TAJDIDUN NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM & REGULASI PERKAWINAN

TAJDIDUN NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM & REGULASI PERKAWINAN

  1. Pendapat Yang Membolehkan

           Imam Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani memberikan argumen bahwa menurut mayoritas ulama (Jumhur ulama’), Tajdidun nikah tidak merusak atau menggugurkan akad nikah yang pertama. Dalam pandangan ini, Tajdidun nikah lebih merupakan upaya memperkuat dan memperbaharui ikatan pernikahan yang telah ada sebelumnya, daripada menghapus akad nikah yang pertama. Pendapat ini mengindikasikan bahwa tajdidun nikah dapat menjadi cara untuk memperbaiki atau membangun kembali hubungan suami istri yang mungkin telah menghadapi tantangan atau masalah tertentu, tanpa harus mencabut akad nikah yang sudah ada sebelumnya. (Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, tt: 199). Sedangkan dalil bahwa akad kedua tidak merusak akad pertama, seperti yang dijelaskan Imam Ibnul Munir adalah hadits yang diriwayatkan oleh Salamah RA.

بَايَعْنَا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِي يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ قَالَ وَفِي الثَّانِي

       Artinya : “Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.(H.R. Bukhari)” (Abi Abdillah Muhammad  bin Ismail bin Ibrohim Ibni al Mughirah bin Bardizbah , Shohih Bukhari Juz 9, Maktabah Syamilah, hlm 98).

          Dalam hadits ini diceritakan bahwa Salamah sudah pernah melakukan bai’at kepada Nabi Saw, namun beliau tetap menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai’at Salamah yang pertama sebagaimana disebutkan oleh al-Muhallab (Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, Maktabah Syamilah, J. XV, h. 301). Karena itu, bai’at Salamah yang kedua kali ini tentunya tidak membatalkan bai’atnya yang pertama. Tajdid nikah dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai’at ini, mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara dua pihak. Pendalilan seperti ini telah dikemukakan oleh Imam Ibnu Munir sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri. Imam Ibnu Munir berkata:

وقال ابن المنير: يستفاد من هذا الحديث أن اعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسح للعقد الاول

     Artinya:“Dipahami dari hadits ini (hadits salamah) bahwa mengulangi lafazh akad nikah dan akad lainnya tidaklah menjadi fasakh bagi akad pertama” (Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Bari, Beirut: Baitul Afkar ad-Daulah, Juz II, hlm. 175).

          Menurut Imam Ibnu Munir (Beliau adalah ahli fiqh dan tafsir dari Mesir, Wafat 683 H), beliau memberikan suatu hukum dari tajdidun nikah adalah boleh, karena mengulangi lafal akad nikah di dalam nikah yang kedua tidak merusak pada akad yang pertama. Kemudian dikuatkan oleh argumen Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, menyatakan bahwa menurut jumhur ulama tajdidun nikah tidak merusak akad yang pertama. Dan beliau juga menambahi perkataan bahwa yang shahih di sisi ulama’ Syafi’iyah adalah mengulangi akad nikah atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama (Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, tt: 199).

           Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya At-Tuhfah Al-Muhtaj bisyarkhil Minhaj, menjelaskan:  “Sesungguhnya persetujuan murni suami atas aqad nikah yang kedua  (memperbarui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas karena tajdidun nikah itu permintaan suami untuk memperbaiki atau berhati-hati” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj bisyarkhil minhaj, al-Kubro budhoh, h. 391).

           Imam Zakariya al-Anshari dalam kitab beliau, Fath al-Wahab mengatakan :

Kalau seseorang melakukan akad nikah secara sirr (sembunyi-sembunyi) dengan mahar seribu, kemudian diulang kembali akad itu secara terang-terangan dengan mahar dua ribu dengan tujuan tajammul (memperindah), maka wajib maharnya adalah seribu.” (Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, Dicetak pada hamisy Bujairumy ‘ala Fath al-Wahab, Dar Shadir, Beirut, Juz. III, Hal. 413).

          Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 281.

        Di sini, kedua ulama di atas mengakui bahwa akad nikah kedua tidak membatalkan akad nikah pertama. Buktinya, beliau berpendapat bahwa kewajiban mahar dikembalikan menurut  yang disebutkan dalam akad yang pertama. Kalau akad yang kedua membatalkan akad yang pertama, maka tentunya jumlah mahar tidak dikembalikan kepada akad yang pertama. Oleh karena itu, dipahami bahwa akad yang kedua hanyalah dengan tujuan memperindah saja.

