Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 10 Sep 2025 14:13 WIB ·

Sosio Politis Dan Historis Kementerian Agama (Refleksi 79 Tahun Kementerian Agama Republik Indonesia)

Penulis: Khaerul Umam


 Sosio Politis Dan Historis Kementerian Agama (Refleksi 79 Tahun Kementerian Agama Republik Indonesia) Perbesar

Oleh :

KHAERUL UMAM, S.Ag*)

(Penghulu Ahli Madya KUA Pakuhaji)

 

A. MUKADIMAH

        Tok…Tok…Tok…Palu telah diketuk dan resmilah Indonesia membentuk Kementerian Haji dan Umrah. Pengelolaan ibadah haji akan berada di bawah kementerian tersebut, bukan lagi tanggung jawab Kementerian Agama. Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah ini diatur dalam RUU Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-4 Masa Sidang I Tahun Sidang 2025-2026 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta hari ini, Selasa (26/8/2025). Dan tak berselang lama, tepatnya hari Senin tanggal 8 September 2025 dilantiklah Menteri Haji dan Umroh Pertama Republik Indonesia yaitu KH. Drs.Mochamad Irfan Yusuf dan Wamen Haji dan Umrohya yaitu DR.Dahnil Simanjuntak, SE, M.E. pada ressufhle cabinet Merah Putih oleh presiden Prabowo Subianto. Kementerian baru ini merupakan perubahan nama Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto pada awal pemerintahannya. RUU Haji dan Umrah merupakan salah satu rancangan yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2025-2029. Lewat perubahan ketiga UU Nomor 8 Tahun 2019, BP Haji akan mengambil alih manajemen haji per 2026. Dengan demikian, Kementerian Agama mulai tahun depan tidak lagi mengurus masalah haji. BP Haji mendapat mandat untuk mengelola ibadah haji mulai 2026, menggantikan tugas yang selama ini dijalankan Kementerian Agama.

        Tahun 2025 menjadi momen emosional sekaligus transisi besar, seiring dengan akan beralihnya mandat penyelenggaraan haji kepada Badan Penyelenggara (BP) Haji mulai tahun 2026, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No 154 Tahun 2024. Tahun 2025 menandai akhir era Kemenag dalam penyelenggaraan haji, namun juga menjadi awal dari harapan baru. Setelah 79 tahun mengabdi dalam pelayanan ibadah haji, Kementerian Agama (Kemenag) akhirnya menutup babak panjang sejarah sebagai pelaksana utama rukun Islam kelima di Indonesia. Meski lembaran lama ditutup, sejarah pengabdian 79 tahun Kemenag akan akan tetap tertoreh dalam sejarah bangsa.

         Sebelumnya, Kementerian Agama juga resmi melepas Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), tepatnya pada hari Selasa tanggal 29 Juli 2025. Berpisahnya BPJPH dengan Kementerian Agama merupakan bagian dari transformasi kelembagaan dan penataan pemerintahan pasca pembentukan Kabinet Merah Putih. BPJPH kini menjadi lembaga non-kementerian. Setelah BPJPH dan Ditjen Haji dan Umroh resmi lepas dari Kementerian Agama RI, akan menyusulkah satuan kerja, lembaga atau Ditjen-Ditjen lain di Kementerian Agama yang ikut “dipreteli” dan melepaskan diri dari Kementerian Agama, seperti Pencatatan Nikah di KUA akankah dimerger ke Dukcapil? Perwakafan diambil alih oleh BWI (Badan Wakaf Indonesia), atau mungkin Ditjen Pendis Kemenag pun akan menyerahkan “tahtanya” kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah? Wallahu ‘Alamu Bisshawab..

