TAJDIDUN NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM & REGULASI PERKAWINAN

TAJDIDUN NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM & REGULASI PERKAWINAN

  1. Pelaksanaan perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang tidak memiliki kewenangan.
  2. Kemampuan untuk menunjukkan catatan perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang tidak memiliki kewenangan.
  3. Kehidupan bersama sebagai suami istri.

          Secara peraturan perundang-undangan baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) justru pernikahan sirri tidak diakui, maka PPN atau Penghulu berhak untuk melaksanakan tajdidun nikah dengan ber pedoman kepada Pasal 6 KHI yang menyatakan:

        1. Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan                di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak                           mempunyai kekuatan hukum.

       Maka atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut di atas, PPN dan Penghulu hampir dipastikan akan meminta kedua orang yang mendaftar kehendak nikahnya untuk melakukan akad nikah lagi dihadapannya, dan ini juga sesuai dengai kaidah fiqih : اْلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ (Hukum asal segala sesuatu adalah tetap dalam keadaannya semula). Bukankah ketika calon pengantin mendaftarkan kehendak nikahnya mereka berstatus jejaka/perawan atau duda/janda? Jadi keadaan awal mereka adalah lajang belum menikah, maka yang diyakini PPN dan Penghulu adalah keadaan semula yaitu belum menikah.

           Dalam hukum perkawinan Indonesia yang diatur dalam Pasal 2 KHI mendefinisikan: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah  Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”, maka sejalan dengan pendapat yang pertama di atas, ketika tajdidun nikah tidak membatalkan pernikahan yang pertama dan tanpa perlu mahar dalam pengulangan akad nikah pernikahan yang kedua, ini sangat sinkron dengan Pasal 2 dalam KHI diatas, karena mitsaqan ghalidza merupakan akad yang kuat, sakral, dan tidak bisa digoyahkan, sehingga akibat dari tajdidun nikah tidak bisa menggoyahkan prinsip mitsaqan ghalidza. Namun berbeda dengan pendapat yang kedua yaitu pendapatnya Imam Yusuf al-Ardabili yang menyatakan pernikahan pertama rusak dan pernikahan yang kedua haruslah dengan mahar, pendapat ini bertentangan dengan prinsip pernikahan di Indonesia, yang menyatakan tajdidun nikah membatalkan nikah yang kedua padahal dalam hukum Indonesia menggunakan prinsip mitsaqan ghalidza (akad yang kuat) tak bisa rusak karena perbuatan nikah yang diulang.

       e. Tajdidun Nikah Dalam Perspektif Maqashid al-Syar’iyah

         Maqashid syari’ah adalah tujuan Allah SWT dalam menetapkan hukum-hukum-Nya, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan. Hukum-hukum dalam syariat Islam memiliki dasar yang berlandaskan pada maslahah, yang merujuk pada kemanfaatan dan kepentingan manusia sebagai hamba Allah, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Syariat Islam mengusung prinsip-prinsip utama seperti kasih sayang (rahmah), keadilan (‘adalah), dan kemaslahatan (maslahah). Para ulama menyepakatinya karena pada dasarnya semua ketentuan dalam syari’ah adalah bertujuan demi terciptanya maslahah atau kemanfaatan, kebaikan, dan kedamaian umat manusia dalam segala urusannya, baik urusan di dunia maupun urusan akhirat.

         Hukum-hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai bagian integral dari syariat Islam, meskipun kadang-kadang argumentasi rasional digunakan untuk mendukung statusnya sebagai bagian dari ajaran Islam (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 2004: 5).  Dalam perkembangannya, penerapan hukum-hukum dalam syariat Islam didorong oleh prinsip maslahah. Maslahah, atau kemanfaatan, tidak bisa dipisahkan dari ajaran syariat Islam. Kehadiran maslahah dan syariat merupakan dua aspek yang saling terkait, di mana maslahah menuntut penerapan prinsip syariat. Berbagai studi dan analisis terhadap teks al-Qur’an dan hadis menyimpulkan bahwa penetapan hukum syariat memiliki hikmah dan illah (rasio hukum) yang mengarah kepada terwujudnya maslahah (Tahir ibn Asyur, 2006:12). Bahkan, hukum-hukum yang dimaksud bukan hanya hukum dalam bidang muamalat umum saja, tetapi juga mencakup ibadah mahdah.

          Syaikh Imam Muhammad Izzuddin bin Abdus Salam dengan tegas menunjukkan bahwa prinsip utama dalam syariat Islam adalah untuk menghindari kerusakan dan mengutamakan kemaslahatan (Muchlis Usman, 1999: 24). Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam, dimana hukum Islam lebih mementingkan untuk menghindari kemudaratan daripada mendatangkan kemaslahatan. Seperti yang menjadi dasar kaidah asasiyah yaitu:  ” دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan/kebaikan ). Dalam hal ini, prinsip umum juga berlaku, yakni tindakan tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai Islam yang telah diajarkan. Dengan demikian, jika tajdidun nikah dijalankan dengan mematuhi ajaran agama dan prinsip-prinsip maslahah serta menghindari dampak negatif, maka hal tersebut menjadi suatu alternatif yang sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam berinteraksi sosial: الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ “Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)” (Abdul Rahman bin Abi Bakar as-Suyuthi, 2008: 44).