          Imam Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :

)وَلَوْ تَوَافَقُوا ) أَيْ الزَّوْجُ وَالْوَلِيُّ وَالزَّوْجَةُ الرَّشِيدَةُ فَالْجَمْعُ بِاعْتِبَارِهَا أَوْ بِاعْتِبَارِ مَنْ يَنْضَمُّ لِلْفَرِيقَيْنِ غَالِبًا  عَلَى مَهْرٍ سِرًّا وَأَعْلَنُوا بِزِيَادَةٍ فَالْمَذْهَبُ وُجُوبُ مَا عُقِدَ بِهِ ) أَوَّلًا إنْ تَكَرَّرَ عَقْدٌ قَلَّ أَوْ كَثُرَ اتَّحَدَتْ شُهُودُ السِّرِّ وَالْعَلَنِ أَمْ لَا لِأَنَّ الْمَهْرَ إنَّمَا يَجِبُ بِالْعَقْدِ فَلَمْ يُنْظَرْ لِغَيْرِهِ وَيُؤْخَذُ مِنْ أَنَّ الْعُقُودَ إذَا تَكَرَّرَتْ اُعْتُبِرَ الْأَوَّلُ مَعَ مَا يَأْتِي أَوَائِلَ الطَّلَاقِ] أَنَّ قَوْلَ الزَّوْجِ لِوَلِيِّ زَوْجَتِهِ زَوِّجْنِي كِنَايَةٌ بِخِلَافِ زَوجهَا فَإِنَّهُ صَرِيحٌ أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلًا لَا يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ الْأُولَى بَلْ وَلَا كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ وَلَا يُنَافِيهِ مَا يَأْتِي قُبَيْلَ الْوَلِيمَةِ] أَنَّهُ لَوْ قَالَ كَانَ الثَّانِي تَجْدِيدَ لَفْظٍ لَا عَقْدًا لَمْ يُقْبَلْ لِأَنَّ ذَاكَ فِي عَقْدَيْنِ لَيْسَ فِي ثَانِيهِمَا طَلَبُ تَجْدِيدٍ وَافَقَ عَلَيْهِ الزَّوْجُ فَكَانَ الْأَصْلُ اقْتِضَاءَ كُلِّ الْمَهْرِ وَحَكَمْنَا بِوُقُوعِ طَلْقَةٍ لِاسْتِلْزَامِ الثَّانِي لَهَا ظَاهِرًا وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَحَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْه

       “Dipahami daripada bahwa akad apabila diulangi, yang dii’tibar adalah akad yang pertama,……… dan seterusnya s/d beliau mengatakan, sesungguhnya semata-mata muwafakat suami melakukan bentuk aqad nikah yang kedua (misalnya), bukanlah merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab (pengakuan thalaq) atas  nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi dan itu dhahir … s/d beliau mengatakan, sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbaharui nikah) semata-mata keinginannya untuk memperindah atau berhati-hati” (Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj,  Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal. 391- 421, Juz VIII Hal.16).

            Namun kenyataannya, pembahasan tentang memperbarui nikah sudah terjadi sejak abad ke-8 Hijriah, sebagaimana dicatat oleh Syekh Ismail bin Utsman al-Yamani al-Makki dalam kitab Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ismail az-Zain, halaman 167. Dan yang menarik, sebagian ulama menggambarkan praktik memperbarui akad nikah sebagai sesuatu yang sederhananya selevel dengan memperbarui wudhu (aqallu amrihâ ka tajdîdil wudhû). Artinya, sebagaimana seseorang yang telah berwudhu namun mengulanginya karena ragu atau kehati-hatian sebelum ibadah, begitu juga memperbarui akad nikah, tujuannya untuk menepis keraguan, serta memastikan syarat-rukunnya terpenuhi, atau sekadar menyegarkan kembali ikatan sakral yang telah berlangsung. Oleh sebab itu, memperbarui nikah tidak berarti menjadi tanda bahwa pernikahan sebelumnya cacat atau batal. Bisa saja hal itu terjadi karena alasan personal, keraguan teknis, atau bahkan hanya karena ingin mempertegas dan meneguhkan kembali komitmen, baik di hadapan hukum maupun di hadapan hati masing-masing.

