna menjawab rumusan masalah.

B.  Kajian Islam tentang Pencatatan Perkawinan sebagai Fondasi Legalitas

  1. Konsep Perkawinan dalam Literatur Fiqih Islam

Perkawinan dalam Islam, yang dikenal sebagai nikah, adalah sebuah ikatan suci yang memiliki tujuan fundamental untuk menciptakan ketenangan jiwa (sakinah), kasih sayang (mawaddah), dan rahmat di antara suami istri, serta sebagai sarana melanjutkan keturunan yang sah (Az-Zuhaili, 2010). Konsep ini secara eksplisit tertuang dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”  (https://quran.kemenag.go.id/) Ayat ini menegaskan bahwa perkawinan bukan sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan juga fondasi spiritual dan emosional dalam kehidupan berkeluarga.

Literatur fiqih Islam, yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, menguraikan perkawinan sebagai sebuah ‘aqad (kontrak) yang sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun nikah yang esensial meliputi adanya calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali nikah bagi mempelai wanita, dua orang saksi yang adil, serta adanya shighat ‘aqad (ijab dan qabul). Sementara itu, syarat sah nikah mencakup kecakapan calon mempelai (baligh, berakal, atas dasar kerelaan), tidak adanya halangan syar’i (seperti hubungan mahram atau beda agama yang tidak diperkenankan), serta terpenuhinya syarat-syarat khusus bagi saksi dan wali (Hikmatullah, 2021). Keberadaan rukun dan syarat ini bertujuan untuk menegakkan kemashlahatan, mencegah kemudaratan, dan menjaga tatanan sosial masyarakat. Perkawinan yang sah secara syariat adalah yang memenuhi seluruh rukun dan syarat tersebut, yang implikasinya mencakup keabsahan hubungan suami istri, kewarisan, dan status anak yang dilahirkan. Literatur fiqih juga menekankan pentingnya ijab qabul yang jelas dan terang, seringkali disaksikan oleh orang lain, sebagai bentuk pengumuman dan pengesahan akad nikah di hadapan masyarakat.

  1. Urgensi Pencatatan Perkawinan dalam Literatur Fiqih Kontemporer

Perkembangan zaman dan kompleksitas sosial masyarakat kontemporer telah memicu perdebatan dan penegasan kembali mengenai urgensi pencatatan perkawinan dari perspektif fiqih Islam. Sebagian besar ulama kontemporer, baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis, sepakat bahwa pencatatan perkawinan memiliki kedudukan yang penting, bahkan bisa mencapai derajat wajib, tergantung pada konteks dan kemaslahatan yang ingin dicapai(Chaula Luthfia, 2025). Argumen utama yang mendasari pandangan ini adalah penerapan kaidah maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak memiliki dalil spesifik namun dipandang baik) dan saddu al-dzari’ah (menutup jalan menuju kemudaratan). Pencatatan perkawinan dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan kemaslahatan umum, yaitu perlindungan hak-hak individu dan keluarga, serta pencegahan terhadap berbagai bentuk kemadharatan yang timbul akibat perkawinan yang tidak tercatat.

Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradhawi menekankan bahwa di era modern ini, di mana administrasi negara menjadi sangat penting untuk berbagai urusan sipil, pencatatan perkawinan menjadi sebuah keharusan demi menjaga tertib sosial dan administrasi. Beliau berpendapat bahwa meskipun rukun dan syarat nikah secara syariat sudah terpenuhi, namun tidak adanya pencatatan dapat menimbulkan kesulitan hakiki bagi pasangan dan anak-anak mereka dalam mendapatkan pengakuan hukum dan hak-hak yang melekat. Pencatatan ini bukan sekadar formalitas administratif, melainkan merupakan manifestasi dari tanggung jawab sosial dan legal yang harus diemban oleh setiap Muslim yang melangsungkan perkawinan(Qardhwawi, 2019).

Dalam kerangka saddu al-dzari’ah, pencatatan perkawinan berfungsi sebagai benteng untuk mencegah kemungkaran, seperti perkawinan di bawah umur yang tidak terkontrol, perkawinan tanpa wali yang sah secara hukum, atau bahkan potensi pernikahan tanpa diketahui oleh keluarga besar, yang semuanya dapat berujung pada masalah sosial dan hukum di kemudian hari(Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2008). Dengan adanya pencatatan, negara memiliki data yang akurat mengenai status perkawinan warga negaranya, yang sangat membantu dalam perencanaan populasi, perlindungan anak, dan penegakan hukum keluarga. Oleh karena itu, banyak literatur fiqih kontemporer yang menyimpulkan bahwa dalam konteks Indonesia, pencatatan perkawinan bukanlah sekadar sunnah muakkadah, melainkan dapat berstatus wajib (wajib ‘ain atau wajib kifayah) demi terwujudnya kemaslahatan umat dan tertibnya administrasi kependudukan negara (Abu Yazid Adnan Quthny et al., 2022). Tujuannya adalah untuk memberikan legalitas yang kokoh, baik dari sisi agama maupun negara, sehingga hak-hak istri, suami, dan anak-anak terjamin sepenuhnya.

  1. Implikasi Perkawinan yang Tidak Tercatat dalam Literatur Islam

Literatur Islam secara luas membahas konsekuensi negatif yang timbul dari perkawinan yang tidak tercatat, terutama ketika hal tersebut bertentangan dengan tuntutan kemaslahatan dan ketertiban umum yang diamanatkan oleh syariat. Meskipun perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syaratnya secara syariat dianggap sah di hadapan Allah SWT, namun ketidakadaan pencatatan resmi dapat menimbulkan berbagai persoalan hukum dan sosial yang signifikan, yang berpotensi menimbulkan mudharat lebih besar.

Salah satu implikasi utama yang sering disorot dalam literatur fiqih adalah terkait status nasab dan hak waris anak. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat secara resmi, meskipun secara syariat nasabnya tersambung kepada ayahnya, seringkali menghadapi kesulitan pembuktian legal di hadapan negara. Hal ini dapat menghambat anak untuk mendapatkan akta kelahiran dengan nama ayah, yang berimplikasi pada akses pendidikan, kesehatan, dan hak-hak sipil lainnya(Laila Nadia & Sumriyah Sumriyah, 2024). Dalam konteks hak waris, meskipun secara syariat anak berhak mewarisi dari ayahnya, ketidakmampuan membuktikan hubungan nasab secara legal dapat mempersulit proses pembagian warisan di kemudian hari. Literatur fiqih kontemporer menekankan bahwa pencatatan perkawinan adalah salah satu cara untuk meneguhkan dan mempermudah pembuktian nasab dan hak waris tersebut di lingkungan sosial dan hukum negara(Wahidin et al., 2024).

Selain itu, perkawinan yang tidak tercatat juga dapat menimbulkan masalah terkait hak-hak istri. Dalam kasus perceraian atau kematian suami, istri yang tidak memiliki bukti perkawinan yang sah secara hukum negara akan kesulitan dalam menuntut hak-haknya, seperti nafkah iddah, mut’ah, atau hak waris (Muhammad Yusuf Siregar et al., 2022). Hal ini berpotensi merugikan pihak istri dan anak-anak yang menjadi tanggungannya. Literatur Islam seringkali menganjurkan pencatatan sebagai bentuk perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak agar hak-hak mereka tidak terabaikan. Dengan demikian, meskipun sah secara syariat, ketidakadaan pencatatan perkawinan dipandang sebagai bentuk kelalaian yang dapat membuka pintu bagi kemudaratan dan ketidakadilan, sehingga para ulama kontemporer cenderung menganjurkan dan bahkan mewajibkan pencatatan demi kemaslahatan yang lebih luas.(Setyawan, 2024)

C.  Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia dan Implikasinya terhadap Legalitas serta Masalah Kependudukan

  1. Regulasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Literatur Hukum Indonesia

Literatur hukum Indonesia secara konsisten menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sebuah instrumen legal yang fundamental untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat dalam perkawinan. Landasan hukum utama yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa setiap peristiwa perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan undang-undang ini, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan para pihak, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan adanya dua dimensi legalitas: legalitas agama (syar’i) dan legalitas negara (positif).

Pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme pencatatan perkawinan diatur dalam berbagai peraturan pelaksana. Bagi penduduk yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA) di setiap kecamatan (PMA 30 Tahun 2024). Sementara itu, bagi penduduk yang beragama selain Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil)(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2019, 2019). Literatur seringkali membahas dualisme sistem pencatatan ini sebagai upaya negara untuk mengakomodasi keragaman keyakinan di Indonesia, namun juga menyoroti potensi kompleksitas administrasi yang timbul dari perbedaan prosedur dan lembaga yang bertanggung jawab.

Peran KUA dan Disdukcapil dalam proses pencatatan ini sangat sentral. KUA tidak hanya bertugas mencatat perkawinan yang dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga yang memberikan edukasi pranikah dan memastikan terpenuhinya syarat-syarat perkawinan menurut hukum Islam sebelum pencatatan dilakukan. Di sisi lain, Disdukcapil memiliki peran serupa bagi non-Muslim, serta menjadi lembaga sentral dalam pengelolaan data kependudukan secara keseluruhan, termasuk penerbitan akta-akta pencatatan sipil. Analisis literatur hukum menunjukkan bahwa efektivitas pencatatan perkawinan sangat bergantung pada kesadaran masyarakat, kemudahan akses pelayanan, serta koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga terkait. Permasalahan sering muncul ketika salah satu atau kedua pihak tidak memahami kewajiban pencatatan atau mengalami kendala dalam memenuhi persyaratan administratifnya.(Makmun & Pribadi, 2016)

  1. Legalitas Perkawinan di Mata Hukum Positif Indonesia

Dalam kerangka hukum positif Indonesia, legalitas perkawinan sangat erat kaitannya dengan proses pencatatannya. Literatur hukum menegaskan bahwa meskipun suatu perkawinan telah dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat agama yang dianut oleh para pihak, perkawinan tersebut belum memiliki kekuatan hukum guna menimbulkan akibat hukum di mata negara sebelum dicatat secara resmi (Poppy Belladonna et al., 2023). Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan demikian, pencatatan perkawinanlah yang memberikan status legalitas formal, yang menjadi dasar bagi pengakuan negara terhadap eksistensi perkawinan tersebut.

Akibat hukum dari pencatatan perkawinan ini sangat luas. Literatur hukum menjelaskan bahwa dengan adanya pencatatan, perkawinan tersebut sah secara hukum negara dan diakui keberadaannya oleh undang-undang. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri terkait hak dan kewajiban mereka, seperti hak untuk saling memberikan tunjangan, hak untuk memiliki harta bersama, serta hak-hak lain yang timbul dari status perkawinan (E. T. Rahman & Ahyani, 2023). Lebih penting lagi, pencatatan perkawinan menjadi dasar untuk penerbitan dokumen-dokumen kependudukan yang vital, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan status kawin, Kartu Keluarga (KK) yang mencantumkan kedua pasangan sebagai suami istri, serta Akta Kelahiran anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut (https://kependudukancapil.jakarta.go.id/). Tanpa pencatatan, dokumen-dokumen ini tidak dapat diterbitkan secara sah, yang kemudian akan berimplikasi pada kesulitan akses anak terhadap hak-hak sipil mereka, termasuk pendidikan dan kesehatan. Sebaliknya, perkawinan yang tidak dicatat, meskipun sah secara agama, seringkali disebut sebagai “perkawinan siri” atau “perkawinan di bawah tangan,” yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat di hadapan negara dan tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak-hak sipil.(M. Rahman, 2018)

  1. Masalah Kependudukan Akibat Perkawinan Tidak Tercatat: Analisis Literatur

Literatur yang mengkaji isu kependudukan secara konsisten menyoroti berbagai permasalahan yang timbul akibat perkawinan yang tidak tercatat secara resmi. Permasalahan ini bersifat multidimensional, mencakup aspek legal, administratif, sosial, ekonomi, bahkan psikologis bagi individu dan keluarga yang mengalaminya. Salah satu isu paling mendasar adalah kesulitan dalam penerbitan dokumen kependudukan yang otentik. Tanpa akta nikah yang sah, pasangan suami istri akan kesulitan memperbarui status perkawinan mereka di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Hal ini berdampak langsung pada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Anak yang lahir dari orang tua yang perkawinannya tidak tercatat seringkali mengalami kendala dalam mendapatkan akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah secara sah. Literatur menunjukkan bahwa tanpa akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah, anak mungkin akan kesulitan dalam pembuktian hubungan nasab, yang berimplikasi pada hak waris, hak atas pendidikan, hak atas layanan kesehatan, serta hak-hak sipil lainnya yang memerlukan identitas yang jelas dan terverifikasi  (Muhammad Yusuf Siregar et al., 2022). Hal ini menciptakan kerentanan sosial bagi anak, karena mereka tidak sepenuhnya diakui oleh sistem administrasi negara. Dalam banyak kasus, anak-anak ini hanya bisa mendapatkan akta kelahiran dengan mencantumkan nama ibu saja, atau bahkan tidak memiliki akta kelahiran sama sekali, yang semakin memperburuk status kependudukan mereka. (Isnaini et al., 2021)

Selain itu, perkawinan yang tidak tercatat juga menghambat akses terhadap hak-hak sosial dan ekonomi. Misalnya, dalam pengurusan BPJS Kesehatan atau asuransi lainnya, status perkawinan dan hubungan keluarga yang sah seringkali menjadi syarat utama. Pasangan yang tidak memiliki bukti nikah formal akan kesulitan mendaftarkan pasangan atau anak-anak mereka sebagai tanggungan. Demikian pula dalam hal hak waris, meskipun Islam telah mengatur pembagian warisan, proses hukum di pengadilan seringkali memerlukan bukti perkawinan yang sah untuk dapat dilaksanakan (Adha et al., 2023). Literatur juga mencatat bahwa ketidakjelasan status perkawinan dapat menimbulkan kerentanan dalam hak-hak perlindungan hukum, baik bagi istri maupun anak, terutama dalam kasus perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, atau kemiskinan.(Sebriyani, 2023)

Dari perspektif administrasi publik, perkawinan yang tidak tercatat menyebabkan hilangnya data kependudukan yang akurat. Data perkawinan dan keluarga adalah elemen krusial dalam perencanaan pembangunan, alokasi sumber daya, dan penentuan kebijakan publik yang efektif. Ketika sebagian besar perkawinan tidak tercatat, maka data kependudukan menjadi tidak representatif, yang dapat mengganggu akurasi proyeksi demografi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini juga berimplikasi pada efektivitas program-program pemerintah yang menyasar keluarga, seperti program keluarga berencana, bantuan sosial, atau program perlindungan anak. Oleh karena itu, mengatasi fenomena perkawinan tidak tercatat menjadi prioritas penting untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar seluruh warga negara.

D. Pendekatan Transdisipliner: Integrasi Perspektif dari Literatur Islam, Hukum, Sosiologi, dan Administrasi Publik

  1. Perspektif Sosiologis dalam Literatur tentang Pencatatan Perkawinan

Dalam perspektif sosiologis, perkawinan tidak hanya dipandang sebagai sebuah ikatan agama atau hukum, tetapi juga sebagai sebuah institusi sosial yang memiliki fungsi vital dalam struktur masyarakat. Literatur sosiologi menyoroti bagaimana perkawinan berfungsi sebagai mekanisme utama dalam mengatur hubungan antar individu, pembentukan keluarga, reproduksi sosial, serta transmisi nilai dan norma dari satu generasi ke generasi berikutnya (Awaru, 2020). Pencatatan perkawinan, dari sudut pandang ini, memiliki peran penting dalam memberikan legitimasi sosial terhadap ikatan tersebut. Akta nikah bukan hanya dokumen legal, tetapi juga simbol pengakuan masyarakat terhadap status perpasangan dan pembentukan unit keluarga yang baru. Legitimasian ini penting untuk integrasi sosial, karena memberikan kejelasan status bagi individu dalam masyarakat dan memperkuat kohesi sosial.

