“Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan”.[16]
Lebih rinci penetapan Wali Hakim diatur dalam Bab II pasal 2, ayat 1 PMA 30 tahun 2005 tentang penetapan wali hakim. Aturan tersebut berbunyi sebagai berikut:
- Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/ di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim, [17]
Sejalan dengan rincian dalam pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005 di atas, dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (2) berbunyi :
- Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali, jika:
- wali nasab tidak ada;
- walinya adhal;
- walinya tidak diketahui keberadaannya;
- walinya tidak dapat dihadirkan/ditemui karena dipenjara;
- wali nasab tidak ada yang beragama Islam;
- walinya dalam keadaan berihram; dan
- wali yang menikahi wanita tersebut. [18]
Dari pasal 23 KHI dan pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005 serta pasal 13 ayat 3 PMA 20 tahun 2019, dapat dipahami bahwa Beralihnya hak perwalian nasab kepada perwalian hakim ditentukan apabila adanya alasan alasan, sebagai berikut :
- Wali Nasab Tidak Ada
Dalam keadaan wali nasab tidak ada mempunyai dua makna, pertama, wali nasabnya sudah tidak ada dalam arti semua wali nasabnya dari yang disebutkan dalam KHI pasal 21, atau pasal 12 ayat (3) PMA 20 tahun 2019 sudah meninggal semua. Jika salah satu dari wali nasab yang tersebut dalam pasal 21 KHI dan PMA tahun 2019 pasal 3 ayat (3) diatas masih ada yang hidup maka wali hakim belum berhak sebagai wali nikah.
Kedua wali nasabnya tidak ada. Maksudnya pengantin perempuan tersebut adalah anak hasil di luar nikah atau anak tidak sah, yang secara hukum tidak mempunyai wali. Menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam KHI pasal 100 termaktub:
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”[19]
KHI dalam hal ini lebih menegaskan bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka anak tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, sebab barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, wali nikahnya adalah wali hakim.
- Wali Nasabnya Enggal atau Adhal
Enggan atau Adhal artinya menolak. Dalam hal wali nasabnya menolak sebagai wali nikah dikarenakan tidak setuju kepada calon menantunya, atau alasan lain sehingga wali hakimlah yang menjadi wali nikahnya. Dalam kasus wali adhal ini ditegaskan dalam KHI pasal 23 ayat (2) dengan bunyi :
“ (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut “. [20]
Dipertegas petunjuk teknisnya oleh PMA 30 tahun 2005 tentang wali hakim dalam pasal 2 ayat (2)
“Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan pengadilan agama / mahkamah syariah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita”. [21]