          Berhubungan dengan hukum memperbarui nikah, Syekh Ismail Zain al-Yamani al-Makki, pernah ditanya perihal hukum memperbarui akad nikah antara suami dan istri yang masih dalam ikatan pernikahan yang sah. Kemudian ia menjawab bahwa memperbarui nikah hukumnya diperbolehkan jika tujuannya adalah untuk menguatkan (ta’kid). Hanya saja, yang lebih utama adalah tidak melakukannya. Berikut teks pertanyaan dan jawabannya:

سُؤَالٌ: مَا حُكْمُ تَجْدِيْدِ النِّكَاحِ؟ اَلْجَوَابُ: أَنَّهُ إِذَا قُصِدَ بِهِ التَّأْكِيْدُ فَلاَ بَأْسَ بِهِ، لَكِنَّ الْأَوْلىَ تَرْكُهُ

     Artinya, “Pertanyaan: Apa hukum memperbarui akad nikah? Jawaban: Jika tujuannya adalah untuk penegasan, maka tidak mengapa. Namun yang lebih utama adalah meninggalkannya.” (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ismail az-Zain, [Maktabah al-Barakah, t.t], halaman 166).

          Penjelasan Syekh Ismail di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar dalam salah satu kitabnya, ia menjelaskan bahwa jika terjadi kesepakatan antara suami, wali, dan istri yang berakal/cakap (rasyidah) untuk mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, dan kemudian mengumumkan jumlah mahar yang berbeda, maka mazhab Syafi’i menetapkan bahwa mahar yang dianggap sah dan wajib adalah mahar yang pertama kali disebutkan dalam akad pertama, bukan yang disebutkan kemudian atau akad kedua dan seterusnya. Hal ini berlaku meskipun akad dilakukan ulang berkali-kali, baik dengan saksi yang sama maupun berbeda, karena yang diperhitungkan dalam fikih adalah akad yang pertama. Bahkan, Ibnu Hajar juga menegaskan bahwa apabila seorang suami mengulangi akad nikah dengan istrinya tanpa maksud menjatuhkan talak atau tanpa adanya pembatalan pernikahan sebelumnya, maka pengulangan akad itu tidak dianggap sebagai pengakuan atas putusnya ikatan pernikahan sebelumnya. Bahkan, hal itu tidak termasuk kinayah talak. Dalam kitabnya disebutkan:

 وَيُؤْخَذُ مِنْ أَنَّ الْعُقُودَ إذَا تَكَرَّرَتْ اُعْتُبِرَ الْأَوَّلُ ….. أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلًا لَا يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ الْأُولَى بَلْ وَلَا كِنَايَةَ فِيهِ

     Artinya, “Dan dapat diambil kesimpulan bahwa jika akad diulang, maka yang diperhitungkan adalah akad yang pertama… bahwa sekadar persetujuan suami terhadap bentuk akad kedua, misalnya, tidak dianggap sebagai pengakuan atas berakhirnya ikatan pernikahan yang pertama, bahkan hal itu tidak termasuk kinayah (sindiran atas putusnya ikatan tersebut).” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: Maktabah at-Tijariyah, 1983 M], jilid VII, halaman 391).

           Dengan kata lain, sekalipun terdapat akad kedua, selama tidak ada indikasi thalak atau pembatalan sebelumnya, maka akad pertama tetap yang sah dan berlaku, sementara akad kedua tidak otomatis menunjukkan bahwa akad pertama sudah batal atau terputus. Dengan demikian, praktik memperbarui akad nikah antara suami-istri yang masih sah tidak menjadi penyebab terjadinya konsekuensi hukum tertentu, tidak pula menjadi tanda bahwa akad yang pertama batal, kecuali jika memang diawali dengan kata talak atau cerai sebelumnya. Bahkan jika memperbarui akad itu tujuannya untuk penguatan, hukumnya pun juga tidak masalah, meskipun yang lebih utama adalah meninggalkannya karena tidak ada kebutuhan secara syariat. Sama halnya dengan akad nikah, tindakan kedua dalam akad nikah tidak mengganggu akad yang pertama. Oleh karena itu, akad nikah kedua tidak mempengaruhi jumlah thalak suami. Jika thalak sebelumnya belum diberlakukan, maka suami masih memiliki 3 kesempatan thalak. Namun, jika satu talak telah diberlakukan sebelumnya, maka tersisa 2 thalak, dan seterusnya.

           Menurut A. Masduki Machfudh, tajdidun nikah adalah tindakan yang diperbolehkan (jawaz) dan tidak akan merusak akad nikah yang telah terjadi sebelumnya. Ini dikarenakan pembaharuan akad hanya berfungsi sebagai upaya untuk memperindah (al-tajammul) atau berhati-hati (al-ihtiyath). Pemikiran serupa juga disampaikan oleh A. Qusyairi Ismail, yang menyatakan bahwa secara prinsip hukum, memperbarui akad nikah adalah sah, karena bertujuan untuk berhati-hati (ihtiyath) dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, atau juga bertujuan untuk memperkuat citra (tajammul) atau menjaga martabat dan kehormatan (A. Qusyairi Ismail, Tajdidun  Nikah  Dalam Informatika, 19 Maret 2007).

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan