Menu

Mode Gelap

Tanya Jawab Fikih · 4 Nov 2025 00:02 WIB ·

Syi’ah

Penulis: UMI FIRMANSYAH


 Syi’ah Perbesar

SYI’AH

Makna kata Syi’ah menurut bahasa adalah: golongan.

Allah Swt berfirman,

وَدَخَلَ ٱلۡمَدِينَةَ عَلَىٰ حِينِ غَفۡلَةٖ مِّنۡ أَهۡلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيۡنِ يَقۡتَتِلَانِ هَٰذَا مِن شِيعَتِهِۦ وَهَٰذَا مِنۡ عَدُوِّهِۦۖ

“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang ber- kelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya”. (Qs. Al-Qashash [28]: 15).

Ketika terjadi konflik antara golongan Ali dengan golongan Mu’awiyah, konflik itu berakhir dengan at-Tahkim (arbitrasi), namum gagal. Sejumlah pasukan Ali keluar, mereka disebut dengan Khawarij. Sedangkan yang bertahan disebut dengan Syi’ah Ali (golongan Ali)[320] . Namun hanya sekedar dukungan politik, tidak ada perbedaan dalam masalah ‘Aqidah, karena Imam Ali menyatakan sendiri keutamaan Abu Bakar dan Umar ketika ia ditanya tentang itu,

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ وَخَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ قُلْتُ ثُمَّ أنْتَ قَالَ مَا أنَا إِلَّا رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Dari Muhammad bin al-Hanafiyyah, ia berkata, “Saya katakan kepada Bapak saya, ‘Siapakah manusia yang lebih baik setelah Rasulullah?’. Ali menjawab, ‘Abu Bakar’. Saya katakan, ‘Kemudian siapa?’. Ali menjawab, ‘Umar’. Saya khawatir ia menyebut Utsman. Saya katakan, ‘Lalu engkau?’. Ali menjawab, ‘Aku hanyalah salah seorang dari kaum muslimin’. (HR. al-Bukhari).

Perkembangan Syi’ah Setelah Ali Wafat.

Setelah Imam Ali meninggal dunia, Syi’ah terpecah menjadi beberapa kelompok:

Pertama, kelompok yang berkeyakinan bahwa Imam Ali tidak mati, Imam Ali tetap hidup untuk menegakkan keadilan di dunia. Embrio kelompok ini telah ada ketika Imam Ali masih hidup, berkembang setelah kematian Imam Ali. Seorang ulama Syi’ah bernama al-Hasan bin Musa an-Naubakhti menyebutkan dalam Firaq asy-Syi’ah,

وحكى جماعة من أهل العلم من أصحاب علي – عليه السلام- : أن عبد الله بن سبأ كان يهوديا فأسلم، ووالى – عليا عليه السلام- . وكان يقول وهو على يهوديته في يوشا بن نون بعد موسى – عليه السلام – بهذه المقالة، فقال في إسلامه بعد وفاة النبي صلى الله عليه وسلم بمثل ذلك، وهو أول من أظهر القول بعرض إمامة علي – عليه السلام- وأظهر البراءة من أعدائه، وكاشف مخالفيه فمن هناك قال من خالف الشيعة: إن أصل الرفض مأخوذ من اليهودية

Diriwayatkan oleh sekelompok ulama dari para sahabat Imam Ali –‘Alaihissalam-, sesungguhnya Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi, lalu masuk Islam dan berkomitmen mendukung Imam Ali. Ketika masih Yahudi, ia mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun pelanjut Nabi Musa as. Setelah masuk Islam, ia menyatakan kalimat yang sama, Ali pelanjut nabi Muhammad Saw. Abdullah bin Saba’ orang pertama yang mewajibkan keimaman Ali. Abdullah bin Saba’ juga yang menyatakan Imam Ali telah berlepas diri dan menyingkap musuh-musuhnya, berdasarkan itu maka orang-orang yang menentang Syi’ah menyatakan bahwa asal Syi’ah Rafidhah diambil dari Yahudi[321] .
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa setelah Imam Ali wafat, penggantinya adalah Muhammad bin Al-Hanafiyyah, karena ia yang dipercaya membawa panji Imam Ali dalam peperangan di Bashrah. Mereka mengkafirkan semua yang menolak keimaman Ali. Mereka juga mengkafirkan orang-orang yang ikut perang Shiffin dan perang Jamal melawan Ali. Mereka disebut al-Kaisaniyyah[322] .
Ketiga, kelompok ini meyakini bahwa setelah Imam Ali wafat, keimaman berpindah ke al-Hasan. Setelah al-Hasan menyerahkan khilafah kepada Mu’awiyah, maka keimaman berpindah ke al-Husain. Namun mereka juga tidak sependapat, sebagian mereka berpendapat bahwa setelah al-Hasan, keimaman berpindah ke al-Hasan bin al-Hasan yang bergelar ar-Ridha. Perselisihan internal di kalangan Syi’ah ini membuktikan bahwa keimaman itu tidak seperti yang mereka nyatakan bahwa nabi Muhammad Saw sudah menuliskan secara teks.

Syi’ah Rafidhah.

Kata rafidhah الرافضة diambil dari kata rafadha. Rafidhah diambil dari ucapan Imam Zaid bin Ali,

وكان زيد بن على يعضل على بن ابى طالب على سائر اصحاب رسول الله ويتولى ابا بكر وعمر ويرى الخرو على أيمة الجور فلما ظهر بالكوفة في اصحابه الذين بايعوه سما من بعضهم الطعن على ابى بكر وعمر فأنكر ذلك على من سمعه منه فتفرق عنه الذين بايعوه فقال لهم رفضتموني فيقال انهم سموا الرافضة لقول زيد لهم رفضتموني

Imam Zaid bin Ali lebih mengutamakan Imam Ali daripada para shahabat Rasulullah Saw yang lain, tapi beliau tetap berkomitmen kepada Abu Bakar dan Umar, ia juga berpendapat wajib melawan pemimpin yang jahat. Ketika di Kufah muncul para sahabat yang membai’atnya, ia mendengar sebagian dari mereka mencela Abu Bakar dan Umar. Imam Zaid mengingkari perbuatan mereka itu. Maka orang-orang yang membai’atnya pun terpecah. Imam Zaid berkata kepada mereka, “Rafadhtumuni (kalian menolak aku)”. Maka dikatakan, mereka disebut Syi’ah Rafidhah, karena ucapan Imam Zaid kepada mereka, ‘Rafadhtumuni (kalian menolak aku)’[323] .

Imam Syafi’i mendefinisikan Rafidhah sebagai,

ومن قال: إن أبا بكر وعمر ليسا بإمامين، فهو رافضي

Siapa yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan imam (khalifah), maka dia adalah Syi’ah Rafidhah[324] .

Syi’ah Rafidhah disebut juga Syi’ah Imamiyah Itsna’asyriyyah (Syi’ah dua belas Imam)[325] , karena mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw telah menuliskan keimaman secara teks.

Perbedaan pada Ushul (prinsip utama).

Perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) adalah suatu kewajaran. Tapi perbedaan dengan Syi’ah adalah perbedaan pada masalah-masalah ushul (dasar). Ini dapat dilihat dalam teks-teks klasik Syi’ah:

Tentang Allah Swt:

وحاصله أنا لم نجتمع معهم على إله ولا على نبي ولا على إمام، وذلك أنهم يقولوا إن ربهم هو الذي كان محمد صلى الله عليه وسلم نبيه وخليفته بعده أبو بكر ونحن لا نقول بهذا الرب ولا بذالك النبي، بل نقول أن الرب الذي خليفة نبيه أبو بكر ليس ربنا ولا ذلك النبي نبينا

Kesimpulannya bahwa kami (Syi’ah) tidak mungkin bersama dengan mereka (Sunni) dalam satu tuhan, satu nabi dan satu imam. Karena mereka (Sunni) mengatakan bahwa tuhan mereka adalah Muhammad nabi-Nya dan Abu Bakar khalifah setelahnya. Sedangkan kami tidak mengakui tuhan itu dan nabi itu. Bahkan kami katakan bahwa tuhan yang khalifah nabi-Nya adalah Abu Bakar bukanlah tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami[326] .

Al-Qur’an Menurut Syi’ah.

عن أبي جَعْفَرٍ (عليه السلام) قال: ( مَا ادَّعَى أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ أَنَّهُ جَمَاَ الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَمَا أُنْزِلَ إِلَّا كَذَّابٌ وَ مَا جَمَعَهُ وَ حَفِظَهُ كَمَا نَزَّلَهُ الله تَعَالَى إِلَّا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ (عليه السلام ) وَ الْأَئِمَّةُ مِنْ بَعْدِهِ عليهم السلام

Dari Abu Ja’far ‘Alaihissalam, ia berkata, “Siapa yang menyatakan bahwa seorang dari manusia mengumpulkan seluruh al-Qur’an sebagaimana yang telah diturunkan, maka ia adalah pendusta. Tidak ada yang mengumpulkan al-Qur’an dan menjaga/menghafalnya sebagaimana yang telah diturunkan Allah Swt kecuali Ali bin Abi Thalib ‘Alaihissalam dan para imam setelahnya”[327] .

Dalam riwayat lain disebutkan,

عن أبي عبدالله قال: ( وَ إِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفَ فَاطِمَةَ ) عليها السلام ( وَ مَا يُدْرِيهِمْ مَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ ) عليها السلام ( قَالَ قُلْتُ وَ مَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ ) عليها السلام ( قَالَ مُصْحَفٌ فِيهِ مِثْلُ قُرْآنِكُمْ هَذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَ الله مَا فِيهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ

Dari Abu Abdillah, ia berkata, “Sesungguhnya kami (Syi’ah) memiliki mush-haf Fatimah ‘Alaihassalam. Tahukah mereka apa itu mush-haf Fatimah? Saya bertanya, “Apakah mush-haf Fatimah itu?”. Ia menjawab, “Mush-haf yang di dalamnya seperti al-Qur’an kamu ini tiga kali lipat, demi Allah tidak ada di dalamnya al-Qur’an kamu walaupun satu huruf”[328] .

Bahkan al-Kulaini menulis satu bab berjudul,

باب لم يجمع القرآن كله إلا الأئمة عليهم السلام

Bab: Tidak ada yang mengumpulkan al-Qur’an secara keseluruhan kecuali para imam ‘Alaihimussalam.

Dari kutipan di atas terlihat jelas perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dalam hal yang sangat prinsip, yaitu al-Qur’an. Bahkan ini tertulis dalam kitab induk Syi’ah yang diyakini keshahihannya.

Ayat Sempurna Menurut al-Kafi.

Allah Swt berfirman dalam surat al-Ahzab, ayat: 71,

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah menang dengan kemenangan yang besar”.

Namun ayat yang sempurna menurut kitab al-Kafi adalah,

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ ( عليه السلام ) فِي قَوْلِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ مَنْ يُطِع الله وَ رَسُولَهُ فِي وَلَايَةِ عَلِي وَ وَلَايَةِ الْأَئِمَّةِ مِنْ بَعْدِهِ فَقَدْ فازَ فَوْزاً عَظِيما هَكَذَا نَزَلَتْ

Dari Abu Abdillah ‘Alaihissalam, tentang firman Allah Swt, “Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hal kekuasaan Ali dan kekuasaan para imam setelahnya, sungguh ia telah menang dengan kemenangan yang besar”, demikian ayat ini diturunkan[329] .

Tentang ayat 115, surat Thaha,

وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى آَدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ

“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu)”.

Dalam al-Kafi disebutkan,

عَنْ أَبِي عَ بْدِ اللهِ ( عليه السلام) فِي قَوْلِهِ وَ لَقَدْ عَهِدْنا إِلى آدَمَ مِنْ قَبْلُ كَلِمَاتٍ فِي مُحَمَّدٍ وَ عَلِي وَ فَاطِمَةَ وَ الْحَسَنِ وَ الْحُسَيْنِ وَ الْأَئِمَّةِ (عليهم السلام ) مِنْ ذُريَّتِهِمْ فَنَسِيَ هَكَذَا وَ اللهِ نَزَلَتْ عَلَى مُحَمَّدٍ( صلى الله عليه وآله (

Dari Abu Abdillah ‘Alaihissalam, tentang ayat, “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu beberapa kata tentang Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan para imam ‘Alaihissalam dari keturunan mereka, maka ia lupa akan perintah itu”. Demi Allah, demikian ayat ini turun kepada nabi Muhammad Saw[330] .

Para Imam Ma’shum Menurut Syi’ah.

Dalam kitab al-Kafi ada satu bab berjudul,

باب أن الأئمة عليهم السلام يعلمون علم ما كان ، وما يكون ، وأنه لا يخفى عليهم شيء

Bab: Para imam ‘Alahimussalam mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang dan akan terjadi, tidak ada yang tersembunyi bagi para imam walau sedikitpun.

Kemudian Imam al-Kulaini memuat satu riwayat dari Imam al-Husain,

عن أبي عبد الله عليه السلام قال : إني أعلم ما في السموات ، وما في الأرض ، وأعلم ما في الجنة والنار ، وأعلم ما كان ، وما يكون

Dari Abu Abdillah ‘Alaihissalam, ia berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, aku mengetahui apa yang ada di dalam surga dan neraka. Aku mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang dan akan terjadi”[331] .

Dalam Ushul al-Kafi juga al-Kulaini ada memuat satu bab,

باب أن الأرض كلها للإمام

Bab: Sesungguhnya Seluruh Bumi Milik Imam. Dalam bab ini al-Kulaini memuat beberapa riwayat, diantaranya,

عن أبي بصير عن أبي عبد الله عليه السلام قال : ” أما علمتَ أن الدنيا والآخرة للإمام يضعها حيث يشاء ويدفعها إلى من يشاء ” .

Dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah (Al-Husein) ‘Alaihissalam, ia berkata, “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa dunia dan akhirat milik imam, ia meletakkan kepada siapa yang ia kehendaki dan menyerahkannya kepada siapa yang ia kehendaki”[332] .

Melihat kedudukan kitab al-Kafi yang begitu tinggi dalam Syi’ah, tidak mengherankan jika riwayat-riwayat ini memberikan fanatisme yang luar biasa terhadap para imam, karena para imam memiliki kuasa tanpa batas.

Imam Ali Naik ke Langit.

أحمد بن عبد الله، عن عبد الله بن محمد العبسي، قال: أخبرني حماد بن سلمة عن الأعمش عن زياد بن وهب عن عبد الله بن مسعود قال: أتيت فاطمة صلوات الله عليها. فقلت لها: أين بعلك؟ فقالت: عر به جبرئيل عليه السلام إلى السماء. فقلت: فيما ذا؟ فقالت: إن نفرا من الملائكة تشاجروا في شيء فسألوا حكما من الآدميين فأوحى الله تعالى إليهم أن تخيروا، فاختاروا على بن أبي طالب عليه السلام

Ahmad bin Abdillah, dari Abdullah bin Muhammad al-‘Abasi, ia berkata, “Hammad bin Salamah meriwayatkan kepada saya dari al-A’masy, dari Ziyad bin Wahab, dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ‘Saya datang menemui Fatimah –shalawatullah ‘alaiha-. Saya bertanya, ‘Di manakah suamimu?’. Fatimah menjawab, ‘Malaikat Jibril membawanya naik ke langit’. Saya bertanya, ‘Untuk urusan apa?’. Fatimah menjawab, ‘Sesungguhnya beberapa malaikat bertengkar, mereka menanyakan hukum dari para manusia. Maka Allah mewahyukan kepada para malaikat agar para malaikat menetapkan pilihan. Lalu mereka memilih Ali bin Abi Thalib –‘Alaihissalam-[333] .

Meskipun semua data tersebut di atas dari kitab-kitab terpercaya dalam golongan Syi’ah, mungkin ada yang mengatakan bahwa itu hanya ada pada Syi’ah masa silam. Namun teks berikut ini membuktikan bahwa sikap fanatik terhadap imam itu teru berlanjut sampai saat ini, berikut petikan dari pendapat pemimpin reolusi Iran, Imam al-Khumaini:

Para Imam Menurut al-Khumaini.

وأن من ضروريات مذهبنا أن لأئمتنا مقاما لا يبلغه ملك مقرب ولا نبي مرسل

Sesungguhnya diantara perkara penting mazhab kami, bahwa para imam memiliki kedudukan yang tidak dapat dicapai malaikat yang mendekatkan diri (kepada Allah Swt) dan tidak pula dapat dicapai oleh seorang Nabi yang diutus[334] .

إن لنا ما الله حالات لا يسعها ملك مقرب ولا نبي مرسل ومثل هذه المنزلة موجودة لفاطمة الزهراء عليه السلام

Sesungguhnya kami (Syi’ah) memiliki beberapa kondisi bersama Allah Swt, yang kondisi itu tidak dapat dialami oleh malaikat yang mendekatkan diri (kepada Allah Swt) dan tidak pula dapat dicapai oleh nabi yang diutus, kedudukan ini ada pada Fatimah az-Zahra’ ‘Alaihissalam[335] .

Riwayat Aneh.

Gempat Menurut Syi’ah.

عن أبي عبد الله: أن الحوت الذي يحمل الأرض أسر في نفسه أنه إنما يحمل الأرض بقوته, فأرسل الله إليه حوتا أصغر من شبر وأكبر من فتر فدخلت هذه الحوت أي السمكة الصغيرة في خياشيمه فصعق فمكث بذلك أي الحوت الكبير الذي يحمل الأرض أربعين يوما ثم إن الله عز وجل رأُف به ورحمه وأخرج ذلك الحوت الصغير, فإذا أراد الله عز وجل بأرض زلزلة بعث ذلك الحوت الصغير إلى الحوت الكبير الذي يحمل الأرض, فإذا رآه أضطرب فتزلزلت الأرض

Dari Abu Abdillah, sesungguhnya ikan yang memikul bumi merasa bahwa ia telah memikul bumi dengan kekuatannya. Maka Allah mengutus seekor ikan kecil kepadanya, lebih kecil dari sejengkal dan lebih besar dari sejari. Lalu ikan kecil itu masuk ke saluran pernafasan ikan yang memikul bumi, maka ikan yang memikul bumi itu pun pingsan selama empat puluh hari. Kemudian Allah kasihan dan sayang, lalu ia mengeluarkan ikan kecil itu. Apabila Allah ingin membuat bumi bergoncang (gempa), maka ia mengutus ikan kecil itu kepada ikan besar yang memikul bumi. Ketika ikan besar melihat ikan kecil, maka ikan besar itu pun bergoncang, maka bumi pun gempa[336] .

Nabi Muhammad Saw Menyusu Kepada Abu Thalib.

عن أبي بصير عن أبي عبد الله عليه السلام قال: لما ولد النبي صلى الله عليه وسلم مكث أياما ليس له لبن، فألقاه أبو طالب على ثدي نفسه، فأنزل الله لبنا فرضا منه أياما حتى وقع أبو طالب على حليمة السعدية فدفعه إليها

Dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah ‘Alaihissalam, ia berkata, “Ketika Nabi Muhammad Saw dilahirkan, beberapa hari tidak ada susu, lalu Abu Thalib meletakkan nabi Muhammad Saw ke payudaranya, maka Allah Swt menurunkan susu, lalu nabi Muhammad Saw menyusu beberapa hari, hingga Abu Thalib bertemu dengan Halimah as-Sa’diyyah lalu menyerahkan nabi kepada Halimah”[337] . Tentu riwayat ini tidak rasional dan menimbulkan kelucuan, tetapi tidak boleh menolaknya, karena kitab ini terpercaya dan diriwayatkan dari para imam yang terpercaya, maka mesti diimani dengan penuh keyakinan.

Memusuhi Para Shahabat Nabi.
Kebencian Kepada Khalifah Abu Bakar.

Kebencian terhadap Khalifah Abu Bakar juga sangat terlihat dalam al-Kafi, hal ini dapat dilihat dalam riwayat,

بعد وفاة رسول الله صلى الله عليه وسلم وحين تقررت البيعة لأبي بكر في سقيفة بني ساعدة وبعد وصول أبي بكر إلى المسجد النبوي واعتلى منبر رسول الله صلى الله عليه وسلم وبدأ الناس يبايعونه، ورأى سلمان العارسي هذا المنظر ذهب إلى علي رضي الله عنه وأبلغه بالأمر فسأل علي سلمان الفارسي : أتعرف من أول من بايا أبا بكر ووضا يده في يده؟ فقال سلمان: لا، لا أعرف ذلك الرجل لكني رأيت شيخا عجوزا يتوكأ على عصاه، وعلى جبينه علامة السجود، كان ذلك هو الشيخ الذي تقدم أولا إلى أبي بكر، وأخذ يبكي ويقول:الحمد لله الذي لم يمتني حتى رأيتك في هذا المكان، ابسط يدك فبسط يده فبايعه، فسما علي كلام سلمان وقال: هل تدري من هذا ؟ فقال سلمان: لا أدري، فقال علي : ذاك إبليس لعنه الله

Setelah Rasulullah Saw wafat, ketika terjadi bai’at terhadap Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’idah, setelah Abu Bakar sampai ke Masjid Nabawi, ia naik ke mimbar Rasulullah Saw, orang banyak mulai membai’atnya, Salman al-Farisi melihat pemandangan itu, lalu ia pergi kepada Ali, ia menyampaikan berita itu, ali bertanya kepada Salman, “Tahukah engkau siapa yang pertama kali membai’at Abu Bakar dan meletakkan tangannya ke tangan Abu Bakar?”. Salman menjawab: “Tidak, saya tidak kenal laki-laki itu. Akan tetapi saya melihat ada lelaki tua bertongkat, di keningnya ada bekas sujud, dialah orang tua yang pertama kali maju kepada Abu Bakar, ia menangis dan berkata: “Alhamdulillah yang tidak mematikan aku hingga aku bisa melihatmu di tempat ini. Ulurkanlah tanganmu”. Lalu Abu Bakar mengulurkan tangannya. Lalu orang tua itu membai’atnya. Ali bertanya: “Apakah engkau tau siapa orang itu?”. Salman menjawab: “Saya tidak tahu”. Ali berkata: “Itu Iblis la’natullah”338.