B. PEMBAHASAN

        Tanggal 3 Januari 2025, Kementerian Agama (Kemenag) tepat berusia 79 tahun. Usia 79 tahun merupakan suatu usia yang cukup matang bagi keberlangsungan lembaga pemerintahan yang membidangi pelayanan kehidupan umat beragama di Indonesia. Peringatan hari lahir Kemenag tidak memakai istilah Hari Ulang Tahun (HUT), Hari Lahir (Harlah), Hari Jadi (Hardi), Milad, maupun yang sejenisnya. Tetapi menggunakan istilah Hari Amal Bakti (HAB). Hal ini didasarkan pada tujuan diadakan HAB itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, kegiatan HAB Kemenag memang lebih ditujukan pada kegiatan yang bersifat sosial. Misalnya, sumbangan-sumbangan material/finansial yang diperuntukkan bagi lembaga-lembaga sejenis panti asuhan, yayasan sosial, lembaga pendidikan maupun keagamaan; sumbangan untuk para fakir miskin, korban bencana alam; penghargaan bagi insan berprestasi di lingkungan Kemenag, serta sumbangan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial lainnya. Biaya sumbangan sosial itu biasanya didapat dari iuran wajib maupun sukarela pegawai Kemenag yang dibayarkan menjelang pelaksanaan Hari Amal Baktinya. Berbagai sumbangan yang diberikan dalam rangka Amal Bakti Kemenag tersebut merupakan bentuk kepedulian sosial sebagai cerminan dari ajaran agama bahwa “tangan yang di atas lebih mulia dari pada tangan yang di bawah” dan “yang memberi itu lebih baik dari pada yang menerima”. Dan inilah kiranya sebab peringatan hari lahir Kemenag menggunakan istilah Hari Amal Bakti.

         Sumbangsih para pegawai Kemenag di Hari Amal Bakti juga merupakan sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab mereka sebagai makhluk sosial terhadap penderitaan antar sesama manusia. Peringantan HAB Kemenag juga bisa dikatakan sebagai “jembatan emas” bagi semua pegawai dalam rangka memperkuat dan menjalin ukhuwah kemanusiaan bersama masyarakat sekitar. Oleh karena itu, peringatan Hari Amal Bakti Kemenag sejatinya merupakan manisfestasi keseluruhan dari sejarah perjalanan, perjuangan, pergorbanan, dan pelaksanaan tugas-tugas/kewajiban-kewajiban Kemenag sejak berdiri hingga sekarang dan yang akan datang yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.

  1. Kementerian Agama: Sejarah dan Urgensi Pembentukannya

        Kementerian Agama (Kemenag)  resmi terbentuk pada tanggal 3 Januari 1946. Itu pun melalui proses yang tidak begitu mudah. Berbagai usulan tentang pembentukan sebuah kementerian yang membidangi kehidupan keagamaan di masa awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945 tidak serta merta dapat disetujui. Pembentukan Kementerian Agama pertama kali disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam Rapat Besar (Sidang) Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 11 Juli 1945. Menurut Yamin, atas dasar aspirasi dari masyarakat Islam waktu itu, urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, terutama permasalahan perwakafan dan kemasjidan, serta penyiaran dakwah Islam perlu dibidangi oleh lembaga atau kementerian yang istimewa yang kemudian disebut dengan Kementerian Agama. Namun, usulan tentang pembentukan lembaga yang membidangi urusan agama itu belum disetujui. Bahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari pasca negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945), dari tiga belas usulan kementerian yang diusulkan hanya dua belas yang dapat disetujui. Sementara, nama Kementerian Agama belum disetujui. Dua belas kementerian itu yakni: (1) Kementerian Dalam Negeri; (2) Kementerian Luar Negeri; (3) Kementerian Kehakiman; (4) Kementerian Keuangan; (5) Kementerian Kemakmuran; (6) Kementerian Kesehatan; (7) Kementerian Pengajaran dan Kebudayaan; (8) Kementerian Sosial; (9) Kementerian Pertahanan; (10) Kementerian Perhubungan; (11) Kementerian Pekerjaan Umum; dan (12) satu menteri negara.

        A. Wahid Hasjim dalam buku Sedjarah Hidup KH. A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama, 1957: 856) menyebutkan bahwa faktor belum disetujuinya Kementerian Agama pada waktu itu disebabkan karena pemikiran orang-orang yang masih sekuler. “Pada waktu itu, orang masih berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian sendiri yang membidangi persoalan-persoalan agama”. Namun dalam perjalanannya, menurut KH. A Wahid Hasjim bahwa permasalahan-permasalah agama pada kenyataannya bercampur baur bersama dengan persoalan-persoalan di beberapa kementerian yang ada. Sehingga agar persoalan agama dapat berjalan dengan baik dan tidak berbenturan dengan permasalahan kementerian lain, maka perlu dibentuk sebuah lembaga khusus dan mandiri yang bertugas untuk mengurusi permasalahan keagamaan. Dengan demikian, keberadaan Kementerian Agama menjadi harga mati untuk segera dibentuk oleh pemerintahan saat itu.

         Baru setelah Presiden Indonesia Ir. Soekarno membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) yang bertujuan untuk membebaskan daerah-daerah bekas kekuasaan Jepang pada tanggal 23 Agustus 1945, yang kemudian diadakannya Rapat Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 24-28 November 1945, usulan pembentukan Kementerian Agama kembali mencuat dan mengemuka. Atas dasar usulan dari tiga tokoh pencetus didirikannya Kementerian Agama yaitu KH. Abu Dardiri, KH. Soleh Su’aidy, dan M. Soekoso Wirjosapoetro, akhirnya usulan pembentukan Kementerian Agama diterima oleh pemerintah yang diwakili oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Sebelumnya, ketiga tokoh utusan daerah di atas menyampaikan desakan agar dalam Negara Indonesia yang sudah merdeka, hendaknya permasalahan-permasalahan keagaman diambil alih oleh lembaga khusus dan mandiri yaitu Kementerian Agama, bukan dibidangi oleh kementerian-kementerian yang lain. Akhirnya, tanggal 3 Januari 1946 bertepatan dengan tanggal 29 Muharram tahun 1364 Hijriah resmilah berdiri Kementerian Agama yang berdasar pada Penetapan Presiden RI Nomor 1/SD yang berbunyi “Bahwa Presiden Republik Indonesia, mengingat usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, memutuskan untuk mengadakan Kementerian Agama”.

        Dari proses perjalanan terbentuknya Kementerian Agama di atas, setidaknya ada tujuh hal yang dianggap sebagai penyebab suatu keharusan, kewajaran, kebaikan, serta tuntutan moril secara konstitusional dari aspirasi umat dalam usaha membentuk lembaga keagamaan di Indonesia, yakni: Pertama, dalam Negara Republik Indonesia yang telah merdeka, berbagai aspek kehidupan harus ditata, dibangun, dan dihidupkan, termasuk aspek kehidupan beragama yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama/kepercayaan beragama, pertahanan/keamanan dan sebagainya. Kedua, suatu kewajaran bahwa dalam Negara Republik Indonesia yang telah merdeka ada Kementerian Agama yang bertujuan untuk mengurus dan melaksanakan hal-hal yang tidak/belum dilaksanakan dengan semestinya berkaitan dengan kehidupan keagamaan. Ketiga, berdirinya Kementerian Agama merupakan kebaikan yang perlu diciptakan dan diperbuat dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk beramal. Keempat, berdirinya Kementerian Agama merupakan hasil pemikiran, perenungan, dan akal budi yang mantap dari para pemimpin, pemikir, dan pejuang Islam. Kelima, berdirinya Kementerian Agama dijamin benar, realistis, dan sesuai berdasarkan Konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945) yang masih demikian hangat dalam pikiran/hati para pemimpin dan pemikir Islam, terlebih karena UUD 1945 pada saat itu belum lama disusun. Keenam, Kementerian Agama berdiri bukan secara kebetulan dan tanpa maksud dan tujuan mulia, melainkan sebagai hasil tuntutan (kehendak) rakyat melalui para wakil mereka di Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah maupun di Komite Nasional Indonesia (KNI) pusat. Ketujuh, Kementerian Agama berdiri sebagai saksi sejarah dan bukti bahwa umat Islam khususnya masih memiliki aspirasi positif/konstruktif, yang kemudian mereka salurkan melalui lembaga konstitusional, demi kemajuan masyarakat beragama, berbangsa dan bernegara yang belum lama bebas dari penjajahan.

         Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya. Kutipan transkripsi pidato Menteri Agama H.M. Rasjidi yang mempunyai nilai sejarah, tersebut diucapkan pada Jumat malam, 4 Januari 1946. Pidato pertama Menteri Agama tersebut dimuat oleh Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta tanggal 5 Januari 1946.

         Dalam Konferensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta tanggal 17-18 Maret 1946, H.M. Rasjidi menguraikan kembali sebab-sebab dan kepentingan Pemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama yakni untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29, yang menerangkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (ayat 1 dan 2). Jadi, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.

  1. Perkembangan Kementerian Agama Pasca terbentuk hingga saat ini

         Tahun-tahun berikutnya merupakan masa konsolidasi dan pengembangan kementerian. Peralihan kekuasaan kepada Pemerintah RI menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi kementerian. Pada tanggal 23 April 1946, Menteri Agama mengeluarkan Maklumat yang isinya : Pertama, Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah, yang selanjutnya ditempatkan di bawah Kementerian Agama. Kedua, hak untuk mengangkat penghulu Landraad (sekarang bernama Pengadilan Negeri), ketua dan anggota Raad Agama yang dahulu ada di tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama. Ketiga, hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada tangan Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.

         Melalui perjuangan yang gigih dan tanpa pamrih para pendahulu kita, sejarah Kementerian Agama menyatu dengan sejarah NKRI. Bahkan dalam masa revolusi fisik dan diplomasi mempertahankan kemerdekaan, Kantor Pusat Kementerian Agama turut hijrah ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Kementerian Agama di masa H.M. Rasjidi dapat disebut “kementerian revolusi”, karena ketika awal dibentuk, Kementerian Agama sejak 12 Maret 1946 berkantor di ibukota revolusi, Yogyakarta. Dalam Maklumat Kementerian Agama No 1 tanggal 14 Maret 1946 diumumkan alamat sementara kantor pusat Kementerian Agama adalah di Jalan Bintaran No 9 Yogyakarta. Kemudian bulan Mei 1946 alamat Kementerian Agama pindah ke Jalan Malioboro No 10 Yogyakarta. Kantor ini tersedia berkat jasa baik tokoh Muhammadiyah K.H. Abu Dardiri dan K.H. Muchtar. Dalam waktu tersebut tugas-tugas Menteri Agama secara fakultatif tetap memiliki akses dengan Jakarta.

         Setelah berdirinya Kementerian Agama, urusan keagamaan dan peradilan agama bagi umat Islam yang telah berjalan sejak pra kemerdekaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Semula hal itu berlaku di Jawa dan Madura, tetapi setelah terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didorong oleh mosi integral Mohammad Natsir (periode berlakunya UUDS 1950) dan penyerahan urusan keagamaan dari bekas negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada Menteri Agama, maka secara de jure dan de facto, tugas dan wewenang dalam urusan agama bagi seluruh wilayah RI menjadi tanggung jawab Menteri Agama

          Dalam perkembangan selanjutnya, diterbitkan lah Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1950 serta Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1951 antara lain menetapkan kewajiban dan lapangan tugas Kementerian Agama yaitu:

  1. Melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya;
  2. Menjaga  bahwa  tiap-tiap  penduduk  mempunyai  kemerdekaan  untuk  memeluk  agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya;
  3. Membimbing,  menyokong,  memelihara  dan  mengembangkan  aliran-aliran  agama  yang sehat;
  4. Menyelenggarakan, memimpin dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri;
  5. Memimpin,  menyokong  serta  mengamat-amati  pendidikan  dan  pengajaran   di  madrasah madrasah dan perguruan-perguruan agama lain-lain;
  6. Mengadakan pendidikan guru-guru dan hakim agama;
  7. Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengajaran rohani kepada anggota-anggota  tentara,  asrama-asrama,  rumah-rumah  penjara  dan  tempat-tempat  lain yang dipandang perlu;
  8. Mengatur,  mengerjakan  dan  mengamat-amati  segala  hal  yang  bersangkutan  dengan pencatatan pernikahan, rujuk dan talak orang Islam;
  9. Memberikan bantuan materiil untuk perbaikan dan pemeliharaan tempat-tempat beribadat (masjid-masjid, gereja-gereja, dll);
  10. Menyelenggarakan, mengurus dan mengawasi segala sesuatu yang bersangkut paut dengan Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi;
  11. Menyelidiki, menentukan, mendaftarkan dan mengawasi pemeliharaan wakaf-wakaf;
  12. Mempertinggi kecerdasan umum dalam hidup bermasyarakat dan hidup beragama.

      Pada waktu memperingati 10 tahun berdirinya Kementerian Agama, tahun 1956, Menteri Agama K.H. Muchammad Iljas menegaskan kembali politik keagamaan dalam Negara Republik Indonesia. Ditegaskannya, bahwa fungsi Kementerian Agama adalah merupakan pendukung dan pelaksana utama asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada perkembangan selanjutnya, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, saat ini Kementerian Agama terdiri dari 11 unit eselon I yaitu : Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan, dan Pendidikan dan Pelatihan, dan 7 Direktorat Jenderal yang membidangi Pendidikan Islam, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Bimbingan Masyarakat Islam, Bimbingan Masyarakat Kristen, Bimbingan Masyarakat Katolik, Bimbingan Masyarakat Hindu, Bimbingan Masyarakat Buddha, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Selain 11 unit kerja tersebut, Menteri Agama juga dibantu oleh 3 (tiga) staf ahli dan 2 (dua) pusat yaitu : Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Keagamaan, Staf Ahli Bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi, Staf Ahli Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Kerukunan Umat Beragama, Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu.

       Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan unit kerja baru dan baru efektif melaksanakan tugasnya pada tahun 2017. BPJPH dibentuk sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 Oktober 2014 dan pada tanggal tersebut juga diundangkan oleh Menkumham Amir Syamsuddin. BPJPH merupakan unit eselon I di bawah Menteri Agama yang dipimpin oleh Kepala Badan, hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama yang mengatur ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Keberadaan BPJPH juga tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama.

      Dalam melaksanakan wewenangnya, BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penetapan kehalalan dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Kedepannya apabila diperlukan, maka BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah. Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

         Saat ini, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, Kementerian Agama menyelenggarakan fungsi antara lain :

  1. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan;
  2. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama;
  3. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama;
  4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;
  5. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah;
  6. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;
  7. Pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan;
  8. Pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan
  9. Pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama.

            Adapun Visi dan Misi Kementerian Agama saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2020 yaitu VISI :“Kementerian Agama yang profesional dan andal dalam membangun masyarakat yang saleh, moderat, cerdas dan unggul untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong royong”. Adapun MISI Kementerian Agama, yaitu:

  1. Meningkatkan kualitas kesalehan umat beragama;
  2. Memperkuat moderasi beragama dan kerukunan umat beragama;
  3. Meningkatkan layanan keagamaan yang adil, mudah dan merata;
  4. Meningkatkan layanan pendidikan yang merata dan bermutu;
  5. Meningkatkan produktivitas dan daya saing pendidikan;
  6. Memantapkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance).

C. PENUTUP

        Pembentukan Kementerian Agama pada masa awal kemerdekaan memerlukan perjuangan tersendiri. Pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan sidang hari Ahad, 19 Agustus 1945 untuk membicarakan pembentukan kementerian/departemen, usulan tentang Kementerian Agama tidak disepakati oleh anggota PPKI. Salah satu anggota PPKI yang menolak pembentukan Kementerian Agama ialah Mr. Johannes Latuharhary. Keputusan untuk tidak membentuk Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, menurut B.J. Boland, telah meningkatkan kekecewaan orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta.

       Pembentukan Kementerian Agama baru bisa diwujudkan pada masa Kabinet Sjahrir II dengan ditetapkan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama. Pembentukan Kementerian Agama pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

        Setelah berdirinya Kementerian Agama, urusan keagamaan dan peradilan agama bagi umat Islam yang telah berjalan sejak pra kemerdekaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Semula hal itu berlaku di Jawa dan Madura, tetapi setelah terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didorong oleh mosi integral Mohammad Natsir (periode berlakunya UUDS 1950) dan penyerahan urusan keagamaan dari bekas negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada Menteri Agama, maka secara de jure dan de facto, tugas dan wewenang dalam urusan agama bagi seluruh wilayah RI menjadi tanggung jawab Menteri Agama.

        Selama 79 tahun perjalanan panjangnya, Kementerian Agama telah memberikan begitu banyak konstibusi dalam bentuk pelayanan keagamaan dan Pendidikan kepada semua umat beragama, dan menjadikan dirinya sebagai pemelihara sekaligus perekat kerukunan nasional. Mengingat kembali sejarah Kementerian Agama dan memahami evolusi perannya dari masa kolonial hingga era modern ini penting untuk merumuskan kebijakan kelembagaan yang lebih tepat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kontribusi penting terkait kelembagaan, KUA sebagai ujung tombak dan garda terdepan dari Kementerian Agama, sejatinya telah lahir di era Gus Men Yaqut Cholil Qoumas, yakni melalui Program Prioritas Revitalisasi KUA (KMA No. 758 Tahun 2021) Tahun 2021 silam. Program ini diwujudkan sebagai bentuk optimalisasi peran negara dalam memberikan pelayanan publik di bidang keagamaan yang inklusif dan antidiskriminatif bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Program Revitalisasi KUA yang disuarakan Gus Men lazimnya melanjutkan amanat dari Peraturan Menteri Agama No. 34 Tahun 2016, dimana KUA memiliki 10 layanan lainnya di luar pencatatan nikah, seperti layanan konsultasi keagamaan, rumah ibadah, wakaf, hingga statistik keagamaan.

       Sebagai pusat layanan keagamaan lantas mengapa sejarah yang sedemikian penting ini dapat terlupakan? Sepertinya ada upaya untuk “mengkerdilkan” dan “menghapus” Kementerian Agama di bumi Nusantara ini, dengan terlepasnya beberapa lembaga, dirjen dan satker-satker lainnya di Kementerian Agama seperti Dirjen Haji dan Umroh, BPJPH, terdahulu pelayanan pencatatan Cerai dan Thalak oleh Pengadilan Agama yang telah memisahkan diri dari Kementerian Agama dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989 kemudian diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006, yang kemudian diubah lagi menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. UU ini mendefinisikan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi masyarakat beragama Islam untuk menangani perkara perdata tertentu, seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan ekonomi syariah.

       Syahdan, tepat memasuki 79 tahun  (3 Januari 2025) usia Kementerian Agama  Republik Indonesia ini, alangkah berharganya untuk mengenang kembali jariyah perjuangan dan pengabdian para pendiri (Founding Father) Kementerian Agama. Tulisan ini bukan bermaksud apa-apa hanya sekedar mencurahkan “kegelisahan” sebagai insan Kementerian Agama terhadap eksistensi Kementerian Agama di masa yang akan datang. Dengan tetap berhusnudzhan kepada pemerintah dengan tujuan baik dari adanya perampingan-perampingan di Kementerian Agama tersebut untuk lebih meningkatkan pelayanan dan fleksibilitas pelayanan publik, kita sebagai insan Kementerian Agama berharap Kementerian Agama tetap eksis dalam pelayanan keagamaan dan Pendidikan keagamaan di Indonesia sesuai dengan cita-cita para pendiri (Founding Father) Kementerian Agama.

 

REFERENSI

A Wahid Hasjim, KH, Sedjarah Hidup KH. A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar: Kementerian  Agama, 1957.

Siswono, “Sejarah dan Amal Bakti Departemen Agama Republik Indonesia”, Penerbit Bina Siswa Bandung, 1990.

Kanwil Kemenag Provinsi Banten, Majalah Dinamika Umat Edisi 86/IX/Januari 2010.

https://www.detik.com/hikmah/haji-dan-umrah/d-8079503/sah-indonesia-resmi-punya-kementerian-haji-dan-umrah.

 

 

————-

**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah,    

        penulis, dan pemerhati sosial keagamaan

 

 

0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 19 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Fasakh Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Regulasi Perkawinan Di Indonesia

1 Oktober 2025 - 15:41 WIB

Konsepsi Mazhab dalam Islam: Definisi, Teori, Dalil, Pandangan Ahli, dan Relevansi Kontemporer

1 Oktober 2025 - 11:37 WIB

Peran Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Islam sebagai Fondasi Legalitas dan Solusi Masalah Kependudukan: Sebuah Kajian Transdisipliner

27 September 2025 - 16:17 WIB

Perbandingan Mazhab dalam Fiqh: Analisis Epistemologis dan Relevansi Kontemporer

26 September 2025 - 15:58 WIB

Perkawinan dalam Islam: Analisis Normatif, Maqasid Syariah, Keadilan, Teori Sistem, dan Perbandingan dengan Hukum Positif serta Hukum Adat

24 September 2025 - 13:27 WIB

Pengikat Keharmonisan Pasutri

19 September 2025 - 11:31 WIB

Trending di Karya Ilmiah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x