I. Pengantar: Menjadi Abdi Negara dalam Dua Wajah
Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah panggilan pengabdian, bukan sekadar pekerjaan. Dalam tradisi birokrasi Indonesia, istilah “abdi negara” tidak berhenti pada definisi teknis, tetapi mengandung nilai-nilai moral, dedikasi, dan loyalitas terhadap konstitusi dan kepentingan rakyat. ASN diharapkan menjadi motor utama reformasi birokrasi dan tulang punggung pelayanan publik yang profesional dan netral.
Namun, sejak hadirnya skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), wajah ASN menjadi dua: PNS dan PPPK. Walaupun secara legal keduanya adalah ASN dan sama-sama memperoleh Nomor Induk Pegawai (NIP), faktanya mereka tidak diperlakukan setara dalam banyak aspek, mulai dari hak dasar, sistem penggajian, jaminan sosial, hingga kesempatan karier.
Salah satu yang terdampak secara signifikan oleh dualisme status ini adalah jabatan fungsional Penghulu, sebuah profesi penting dalam struktur Kementerian Agama. Dalam konteks PPPK, eksistensi penghulu seperti berdiri di persimpangan: diakui sebagai ASN, namun tidak sepenuhnya diberi perlakuan yang setara.
II. Konteks Yuridis dan Ketimpangan Implementasi
UU ASN No. 20 Tahun 2023 sejatinya menjadi momentum besar untuk menyederhanakan sistem kepegawaian, memperkuat meritokrasi, dan menghapus dikotomi yang telah lama menjadi sumber diskriminasi dalam tubuh ASN. Namun hingga pertengahan tahun 2025, regulasi turunannya belum juga diterbitkan, menyebabkan kekosongan norma dan ambiguitas tafsir dalam pengelolaan ASN, khususnya PPPK.
Tanpa adanya kejelasan regulasi turunan, berbagai instansi pemerintah, termasuk Kementerian Agama, menghadapi dilema administratif dalam mengelola penghulu PPPK. Akibatnya, banyak kebijakan bersifat improvisasi, tidak sinkron antarwilayah, dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta keresahan psikologis bagi ASN PPPK.
III. Realita Ketimpangan: Masalah Struktural dalam Jabatan Penghulu PPPK
1. Status Hukum: Setengah ASN, Setengah Kontrak
PPPK memang memiliki legalitas sebagai ASN, namun status “kontrak” dalam perjanjian kerja menempatkan mereka pada posisi liminal (di tengah-tengah). Tidak seperti PNS yang mendapat jaminan status tetap hingga usia pensiun, PPPK diikat dengan masa kontrak tertentu, yang bisa saja tidak diperpanjang karena alasan nonteknis. Ini menimbulkan rasa ketidakpastian eksistensial, terutama pada jabatan strategis seperti Penghulu.
2. Peringkat Pangkat dan Kesenjangan Gaji
Dalam struktur PNS, sistem pangkat dan golongan menjadi dasar sistem penggajian dan promosi jabatan. PPPK tidak memiliki pangkat dalam struktur hierarkis, melainkan hanya kelas jabatan. Hal ini berdampak pada nominal penghasilan, tunjangan, serta kesempatan naik kelas jabatan. Seorang penghulu PPPK dengan pengalaman dan beban kerja yang sama bisa mendapatkan penghasilan lebih rendah dari rekan PNS-nya.
3. Proses Rekrutmen yang Tidak Mengapresiasi Pengabdian
Proses seleksi PPPK lebih menitikberatkan pada tes berbasis CAT (Computer Assisted Test). Meski objektif, metode ini mengabaikan masa pengabdian dari para tenaga honorer yang telah bekerja puluhan tahun. Penghulu yang telah lama berdedikasi tetap harus berkompetisi dalam sistem yang tidak memberi nilai tambah pada loyalitas dan pengabdian masa lalu. Ironisnya, mereka tetap diposisikan sebagai pegawai “sementara”.
4. Penempatan yang Tidak Proporsional
Banyak kasus menunjukkan bahwa penghulu PPPK ditempatkan jauh dari domisili, bahkan melintasi kabupaten atau kecamatan tanpa dasar pertimbangan yang jelas. Hal ini tentu berdampak pada efektivitas kerja, biaya transportasi, dan kondisi psikologis pegawai. Sementara PNS cenderung mendapatkan penempatan yang sesuai domisili, PPPK menghadapi penempatan acak tanpa ruang negosiasi.
5. Minimnya Peluang Pengembangan Karier
Pengembangan diri adalah inti dari sistem karier ASN. Namun bagi penghulu PPPK, jalan ini nyaris tertutup. Larangan mengikuti pendidikan lanjutan, tidak diakuinya gelar pendidikan terbaru, serta tidak adanya jenjang kenaikan jabatan membuat mereka terjebak dalam stagnasi karier. Bahkan sertifikasi tambahan pun tidak memberikan pengaruh berarti terhadap penghasilan atau jabatan.
6. Ketiadaan Jaminan Pensiun dan Hari Tua
Salah satu pilar kesejahteraan ASN adalah jaminan pensiun. PNS secara otomatis memperoleh hak ini, sementara PPPK tidak. Dengan kontrak terbatas dan tanpa kepastian perpanjangan, penghulu PPPK menghadapi masa depan yang gamang. Apakah mereka akan menerima pesangon? Apakah ada skema jaminan hari tua? Semuanya masih menjadi tanda tanya besar.
7. Terbatasnya Akses pada Jabatan Struktural
Secara kelembagaan, penghulu PPPK tidak bisa menduduki jabatan struktural seperti Kepala KUA atau bahkan menjadi Plt/Plh. Ini menimbulkan kesenjangan karier yang sangat kentara, karena posisi strategis itu hanya bisa diisi oleh PNS, terlepas dari kompetensi aktual seorang PPPK. Padahal dalam banyak kasus, penghulu PPPK memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni.
8. Redundansi Uji Kompetensi
Meski telah melalui seleksi yang sangat ketat saat awal perekrutan, penghulu PPPK tetap harus menjalani uji kompetensi tambahan. Ini menandakan kurangnya kepercayaan sistemik terhadap integritas dan kemampuan mereka. Akibatnya, penghulu PPPK merasa diragukan secara institusional, meski telah membuktikan kinerjanya di lapangan.
IV. Refleksi Kritis: Menuju Kesetaraan ASN yang Berkeadilan
Kesenjangan antara PNS dan PPPK, khususnya dalam jabatan fungsional seperti penghulu, menimbulkan efek domino:
Menurunnya semangat kerja
Tumbuhnya kecemburuan sosial di lingkungan kerja
Terjadinya ketidakstabilan psikologis ASN PPPK
Ketidakpastian karier jangka panjang
Ke depan, pemerintah perlu segera mengambil langkah taktis dan strategis untuk menyelesaikan ketimpangan ini. Beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan:
Penerbitan regulasi turunan UU ASN secara cepat dan tegas
Penyamaan hak PPPK dan PNS dalam aspek gaji, pengembangan karier, dan tunjangan
Konversi otomatis PPPK menjadi PNS setelah jangka waktu tertentu atau berdasarkan penilaian kinerja
Penyediaan jaminan hari tua atau pensiun yang setara
Pemberian kesempatan menduduki jabatan struktural jika memenuhi syarat dan kompetensi
Pengakuan atas pendidikan lanjutan dan sertifikasi profesi
V. Penutup: ASN Bukan Sekadar Status, Tapi Pilar Negara
Jika negara ingin membangun birokrasi yang profesional, adil, dan humanis, maka ASN harus diperlakukan secara setara, tanpa memandang status PNS atau PPPK. Jangan sampai dualisme ini malah memecah semangat ASN sebagai abdi negara. Jabatan penghulu bukan jabatan administratif biasa—ia adalah garda depan pelayanan masyarakat dan saksi peradaban.
Maka, keberadaan penghulu PPPK harus diberi ruang yang adil dan bermartabat, bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi juga sebagai bagian penting dari fondasi sosial-keagamaan di Indonesia. Ketika keadilan ditegakkan di internal ASN, maka pelayanan publik akan menemukan roh pengabdiannya kembali.