Literatur juga mengidentifikasi berbagai faktor sosial yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pencatatan perkawinan. Faktor-faktor ini meliputi tingkat pendidikan, status ekonomi, kesadaran hukum, norma-norma adat dan budaya yang berlaku di masyarakat, serta kepercayaan terhadap institusi negara dan agama (Resmini et al., 2020). Di beberapa komunitas, norma adat yang kuat mungkin lebih diutamakan daripada pencatatan resmi, atau bahkan terjadi kontradiksi antara keduanya. Sosiolog juga sering menganalisis bagaimana perubahan sosial seperti urbanisasi, modernisasi, dan pergeseran nilai-nilai keluarga dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pentingnya pencatatan perkawinan. Sebagai contoh, mobilitas sosial yang tinggi di perkotaan mungkin mendorong individu untuk lebih mengandalkan dokumen legal sebagai bukti identitas dan status, sementara di daerah pedesaan yang masih kuat mempertahankan tradisi, penekanan pada pengakuan adat dari keluarga besar atau tokoh masyarakat mungkin lebih dominan. Pemahaman sosiologis ini penting untuk merancang strategi peningkatan partisipasi pencatatan perkawinan yang sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat.

  1. Perspektif Administrasi Publik dalam Literatur tentang Pencatatan Perkawinan

Dalam kajian administrasi publik, pencatatan perkawinan dipandang sebagai komponen krusial dari sistem administrasi kependudukan yang terintegrasi. Literatur di bidang ini menekankan bahwa setiap peristiwa penting dalam siklus hidup warga negara, termasuk kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian, harus dicatat secara akurat oleh negara untuk membangun basis data kependudukan yang solid (Khotimah & Amran Hakim, 2024). Data kependudukan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan fondasi esensial untuk perencanaan dan pelaksanaan berbagai kebijakan publik yang efektif. Pencatatan perkawinan secara khusus berperan dalam mengidentifikasi dan mengelola status keluarga, yang merupakan unit analisis penting dalam berbagai program pembangunan, mulai dari kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, hingga perencanaan tata ruang.

Literatur administrasi publik juga sering membahas mengenai efektivitas dan efisiensi pelayanan pencatatan perkawinan. Hal ini mencakup aspek kemudahan akses bagi masyarakat, kesederhanaan prosedur, kecepatan proses, serta keakuratan data yang dihasilkan. Institusi pemerintah yang bertanggung jawab atas pencatatan, seperti KUA dan Disdukcapil, dituntut untuk memberikan pelayanan yang prima, transparan, dan akuntabel (Lailul Mursyidah, 2018). Studi dalam literatur ini seringkali menganalisis tantangan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga tersebut, seperti keterbatasan sumber daya, kualitas aparatur, atau kendala geografis yang menyulitkan masyarakat di daerah terpencil untuk mengakses layanan pencatatan. Oleh karena itu, dari sudut pandang administrasi publik, peningkatan partisipasi pencatatan perkawinan tidak hanya bergantung pada kesadaran masyarakat, tetapi juga pada perbaikan sistem pelayanan publik itu sendiri, termasuk digitalisasi proses, sosialisasi yang masif, dan penyederhanaan regulasi yang tidak perlu.

  1. Sintesis Transdisipliner: Mengintegrasikan Literatur Islam, Hukum, Sosiologi, dan Administrasi Publik

Sintesis transdisipliner dalam studi pustaka ini menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan adalah fenomena multifaset yang tidak dapat dipahami secara utuh hanya dari satu disiplin ilmu. Literatur fikih Islam menekankan urgensi syar’i pencatatan atas dasar kemaslahatan dan pencegahan mudharat, menjadikan perkawinan yang sah secara agama sebagai fondasi moral dan spiritual yang kuat.¹ Di sisi lain, literatur hukum positif Indonesia menggarisbawahi kebutuhan legalitas formal yang hanya dapat dipenuhi melalui pencatatan resmi oleh negara, yang memberikan kepastian hukum dan hak-hak sipil. Literatur sosiologis melengkapi pemahaman dengan menyoroti dimensi sosial pencatatan, termasuk legitimasi sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, serta dampak perubahan sosial. Sementara itu, literatur administrasi publik menekankan pentingnya pencatatan untuk tertib administrasi kependudukan dan efektivitas kebijakan publik, serta menyoroti perlunya perbaikan sistem pelayanan.

Integrasi dari keempat perspektif ini menghasilkan pemahaman bahwa pencatatan perkawinan bukan hanya soal pemenuhan kewajiban agama atau administrasi semata, melainkan sebuah kebutuhan holistik yang menyangkut perlindungan hak individu, keabsahan institusi keluarga, ketertiban sosial, dan efektivitas negara dalam melayani warganya. Keempat bidang ini saling melengkapi; pandangan Islam memberikan landasan etis dan moral, hukum memberikan kerangka regulasi dan kepastian, sosiologi menjelaskan konteks sosial dan perilaku masyarakat, sementara administrasi publik menyediakan mekanisme implementasi dan pengelolaan data. Dengan menyinergikan wawasan dari keempat disiplin ini, dapat dirumuskan pemahaman yang lebih kaya tentang peran vital pencatatan perkawinan dalam mengatasi masalah kependudukan dan memperkuat fondasi masyarakat yang tertib dan berkeadilan.

E.  Kesimpulan dan Rekomendasi

  1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis literatur yang komprehensif dari perspektif Kajian Islam Transdisipliner, dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan memegang peranan krusial sebagai fondasi legalitas yang kokoh dan solusi fundamental bagi berbagai masalah kependudukan di Indonesia. Dari tinjauan literatur fikih Islam, perkawinan dipandang sebagai akad suci yang sah jika memenuhi rukun dan syaratnya, namun literatur fiqih kontemporer secara tegas menekankan urgensi pencatatan atas dasar kaidah kemaslahatan dan pencegahan mudharat, menjadikannya wajib dalam konteks sosial dan administrasi modern. Ketidakadaan pencatatan berimplikasi pada status nasab, hak waris, dan perlindungan hukum bagi istri serta anak, yang berpotensi menimbulkan kemudaratan yang harus dihindari.

Secara hukum positif Indonesia, literatur hukum menggarisbawahi bahwa legalitas perkawinan di mata negara baru terwujud sepenuhnya melalui pencatatan resmi, yang menjadi dasar penerbitan dokumen kependudukan vital seperti Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak. Tanpa pencatatan, banyak hak sipil yang tidak dapat diakses, menciptakan berbagai masalah kependudukan yang kompleks, mulai dari kesulitan identifikasi anak hingga hambatan dalam akses layanan publik dan hak ekonomi. Literatur sosiologis melengkapi analisis dengan memandang perkawinan sebagai institusi sosial yang memerlukan legitimasi, serta mengidentifikasi faktor sosial yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pencatatan. Sementara itu, literatur administrasi publik menekankan pentingnya pencatatan untuk tertib administrasi kependudukan dan efektivitas kebijakan publik, serta menyoroti perlunya perbaikan sistem pelayanan.

Oleh karena itu, integrasi keempat perspektif ini menegaskan bahwa pencatatan perkawinan adalah kebutuhan holistik yang tidak hanya memenuhi tuntutan agama dan hukum, tetapi juga menjawab kebutuhan sosial masyarakat dan efektivitas penyelenggaraan negara dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada warganya. Pencatatan perkawinan secara efektif menjembatani kesenjangan antara norma agama dan realitas administrasi negara, sekaligus menjadi instrumen strategis untuk memastikan hak-hak dasar individu terpenuhi secara adil dan merata.

  1. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan tersebut, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal:

  • Peningkatan Sosialisasi dan Edukasi: Pemerintah, melalui KUA, Disdukcapil, serta tokoh agama dan masyarakat, perlu terus meningkatkan sosialisasi dan edukasi mengenai urgensi pencatatan perkawinan dan implikasinya terhadap legalitas serta hak-hak kependudukan, baik dari perspektif agama maupun hukum negara. Literasi hukum dan pemahaman tentang kemaslahatan pencatatan perlu digalakkan secara masif.
  • Penyederhanaan dan Aksesibilitas Layanan: Diperlukan upaya berkelanjutan untuk menyederhanakan prosedur pencatatan perkawinan dan meningkatkan aksesibilitas layanan, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil atau kelompok rentan. Digitalisasi proses dan inovasi pelayanan dapat menjadi solusi strategis.
  • Harmonisasi Regulasi dan Kebijakan: Perlu ada upaya harmonisasi regulasi dan kebijakan antara hukum Islam dan hukum positif yang lebih kuat, serta koordinasi yang lebih efektif antar lembaga terkait (KUA, Disdukcapil, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri) demi mewujudkan sistem administrasi kependudukan yang terpadu dan responsif.
  • Penelitian Lanjutan: Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam secara empiris di lapangan untuk menguji efektivitas program sosialisasi dan penyederhanaan layanan, serta untuk menggali lebih jauh faktor-faktor sosial budaya yang masih menjadi kendala dalam pencatatan perkawinan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdulahanaa. (2015). HUKUM ISLAM DINAMIS : Kajian Dinamika Hukum Islam dalam Pengaturan Keluarga, Sosial, Politik dan Pemikiran Hukum. 227.

Abror, H. K., Pendahuluan, A., Arti, S., & Sirri, N. (n.d.). Wacana tentang nikah sirri dalam fikih kontemporer.

Abu Yazid Adnan Quthny, Ahmad Muzakki, & Zainuddin. (2022). Pencatatan Pernikahan Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Asy-Syari’ah : Jurnal Hukum Islam, 8(1), 25–40. https://doi.org/10.55210/assyariah.v8i1.765

Adha, H., Siregar, F. A., Hsb, P. H., Islam, U., Syekh, N., Hasan, A., & Addary, A. (2023). Penetapan Ahli Waris Terhadap Pasangan Pernikahan Yang Tidak Tercatat (Studi Kasus Pengadilan Agama Padangsidimpuan). 8(2), 16391–16397.

Agama, P. M. (2024). PENCATATAN PERNIKAHAN. February, 4–6.

Anas Maulana. (2022). Pencatatan Perkawinan dalam Permendagri Nomor 109 Tahun 2019 Tentang Formulir dan Buku yang Digunakan dalam Administrasi Kependudukan. Islamic Law: Jurnal Siyasah, 7(02), 52–73. https://doi.org/10.53429/law.v7i02.542

Awaru, A. O. T. (2020). Sosiologi Keluarga. In MEDIA SAINS INDONESIA. https://doi.org/10.32388/zxlcjz

Az-Zuhaili, W. (2010). al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Terjemah) jilid 9 : Pernokahan, Talak, Khulu’, Ila’, Li’an, Zhihar, Masa Iddah. Dar Al-Fikr, 57, 58.

Chaula Luthfia, H. A. H. (2025). Urgensi Perncatatan Perkawinan Perspektif Hukum Islam. Sahaja: Journal Shariah And Humanities, 15(2), 20–29.

Hikmatullah, M. S. (2021). FIQH MUNAKAHAT Pernikahan dalam Islam. EDU PUSTAKA.

Isnaini, I., Wisnaeni, F., & Paramita Prabandari, A. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin Dalam Pembuatan Akta Kelahiran : Studi Kasus Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Semarang. Notarius, 14(1), 221–235. https://doi.org/10.14710/nts.v14i1.39237

Jannah, S., Syam, N., Hasan, S., Islam Malang Indonesia, U., Sunan Ampel Surabaya Indonesia, U., & Maulana Malik Ibrahim Malang Indonesia, U. (2021). Urgensi Pencatatan Pernikahan Dalam Presfektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia. Al-Ulum Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Ke Islaman, 8(2), 190–199. https://journal.uim.ac.id/index.php/alulum/article/ view/1052

Khotimah, K., & Amran Hakim, D. (2024). Pencatatan Pernikahan sebagai Pilar Kepastian Hukum Adminitrasi dalam Keluarga: Studi di KUA Seputih Agung Lampung Tengah. El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law, 5(2), 203. https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ElIzdiwaj/ article/view/25903

Laila Nadia, & Sumriyah Sumriyah. (2024). Akibat Hukum Perkawinan tidak Tercatat terhadap Legalitas Anak di Dsn Tanjung Desa Taman Jrengik Sampang. Referendum : Jurnal Hukum Perdata Dan Pidana, 1(4), 104–115. https://doi.org/10.62383/referendum.v1i4.285

Lailul Mursyidah, I. U. C. (2018). Manajemen Pelayanan Publik.

Makmun, M., & Pribadi, B. B. (2016). Efektifitas pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tembelang Kabupaten Jombang. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 1(1), 16–32. http://journal.unipdu.ac.id:8080/ index.php/jhki/article/view/607

Muhammad Yusuf Siregar, Nurhayati, & DhiauddinTanjung. (2022). Unrecorded Marriage Heart Rights According To Positive Law And Islamic Law. International Journal Of Humanities Education and Social Sciences (IJHESS), 2(3), 936–939. https://doi.org/10.55227/ijhess.v2i3.327

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2019. (2019). Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6354, 1–13.

Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1031

Poppy Belladonna, A., Tripuspita, N., & Hidayah, Y. (2023). Kesadaran Hukum Status Hukum Perkawinan Dalam Kaitannya Dengan Hak Dan Kewajiban Warga Negara Desa Kademangan. Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum, 14(1), 89. https://doi.org/10.31764/jmk.v14i1.12914

Qardhwawi, Y. (2019). Fatwa-fatwa kontemporer Jilid III.

Rahman, E. T., & Ahyani, H. (2023). Hukum Perkawinan Islam. In Widina Media Utama.

Rahman, M. (2018). Nikah Sirri: Keabsahan dan Akibatnya. AL HIKMAH Jurnal Studi Keislaman, 8(1), 128–135.

Resmini, W., Sakban, A., & Resmayani, N. P. A. (2020). Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Kepemilikan Akta Perkawinan. SELAPARANG Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 4(1), 700. https://doi.org/10.31764/jpmb.v4i1.3319

Sebriyani, Y. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Perceraian Menurut Perspektif Hukum Keluarga Islam. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 5(2), 1967–1976. https://doi.org/10.37680/almanhaj.v5i2.3822

Setyawan, R. (2024). Menakar Pencatatan Perkawinan di Indonesia Perspektif Kaidah Fiqhiyyah: Antara Legalitas Negara dan Keabsahan Syariah. Jurnal Al-Hakim: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Studi Syariah, Hukum Dan Filantropi, 1, 198–218. https://doi.org/10.22515/jurnalalhakim.v6i2.10063

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1

Wahidin, J., Farid, D., Abdulah Pakarti, M. H., Fathiah, I., & Mabruri, K. A. K. (2024). the Inheritance Rights of Children From Marriage Are Not Recorded According To the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law. Mawaddah: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 2(1), 65–85. https://doi.org/10.52496/mjhki.v1i2.15

 

 

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 86 kali

Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Penghulu dan Dinamika Sosial Politik Nusantara: Sebuah Tinjauan Historis

21 November 2025 - 14:59 WIB

Tertib dalam Wudhu: Analisis Fiqih dan Teori Hukum Islam

13 November 2025 - 16:17 WIB

Etika dan Peran ASN dalam Tanggung Jawab Lingkungan

12 November 2025 - 20:38 WIB

STRATEGI ORMAS PEREMPUAN ISLAM MEREBUT RUANG PUBLIK: Studi Muslimat NU dan Aisyiyah

10 November 2025 - 22:53 WIB

Transformasi Fiqih dalam dunia Islam : Analisis sejarah dan teori

10 November 2025 - 15:11 WIB

WALI NIKAH ILEGAL (PART 1)

2 November 2025 - 20:54 WIB

Trending di Karya Ilmiah
1
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x