        Jadi pada prinsip dasarnya dalam muamalah, penekanannya lebih pada pembolehan hingga ada kemungkinan “larangan” (dalil yang membolehkan atau melarang), yang dapat mengubah status hukum suatu tindakan. Demikian juga, dalam menentukan hukum pelaksanaan tajdidun nikah, perlu memperhatikan maksud dan tujuan di baliknya, karena penilaian terhadap setiap tindakan dipengaruhi oleh niat awal yang mendorong pelakunya. Kaidah ini mengindikasikan bahwa segala perbuatan manusia, baik dalam bentuk perkataan maupun tindakan, dinilai berdasarkan niat pelakunya. Untuk memahami niat sejauh ini, penting untuk memperhatikan petunjuk-petunjuk yang dapat mengungkap berbagai macam niat pelaku: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”. (HR. Ibnu Majah), ( Imam Musbikin, 2001: 42).

C. PENUTUP

          Permasalahan selalu berkembang seiring perkembangan zaman, begitu pula dalam hukum islam. Permasalahan yang baru, dan perlu pula telaah kembali yang lebih mendalam untuk mendapatkan solusi hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak melanggar syari’at. Apalagi permasalahan tersebut berdampak pada pengamalan agama Islam dikalangan generasi yang akan datang. Salah satu persoalan yang sering muncul dan terjadi di tengah masyarakat dalam hal pernikahan adalah Tajdidun nikah. Tajdidun nikah atau mengulang pernikahan yang sangat sering terjadi di Masyarakat dilakukan oleh suami istri dengan berbagai alasan. Dan alasan yang sering dalam Tajdidun nikah yaitu ketika sudah melakukan pernikahan secara sirri  kemudian melakukan pernikahan lagi untuk mendapat kelegalan hukum di Indonesia.

Mengenai hukum Tajdidun nikah terjadi perbedaan pendapat diantara sebagian ulama. Pendapat pertama menyatakan Tajdidun nikah tidak membatalkan pernikahan yang pertama sehingga dalam akad yang kedua tidak diwajibkan memberikan mahar, ini dikemukakan oleh Jumhur atau mayoritas ulama, diantaranya Sebagian ulama kalangan Syafi’iyah diantaranya Imam Ibnu Munir, Imam Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (Kitab Fathul Bari, Juz II : 175), Imam Ibnu Hajar al-Haitami (Kitab Tuhfat al-Muhtaj bisyarkhil minhaj, hlm. 391), Imam Zakariya al-Anshari, (Kitab Fath al-Wahab, Juz. III: 413), Imam Jalaluddin al-Mahalli (Kitab Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, Juz. III, Hal. 281), dan Syekh Ismail bin Utsman al-Yamani al-Makki (Kitab Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ismail az-Zain, hlm. 166-167). Menurut mayoritas atau jumhur ulama ini Tajdidun nikah adalah tindakan yang diperbolehkan (jawaz) dan secara prinsip hukum, memperbarui akad nikah adalah sah dan tidak akan merusak akad nikah yang telah terjadi sebelumnya. Ini dikarenakan pembaharuan akad hanya berfungsi dan bertujuan sebagai upaya untuk memperindah/memperkuat citra (al-tajammul), penegasan (ta’kid) atau berhati-hati (al-ihtiyath). dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, atau menjaga martabat dan kehormatan.

          Pendapat yang kedua, menyatakan Tajdidun nikah dapat membatalkan pernikahan yang pertama sehingga dalam akad yang kedua diwajibkan memberikan mahar, ini di kemukakan oleh seorang ulama dari kalangan Syafi’iyah juga yang bernama Imam Yusuf al-Ardabili dalam kitabnya Al-Anwar Li A’malil Abror Juz II, hlm.441. Menurutnya, dengan melakukan Tajdidun nikah, perkawinan yang pertama menjadi rusak dan Tajdidun nikah dianggap sebagai bentuk pengakuan cerai (iqror bith thalaq). Tindakan Tajdid nikah ini juga mengurangi jumlah thalak yang masih dimiliki oleh suami, dan suami diharuskan memberikan mahar kembali.َ

         Prinsip utama dan tujuan Allah SWT dalam menetapkan hukum-hukum-Nya dalam syariat Islam (maqashid al-syari’ah) adalah untuk menghindari kerusakan dan mengutamakan kemaslahatan, seperti yang menjadi dasar kaidah asasiyah yaitu:  ” دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan/kebaikan ). Dengan demikian, dalam kasus Tajdidun nikah jika dijalankan dengan mematuhi ajaran agama dan prinsip-prinsip maslahah serta menghindari dampak negatif, maka hal tersebut menjadi suatu alternatif yang sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam berinteraksi sosial: الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ “Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)”.

            Secara peraturan perundang-undangan baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), pernikahan sirri tidak diakui. Pasal 6 KHI yang menyatakan: “Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah“.

          Pengertian nikah dalam konteks hukum Indonesia tertera dalam Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Pasal 1, “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa”, Pasal 2 ayat (1),” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, serta Pasal 2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam.

          Secara regulasi, istilah dan prosedur pembaruan akad nikah atau Tajdidun nikah memang tidak disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KHI maupun Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan. Tidak ada ketentuan hukum yang mengklasifikasikannya sebagai bentuk pernikahan tersendiri. Namun dalam praktiknya, KUA dapat memfasilitasi akad nikah ulang melalui mekanisme pencatatan nikah baru sesuai persyaratan-persyaratan pencatatan nikah yang berlaku dan sebagai dasar hukumnya mengambil pendapat jumhur ulama yang membolehkan Tajdidun nikah, atau dengan memerintahkannya untuk melakukan penetapan nikah (itsbat nikah) dari Pengadilan Agama. Dengan demikian, jika Tajdidun nikah dijalankan dengan mematuhi regulasi yang ada,  ajaran agama dan prinsip-prinsip maslahah serta menghindari dampak negatif, terutama bagi PPN atau penghulu akan terhindar dari permasalahan hukum ke depannya. Wallahu ‘Alamu Bisshawab.

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan