Bagi pasangan yang baru menikah, hal ini bisa menjadi jebakan. Di satu sisi, suami mungkin merasa ingin menjaga perasaan istri dengan selalu mengalah. Di sisi lain, istri bisa terbiasa tidak mendengar masukan suami karena merasa pendapatnya selalu diutamakan. Padahal, pernikahan yang sehat membutuhkan dua arah komunikasi yang saling menghormati. Islam mengajarkan musyawarah sebagai prinsip pengambilan keputusan yang adil dan saling menguntungkan.
Dalam Al-Qur’an, prinsip musyawarah bahkan diterapkan secara khusus dalam hubungan suami-istri. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 233:
… فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۗ ….
Terjemahnya:
“..Apabila keduanya ingin menyapih (anak) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya…”
Ayat ini memang berbicara tentang penyapihan anak, namun kandungan hukumnya meluas: keputusan dalam rumah tangga, sekecil apapun, sebaiknya diambil dengan kerelaan bersama dan melalui musyawarah. Artinya, tidak ada pihak yang memaksakan kehendak, apalagi merasa selalu benar. Prinsip ini melatih pasangan untuk saling mendengar, menghormati, dan menimbang pendapat sebelum menentukan sikap.
Musyawarah bukan hanya metode untuk memutuskan perkara, tetapi juga wadah untuk saling memahami sudut pandang. Dengan musyawarah, pasangan suami istri belajar mendengar, menerima kritik, dan mempertimbangkan pendapat yang berbeda.
Fenomena “perempuan selalu benar” jika diterapkan secara kaku justru menghilangkan esensi musyawarah. Seorang suami yang selalu mengalah demi menghindari pertengkaran mungkin tampak bijak di permukaan, tetapi sebenarnya ia mengorbankan kesempatan untuk menyelesaikan masalah secara tuntas. Akibatnya, persoalan yang belum terselesaikan bisa menumpuk, menjadi beban batin, dan di kemudian hari meledak dalam bentuk pertengkaran besar. Perdamaian semu ini bisa menjadi bom waktu yang mengancam keutuhan rumah tangga.
Berdasarkan penelitian John Gottman, seorang profesor psikologi di University of Washington, komunikasi pasangan dalam rumah tangga sebaiknya berfokus pada pembangunan kebiasaan positif dan menghindari pola komunikasi negatif. Gottman menunjukkan bahwa pola komunikasi tertentu dapat memprediksi keberlangsungan pernikahan dengan akurasi sekitar 94%, termasuk tingkat kebahagiaan pasangan.