Rasulullah Saw Wafat Karena Diracun Aisyah dan Hafshah.

152/791 – عن عبد الصمد بن بشير عن أبي عبد الله عليه السلام، قال: أ تدرون مات النبي صلى الله عليه وسلم أو قتل، إن الله يقول: (فَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتمُْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ) فسم قبل الموت، إنهما سقتاه، فقلنا إنهما وأبوهما شر من خلق الله

791/152 – Dari Abdusshamad bin Basyir, dari Abu Abdillah –‘Alaihissalam-, ia berkata, “Apakah kamu mengetahui, Nabi Muhammad Saw wafat atau dibunuh? Sesungguhnya Allah Swt berfirman, “Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang”. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 144). Nabi Muhammad Saw telah diracun sebelum wafat. Mereka berdua (Aisyah dan Hafshah) telah meracunnya. Kami katakan bahwa mereka berdua (Aisyah dan Hashah) dan Bapak keduanya (Abu Bakar dan Umar) seburuk-buruk makhluk ciptaan Allah Swt[339] .

Orang Mekah dan Madinah Kafir

4– عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن خالد عن عثمان بن عيسى عن سماعة عن أبي بصير عن أحدهما عليهما السلام قال: إن أهل مكة ليكفرون بالله جهرة وإن أهل المدينة أخبث من أهل مكة أخبث منهم سبعين ضعفا

4- Dari beberapa orang periwayat para sahabat kami, dari Ahmad bin Muhammad bin Khalid dari Utsman bin Isa dari Sima’ah dari Abu Bashir dari salah seorang dari mereka berdua –‘Alaihimassalam-, ia berkata, “Sesungguhnya penduduk Mekah itu kafir kepada Allah secara nyata. Sesungguhnya penduduk Madinah lebih kotor daripada penduduk Mekah, mereka lebih kotor tujuh puluh kali lipat”[340] .

Semua Shahabat Setelah Nabi Muhammad Saw Adalah Kafir, Kecuali Tiga Orang

-241 حنان، عن أبيه، عن أبي جعفر عليه السلام قال: كان الناس أهل ردة بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ثلاثة. فقلت: ومن الثلاثة؟ فقال: المقداد بن الأسود وأبو ذر الغعاري وسلمان الفارسي رحمة الله وبركاته عليهم

241 – Hannan, dari Bapaknya, dari Abu Ja’far –‘Alaihissalam-, ia berkata, “Manusia semuanya murtad setelah Nabi Muhammad Saw, kecuali tiga orang”. Saya bertanya, “Siapakah tiga orang itu?”. Ia menjawab, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi –rahmat dan berkah dari Allah untuk mereka-[341] .

Nikah Mut’ah Dalam al-Kafi

الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمد عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زرارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اِللهِ عليه السلام قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أهِيَ مِنَ الأرْبَع فَقَالَ تزَوَّج مِنْهُنَّ أَلْفًا فَإِنُّهنَّ مُسْتأَجَرَاتٌ

Dari al-Husain bin Muhammad, dari Ahmad bin Ishaq, dari Sa’dan bin Muslim, dari ‘Ubaid bin Zurarah, dari Bapaknya, dari Abu Abdillah ‘Alaihissalam. Zurarah berkata, “Saya sebutkan tentang nikah mut’ah kepadanya, apakah nikah mut’ah itu empat orang saja?”. Abu Abdillah ‘Alaihissalam menjawab, “Menikah mut’ah-lah walaupun seribu orang, karena sesungguhnya mereka itu para wanita yang telah diberi upah”[342] .

Fatwa Tidak Layak

Imam al-Khumaini berkata,

مسألة 12 : لا يجوز وطأ الزوجة قبل إكمال تسع سنين دواما كان النكاح أو منقطعا، وأما سائر الاستمتاعات كاللمس بشهوة والضم والتعخيذ فلا بأس بها حتى في الرضيعة

Masalah ke-12: tidak boleh hubungan kelamin dengan istri yang belum berumur Sembilan tahun, apakah nikah abadi atau nikah temporer (Mut’ah). Adapun semua kenikmatan seperti sentuhan dengan birahi, pelukan dan tafkhidz (meletakkan kemaluan di celah paha), maka boleh, meskipun dilakukan terhadap bayi yang masih menyusui[343] .

Fanatisme Syi’ah

عن ال رضَا (عليه السلام) قال: ( لَيْسَ عَلَى مِلَّةِ الْإِسْلاَمِ غَيْرُنَا وغير شيعتنا )

Dari Imam ar-Ridha ‘Alaihissalam, ia berkata, “Tidak termasuk dalam agama Islam, yaitu orang-orang selain kita dan selain Syi’ah kita”[344] .

عن أبي عبد الله ( عليه السلام ) قَالَ: ( يَا بَشِيرُ إِنَّ الْمُؤ مِنَ إِذَا أَتَى قَبْرَ الْحُسَيْنِ ) عليه السلام ( يَوْمَ عَرَفَةَ وَ اغْتسَلَ مِنَ الْفُرَاتِ ثُمَّ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُل خُطْوَةٍ حَجَّةً بِمَنَاسِكِهَا وَ لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَا ل وَ غَزْوَة

Dari Abu Abdillah ‘Alaihissalam, ia berkata, “Wahai Basyir, sesungguhnya seorang mukmin, apabila ia datang ke makam Husain ‘Alaihissalam pada hari ‘Arafah, ia mandi dari Sungai Eufrat, kemudian menuju makam Husain, maka Allah tuliskan baginya setiap langkahnya satu kali haji dengan manasiknya (aku tidak mengetahui melainkan ucapannya) dan satu kali perang jihad”[345] .

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللََِّّ ( عليه السلام ) قَالَ: ( أَهْلُ الشَّامِ شَرٌّ مِنْ أَهْلِ الرُّومِ وَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ شَرٌّ مِ نْ أَهْلِ مَكَّةَ وَ أَهْلُ مَكَّةَ يَكْفُرُونَ بِالِلهِ جَهْرَةً (

Dari Abu Abdillah ‘Alaihissalam, ia berkata, “Penduduk Syam lebih jahat daripada penduduk Romawi. Penduduk Madinah lebih jahat daripada penduduk Mekah. Penduduk Mekah telah kafir kepada Allah secara nyata”[346] .

Semua Manusia Anak Zina, Kecuali Syi’ah

إن الناس كلهم أولاد بغايا ما خلا شيعتنا

Sesungguhnya semua manusia itu anak-anak zina, kecuali Syi’ah kita[347] .

Anak Orang Syi’ah Tidak Diganggu Setan

–73 عن إبراهيم بن أبي يحي عن جعفر بن محمد عليه السلام قال: ما من مولود إلا وإبليس من الأبالسة بحضرته، فإن علم الله أنه من شيعتنا حجبه عن ذلك الشيطان، وإن لم يكن من شيعتنا أثبت الشيطان إصبعه السبابة في دبره فكان مأبونا (وذلك أن الذكر يخر للوجه) فإن كانت إمرأة أثبت في فرجها فكانت فاجرة، فعند ذلك يبكي الصبي بكاءا شديدا إذا هو خرج من بطن أمه، والله بعد ذلك يمحو ما يشاء ويثبت وعنده أم الكتاب

73 – Dari Ibrahim bin Abi Yahya, dari Ja’far bin Muhammad –‘Alaihissalam-, ia berkata, “Tidak ada anak yang lahir melainkan Iblis dari Iblis-Iblis hadir. Jika Allah mengetahui bahwa anak itu dari golongan Syi’ah kita, maka Allah menghalangi anak tersebut dari setan. Jika anak itu bukan dari golongan Syi’ah kita, maka setan menusukkan jari telunjuknya di dubur anak tersebut, tempat itu akan menjadi tempat zina [karena zakar dikeluarkan untuk suatu tujuan]. Jika anak itu perempuan, maka setan menusukkan jari telunjuknya ke kemaluan anak perempuan itu dan anak perempuan itu adalah anak perempuan nakal. Maka ketika itu anak itu akan menangis sangat keras ketika ia keluar dari rahim ibunya. Setelah itu Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki karena di sisi-Nya ada Umm al-Kitab (induk kitab)[348] .

Analisa Sanad

محمد بن يحي عن أحمد بن محمد بن عيسى عن الحسين بن سعيد عن فضالة بن أيوب عن سيف بن عميرة عن أبي بكر الحضرمي قال: قلت لأبي عبد الله عليه السلام أهل الشام شر ام أهل الروم؟ فقال: إن الروم كفروا ولم يعادونا وإن أهل الشام كفروا وعادونا

Muhammad bin Yahya, dari Ahmad bin Muhammad bin Isa, dari al-Husain bin Sa’id, dari Fadhalah bin Ayyub, dari Saif bin ‘Umairah, dari Abu Bakr al-Hadhrami, ia berkata, “Saya bertanya kepada Abu Abdillah ‘Alaihissalah, apakah penduduk negeri Syam lebih jahat atau penduduk Romawi?”. Ia menjawab, “Sesungguhnya Romawi kafir tapi tidak memusuhi kita. Sesungguhnya penduduk negeri Syam kafir dan memusuhi kita”349.

Al-Mushthafawi dalam Syarh Hal al-Kulaini menyatakan bahwa al-Kulaini bertemu langsung dengan Imam al-Mahdi dan empat utusan Imam al-Mahdi yang jika dilihat dari masa hidup mereka sezaman:

  1. Abu Umar ‘Utsman bin Sa’id al-‘Umari (w.tidak diketahui).
  2. Abu Ja’far Muhammad bin Utsman bin Sa’id al-‘Umari (w.304H).
  3. Abu al-Qasim al-Husain bin Ali an-Naubakhti (w.326H).
  4. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad as-Samarri (w.329H).

Bahkan Abdul Husain al-Muzhaffar dengan jelas menyatakan,

ويعتقد بعض العلماء أنه عرض على القائم عليه السلام فاستحسنه وقال: كاف لشيعتنا

Sebagian ulama (Syi’ah) meyakini bahwa kitab al-Kafi telah dipresentasikan kepada al-Qa’im ‘Alaihissalam, beliau menganggap baik kitab al-Kafi dan berkata, “Cukup bagi Syi’ah kita”[350] . Namun entah mengapa al-Kulaini membuat Sanad yang amat sangat panjang.

Analisa Matn

Teks-teks yang terdapat dalam referensi Syi’ah sangat propokatif, dari masalah al-Qur’an, status para imam, menanamkan fanatisme dan permusuhan, sampai riwayat-riwayat aneh yang tidak rasional. Namun karena al-Kafi sudah dianggap sebagai kitab suci, maka sangat berpengaruh terhadap Syi’ah kontemporer. Imam Abu al-Qasim al-Khu’i merupakan salah satu Imam Marja’ di kalangan Syi’ah kontemporer, guru dari Ayatullah al-‘Uzhma Ali as-Sistani ulama terbesar Syi’ah Irak zaman ini, ketika beliau membahas hadits-hadits Syi’ah tentang kekurangan al-Qur’an, al-Khu’i sampai pada kesimpulan,

كثرة الروايات تورث القطع بصدور بعضها عن المعصومين عليهم السلام ولا أقل من الإطمئنان بذلك وفيها ما روي بطريق معتبر فلا حاجة بنا إلى التكلم في سند كل رواية بخصوصها

Banyaknya riwayat-riwayat memberikan keyakinan yang kuat, terlebih lagi sebagiannya diriwayatkan dari para imam yang ma’shum ‘Alaihissalam, tidak ada yang lebih menenangkan daripada itu, di dalamnya juga terdapat riwayat dari jalur yang mu’tabar, kita tidak perlu membahas sanad-sanadnya secara khusus[351] .

Menentukan Sikap

Setelah membaca kutipan dari beberaa kitab Syi’ah diatas, bahkan kitab al-Kafi yang dianggap sebagai kitab tershahih diantara referensi Syi’ah, rasanya sulit untuk memenuhi undangan Ayatullah Ali Taskhiri dalam Mu’tamar at-Taqrib Baina al-Madzahib (Konferensi Pendekatan Sunni-Syi’ah), dengan bahasa Quraish Shihab; Sunni-Syi’ah bergandeng tangan. Orang-orang yang terjebak dalam taqrib mesti segera bertaubat, seperti yang dilakukan Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang pernah ikut at-Taqrib Baina al-Madzahib, akhirnya sadar, ia nyatakan dalam Fatawa Mu’ashirah.

Syekh DR.Yusuf al-Qaradhawi

“Sesungguhnya sejak saya ikut serta dalam konferensi at-Taqrib Baina al-Madzahib, saya telah menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran sepuluh tahun silam. Disini saya hanya mengacu pada tiga perkara:
Pertama, kesepakatan untuk tidak mencerca para shahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu. Karena saya mengatakan, ‘Semoga Allah meridhai mereka’. Sedangkan kalian (Syi’ah) mengatakan, ‘Semoga Allah melaknat mereka’. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang sangat besar.
Kedua, dilarang menyebarkan satu mazhab di daerah yang dikuasai mazhab tertentu. Atau seperti yang dinyatakan Syekh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah Syi’ahisasi (ekspor mazhab Syi’ah ke negara lain).
Ketiga, memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika minoritas tersebut adalah mazhab yang sah. Inilah sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha taqrib (pendekatan Sunni-Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan”[352] .

Pernyataan Ulama Indonesia

Hadhratu Syaikh Hasyim Asy’ari (1875-1947H)[353] .

Diantara mereka juga ada golongan Rafidhah yang suka mencaci Sayyidina Abu Bakar dan Umar. Membenci para shahabat nabi dan berlebihan dalam mencintai Sayyidina Ali dan anggota keliarganya, semoga Allah meridhoi mereka semua. Sayyid Muhammad berkata dalam Syarh Qamus, “Sebagian mereka bahkan sampai pada tingkatan kafir dan zindiq, semoga Allah melindungi kita dan ummat Islam dari aliran ini. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata dalam kitab asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, “Dari Abdullah bin Mughaffal, Rasulullah Saw bersabda, ‘Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai para shahabatku. Janganlah kalian menjadikan mereka sebagai sasaran caci maki sesudah aku tiada. Siapa yang mencintai mereka, maka dengan cinta kepadaku aku mencintai mereka. Siapa yang membenci mereka, maka dengan kebencianku aku membenci mereka. Siapa yang menyakiti aku, berarti telah menyakiti Allah. Siapa yang telah menyakiti Allah, dikhawatirkan Allah akan menghukumnya”. (HR. at-Tirmidzi). Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu mencela para shahabatku, siapa yang mencela mereka, maka baginya laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima amal darinya di hari kiamat, yang wajib maupun yang sunnat”. (HR. Abu Nu’aim, ath-Thabrani dan al-Hakim).
Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian mencaci maki shahabatku, sebab di akhir zaman nanti akan datang suatu kaum yang mencela para shahabatku. Maka janganlah kalian laksanakan shalat jenazah untuk mereka dan janganlah shalat bersama mereka. Janganlah kamu menikahi mereka dan janganlah duduk-duduk bersama mereka. Jika sakit, janganlah kalian menjenguk mereka”. Rasulullah Saw telah memberitahukan bahwa mencela dan menyakiti shahabat berarti telah menyakiti Rasulullah Saw, sedangkan menyakiti Rasulullah Saw itu haram hukumnya. Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian menyakiti aku dalam perkara shahabatku. Siapa yang menyakiti mereka berarti telah menyakitiku”. Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian menyakitiku dengan cara menyakiti Fatimah, sebab Fatimah adalah darang dagingku. Apa saja yang menyakitinya, berarti telah menyakitiku”[354] .

Syekh Hasyim Asy’ari menukil pendapat al-Qadhi ‘Iyadh dalam asy-Syifa tentang penjelasan kelompok-kelompok yang dipastikan kekafirannya diantara ummat Islam. Dalam al-Anwar disebutkan, “Dipastikan kekafirannya; semua orang yang mengatakan suatu kalimat yang menyesatkan ummat, mengkairkan shahabat dan setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir seperti sujud ke salib atau menyembah api”[355] .

Prof.DR.HAMKA (1908-1981M)[356] .

Kita di Indonesia adalah golongan Sunni. Jelasnya ialah bahwa dalam menegakkan ‘aqidah, kita menganut faham Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Di dalam amalan syariat Islam kita pengikut mazhab Syafi’i terutama dan menghargai juga ajaran-ajaran dari ketiga imam yang lain (Hanafi, Maliki dan Hanbali).
Menilik kesemuanya ini dapatlah saya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, atau sebagai pribadi menjelaskan pendirian saya sehubungan dengan revolusi Iran:

  1. Sesuai dengan preambul dari UUD RI, saya simpati atas revolusi yang telah berlaku di Iran. Saya simpati karena mereka telah menentang feodalisme Kerajaan Syah yang tidak adil.
  2. Karena ternyata bahwa revolusi Islam-nya ialah berdasar mazhab Syi’ah, maka kita tidak berhak mencampuri urusan dalam negeri orang lain, dan saya tetap seorang Sunni yang tak perlu berpegang pada pendapat orang Syi’ah dan ajaran-ajaran Ayatullah.

Ketika saya di Iran, datang empat orang pemuda ke kamar hotel saya dan dengan bersemangat mereka mengajari saya tentang revolusi dan menyatakan keinginannya untuk datang ke Indonesia guna mengajarkan revolusi Islam Syi’ah itu di Indonesia. Kami menerimanya dengan senyum simpul, “Boleh datang sebagai tamu, tapi ingat, kami adalah bangsa yang merdeka dan tidak menganut Syi’ah!”, ujar saya[357] .

_____________

[320] Lihat Syekh Abu Zahrah, Tarikh Madzahib al-Islamiyyah fi as-Siyasah wa al-‘Aqa’id.

[321] Al-Hasan bin Musa an-Naubakhti dan Sa’ad bin Abdullah al-Qummi, Firaq asy-Syi’ah, (Dar ar-Rasyad), hal.32.

[322] Ibid.

[323] Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby), hal.65.

[324] Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, Juz.X, hal.31.

[325] Yang dimaksud para imam adalah 12 imam yang diklaim Syi’ah telah disebutkan Rasulullah Saw sesuai urutannya, seperti yang dinyatakan al-Qunduzi (w.1294H) dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah, hal.440: 1. Imam Ali bin Abi Thalib (w.41H/661M). 2. Imam al-Hasan bin Ali (w.49H/669M). 3. Imam al-Husain (61H/680M). 4. Imam Ali bin al-Husain Zainal Abidin (w.94H/712M). 5. Imam Muhammad bin Ali al-Baqir (w.113H/731M). 6. Imam Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq (w.146H/765M). 7. Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim (128-203H). 8. Imam Ali bin Musa ar-Ridha (w.203H/818M). 9. Imam Muhammad bin Ali al-Jawwad (w.221H/835M). 10. Imam Ali bin Muhammad al-Hadi (w.254H/868M). 11. Imam al-Hasan bin Ali al-‘Askari (w.261H/874M). 12. Imam Muhammad bin al-Hasan al-Mahdi al-Munthazhar (w.265H/878M).

[326] As-Sayyid Ni’matullah al-Jaza’iri, al-Anwar an-Nu’maniyyah, juz.II (Beirut: Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at), hal.378.

[327] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi, juz.I (Beirut: Mu’assasah al-A’lami, 2005), hal.228.

[328] Ibid., hal.239.

[329] Ibid.

[330] Ibid., hal.416.

[331] Al-Kulaini, op. cit., juz.I, hal.260.

[332] Ibid., hal.147.

[333] Syekh al-Mufid, al-Ikhtishash, (Beirut: al-A’lamy li al-Mathbu’at, 1402H), hal.213.

[334] Imam al-Khumaini, al-Hukumah al-Islamiyyah, hal.52.

[335] Ibid.

[336] Al-Kulaini, op. cit., juz.VIII, hal.212.

[337] Ibid., juz.I, hal.448.

[338] Ibid., juz.VIII, hal.159.

[339] Abu an-Nashr al-‘Ayyasyi, Tafsir al-‘Ayyasyi, juz.I (Beirut: Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at), hal.342.

[340] Al-Kulaini, al-Kafi (al-Ushul), juz.II (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1375H), hal.410.

[341] Al-Kulaini, al-Kafi (ar-Raudhah), juz.VIII (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1375H), hal.245.

[342] Ibid., juz.III, hal.458.

[343] Imam al-Khumaini, Tahrir al-Wasilah, juz.II, hal.216, masalah no.12.

[344] Al-Kulaini, op. cit., juz.I, hal.223.

[345] Ibid., juz.IV, hal.580.

[346] Ibid., juz.II, hal.409.

[347] Ibid., juz.VIII, hal.885.

[348] Abu an-Nashr al-‘Ayyasyi, Tafsir al-‘Ayyasyi, juz.II (Beirut: Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at), hal.234.

[349] Al-Kulaini, op. cit., juz.II, hal.410.

[350] Abdul Husain al-Muzhaffar, Muqaddimah Ushul al-Kafi, juz.I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah), hal.19.

[351] Abu al-Qasim al-Khu’i, al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Qom: Mu’assasah Ihya’ Turats al-Khu’i), hal.225.

[352] Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, juz.IV (Kuwait: Dar al-Qalam, 2009M), hal.230.

[353] Ra’is Akbar Nahdlatul Ulama dan Pahlawan Nasional.

[354] Hadhratu Syaikh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, hal.9-10.

[355] Ibid., hal.41.

[356] Pahlawan Nasional, tokoh Muhammadiyyah, Ketua Umum MUI Pusat periode: 1975-1980.

[357] Artikel Buya Hamka, “Majelis Ulama Indonesia, Bicaralah!”, Harian Umum Kompas, tanggal 11 Desember 1980M.

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 23 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Keutamaan Surat Yasin

11 November 2025 - 14:39 WIB

Do’a Qunut Pada Shalat Shubuh

8 November 2025 - 15:07 WIB

As-Siyadah

7 November 2025 - 23:50 WIB

Salaf dan Salafi

7 November 2025 - 23:05 WIB

Memahami Ayat Dan Hadits Mutasyabihat

4 November 2025 - 22:42 WIB

Tawassul

30 Oktober 2025 - 15:53 WIB

Trending di Tanya Jawab Fikih
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x