TAJDIDUN NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM & REGULASI PERKAWINAN

TAJDIDUN NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM & REGULASI PERKAWINAN

  1. Pendapat yang Tidak Membolehkan

        Bagi mereka yang melarang atau memberikan batasan tertentu terhadap tajdidun nikah, alasan yang mereka miliki adalah karena perkawinan adalah suatu ibadah dan tentunya harus mengikuti Sunnah Nabi. Menurut  Imam Yusuf al-Ardabili dalam kitabnya Al-Anwar Li A’malil Abror, Juz II, dijelaskan bahwa tajdidun nikah dihukumi sebagai pengakuan cerai (ikrar bith thalaq) yang mengharuskan membayar mahar lagi dan mengurangi jumlah thalak yang tersisa. Dengan melakukan tajdidun nikah, perkawinan yang pertama menjadi rusak dan tajdidun nikah dianggap sebagai bentuk pengakuan (iqror). Tindakan tajdid nikah ini juga mengurangi jumlah thalak yang masih dimiliki oleh suami, dan suami diharuskan memberikan mahar kembali.َ

وَلَوْ جَدَّدَ رَجُلٌ نِكَاحَ زَوْجَتِهِ لَزِمَهُ مَهْرٌ آخَرُ ِلأَنَّهُ إِقْرَارٌ بِالْفُرْقَةِ وَيَنْتَقِصُ بِهِ الطَّلاَقُ وَيَحْتَاجُ إِلَى التَّحْلِيْلِ فِى الْمَرَّةِ الثَّالِثَةِ

     Artinya: “Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib memberi mahar (mas kawin) karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) cerai/talaq. Kalau dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallii.” (Yusuf al-Ardabili al-Syafi’i, al-Anwar li A’mal al-Anwar, Juz II, Dar al-Dhiya’, hlm.441).

         Jika tajdidun nikah dimaksudkan untuk membatalkan akad nikah yang pertama karena dianggap kurang baik atau karena khawatir telah mengucapkan thalak setelah sekian lama menikah, terdapat dua pendapat dalam kalangan ulama Syafi’iyah. Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah yang pertama dianggap batal dalam hal ini. Namun, pendapat kedua yang menganggap bahwa tajdidun nikah dengan alasan tersebut adalah pendapat yang lemah, karena hal ini dapat merusak akad nikah yang pertama.

         c. Mahar dalam Tajdidun Nikah

       Lantas, jika akad nikah benar-benar diperbarui, apakah kewajiban-kewajiban dalam akad pertama, seperti pemberian mahar, juga tetap berlaku dalam akad yang baru ini? Dalam akad pertama, suami memiliki kewajiban untuk memberikan mahar kepada istri. Namun, apakah saat akad diperbarui, suami juga tetap wajib memberikan mahar lagi?

         Para ulama berbeda pendapat perihal hukum pemberian mahar jika akad nikah benar-benar diperbarui. Setidaknya terdapat dua pendapat utama dalam hal ini, pendapat pertama menyatakan tidak wajib memberikan mahar baru dalam pembaruan akad nikah. Sebab, pembaruan akad dianggap sebagai bentuk penegasan ulang saja. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Ismail az-Zain, ketika ditanya perihal orang yang memperbarui nikah, apakah wajib atau sunnah baginya untuk memberikan mahar lagi. Berikut teks pertanyaan dan jawabannya:

 سُؤَالٌ: مَا قَوْلُكُمْ فِيْمَنْ جَدَّدَ نِكَاحَهُ، فَهَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَوْ يُسَنُّ أَنْ يُعْطِيَهَا الصَّدَاقَ مَرَّةً ثَانِيَةً لِذِكْرِهِ فِي الْعَقْدِ الْجَدِيْدِ أَوْ لاَ؟ اَلْجَوَابُ: لَايَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُجَدِّدَ صَدَاقًا، وَتَجْدِيْدُ صِيْغَةِ عَقْدِ النِّكَاحِ فَإِنَّمَا هِيَ لِلتَّأْكِيْدِ

      Artinya, “Pertanyaan: Apa pendapat Anda tentang seseorang yang memperbarui akad nikahnya, apakah wajib atau disunnahkan baginya untuk memberikan mahar sekali lagi karena disebutkan dalam akad yang baru, atau tidak? Jawaban: Tidak wajib baginya untuk memperbarui mahar, karena pembaruan lafaz akad nikah itu hanyalah bentuk penegasan semata.” (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ismail az-Zain, [Maktabah al-Barakah, t.t], halaman 164).

        Pendapat kedua menyatakan wajib menetapkan dan memberikan mahar baru saat akad diperbarui. Sebab menurutnya, pembaruan akad dianggap sebagai pengakuan terhadap adanya pemisahan atau keretakan yang sebelumnya terjadi, dan karenanya pembaruan tersebut dianggap seperti akad nikah baru yang berdiri sendiri, sehingga memerlukan mahar sebagaimana dalam akad pertama. Pendapat ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Yusuf bin Ibrahim al-Ardabili (wafat 779 H), dalam kitabnya mengatakan:

لَوْ جَدَّدَ رَجُلٌ نِكَاحَ زَوْجَتِهِ لَزِمَهُ مَهْرٌ أَخَرَ

         Artinya, “Jika seorang suami memperbarui akad nikah dengan istrinya, maka wajib baginya mahar yang lain.” (Al-Anwar li A’malil Abrar, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid II, halaman 61).

            Dengan demikian, maka memperbarui akad nikah antara suami dan istri yang masih dalam ikatan pernikahan yang sah pada dasarnya diperbolehkan, karena pembaruan itu masuk dalam kategori penegasan (ta’kid), dan tidak dianggap sebagai bentuk thalak tersirat, serta tidak menimbulkan konsekuensi hukum baru yang membatalkan akad pertama. Meski, yang lebih baik adalah tidak melakukannya, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Ismail az-Zain di atas. Adapun perihal kewajiban memberikan mahar dalam akad yang diperbarui, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama, seperti Syekh Ismail Zain, berpendapat bahwa tidak wajib memberikan mahar baru, karena pembaruan akad hanya sebagai bentuk penguatan semata. Sementara sebagian lain, seperti Imam al-Ardabili, memandang bahwa akad baru itu berarti mengulang proses pernikahan dari awal, dan karenanya mewajibkan mahar baru sebagaimana akad nikah pada umumnya.

       d. Tajdidun Nikah Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan

            Adapun secara regulasi, istilah dan prosedur pembaruan akad nikah memang tidak disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan. Tidak ada ketentuan hukum yang mengklasifikasikannya sebagai bentuk pernikahan tersendiri. Namun dalam praktiknya, KUA tetap dapat memfasilitasi akad ulang melalui mekanisme pencatatan nikah baru, khususnya jika pernikahan sebelumnya tidak tercatat secara sah, dokumennya hilang, atau terdapat keraguan terhadap keabsahannya.

Pengertian nikah dalam konteks hukum Indonesia tertera dalam Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Pasal 1, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa”, Pasal 2 ayat (1),” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, serta Pasal 2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) terdapat pada Pasal 2 mendefinisikan: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”(Abdurrahman, 1992: 114). Dalam KHI dikatakan bahwa perkawinan merupakan akad yang kuat atau mitsaqan ghalidza, dan termasuk ibadah. Ikatan pernikahan merupakan ikatan yang sakral, bukan transaksional seperti perjanjian jual-beli ataupun perjanjian yang lain, karena dalam perkawinan ada tujuan untuk bersama hingga ajal menjemput.

          Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan,faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya tajdidun nikah diatur dalam Pasal 26. Faktor-faktor tersebut meliputi:

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan