Menu

Mode Gelap

Tanya Jawab Fikih · 18 Okt 2025 00:07 WIB ·

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (XV)

Penulis: UMI FIRMANSYAH


 99 Tanya Jawab Seputar Shalat (XV) Perbesar

Pertanyaan 72: Berapakah jarak musafir boleh shalat Jama’/Qashar?

Jawaban:

Diukur dengan ukuran sekarang lebih kurang 89km, detailnya: 88.708m. Tetap shalat Qashar meskipun dapat ditempuh dalam satu jam perjalanan, seperti musafir menggunakan pesawat, mobil dan sejenisnya81.

 

 

81 Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: 2/477.

Pertanyaan 73: Berapa hari boleh Qashar/Jama’?

Jawaban:

Mazhab Hanafi:

Tetap boleh shalat Qashar hingga menjadi mukim, tidak boleh qashar shalat jika berniat mukim di suatu negeri selama 15 hari lebih. Jika berniat mukim selama itu, maka mesti shalat normal. Jika berniat kurang daripada itu, maka shalat qashar.

Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’i:

Jika orang yang musafir itu berniat menetap empat hari, maka ia shalat secara normal, karena Allah membolehkan shalat Qashar dengan syarat perjalanan. Orang yang mukim dan berniat mukim tidak dianggap melakukan perjalanan

Mazhab Maliki mengukur kadar mukim tersebut dengan 20 shalat. Jika kurang dari itu, boleh shalat Qashar.

Mazhab Maliki dan Syafi’I tidak menghitung hari masuk dan hari keluar, menurut pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’I, karena yang pertama adalah hari meletakkan barang-barang dan yang kedua adalah hari keberangkatan, kedua hari tersebut hari kesibukan dalam perjalanan.

Mazhab Hanbali: 

Jika orang yang musafir itu berniat mukim lebih dari empat hari atau lebih dari 20 shalat, maka ia shalat secara normal.

Perjalanan Tidak Pasti:

Jika menunggu urusan yang tidak pasti kapan selesai, ditunggu di setiap waktu, atau berharap selesai, atau jihad memerangi musuh, atau melakukan perjalanan hari demi hari tanpa diketahui berakhirnya, boleh shalat Qashar menurut Mazhab Maliki dan Hanbali, meskipun berlangsung lama, selama tidak berniat mukim, sebagaimana ditetapkan mazhab Hanafi. Menurut Mazhab Syafi’i: orang tersebut boleh shalat Qashar selama 18 hari, tidak termasuk hari masuk dan hari keluar, karena Rasulullah Saw berada di Mekah pada peristiwa Fathu Makkah karena peperangan Hawazin beliau tetap shalat Qashar82.

 

 

82 Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: 2/481-483.

Pertanyaan 74: Bagaimanakah cara shalat khusyu’?

Jawaban:

Inti dari shalat adalah zikir mengingat Allah Swt, sebagaimana firman Allah Swt.

“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”. (Qs. Thaha *20+: 14).

Oleh sebab itu Allah Swt mengecam orang yang shalat tetapi tidak mengingat Allah:

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. (Qs. al-Ma’un *107+: 4-5).

Zikir mengingat Allah Swt dalam shalat tidak dibangun sejak Takbiratul-Ihram, akan tetapi jauh sebelum itu. Rasulullah Saw sudah mengajarkan kekhusyu’an hati sejak berwudhu’. Dalam hadits disebutkan:

“Siapa yang berwudhu’, ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung, maka keluar dosanya dari mulut dan hidungnya. Apabila ia membasuh wajahnya maka keluar dosanya dari wajahnya hingga keluar dari kelopak matanya. Apabila ia membasuh kedua tangannya maka keluar dosanya dari kedua tangannya. Apabila ia mengusap kepalanya maka keluar dosanya dari kepalanya hingga keluar dari kedua telinganya. Apabila ia membasuh kedua kakinya maka keluar dosanya dari kedua kakinya hingga keluar dari bawah kuku kakinya. Shalatnya dan langkahnya ke masjid dihitung sebagai amal tambahan”. (HR. Ibnu Majah).

Wudhu’ bukan sekedar kebersihan fisik, tapi juga telah mengajak hati untuk khusyu’ kepada Allah Swt dan meninggalkan semua keduniawian yang dapat melalaikan hati dari Allah Swt, meskipun hal kecil, oleh sebab itu Rasulullah Saw melarang menjalinkan jari-jemari dan membunyikannya setelah berwudhu’ menjelang shalat:

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Apabila salah seorang kamu berwudhu’, ia berwudhu’ dengan baik, kemudian ia pergi ke masjid, maka janganlah ia menjalinkan jari jemarinya, karena sesungguhnya ia berada dalam shalat”. (HR. at-Tirmidzi).

Menunggu dan menantikan kehadiran shalat dengan persiapan hati untuk memasukinya. Rasulullah Saw bersabda:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Maukah kamu aku tunjukkan perbuatan yang dapat menghapuskan dosa-dosa dan mengangkat derajat?”. Para shahabat menjawab: “Ya wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ pada saat tidak menyenangkan, memperbanyak langkah kaki ke masjid, menunggu shalat setelah shalat. Itulah ikatan (dalam kebaikan)”. (HR. Muslim).

Menjawab seruan azan. Rasulullah Saw bersabda:

Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila mu’adzin mengucapkan ‘Allahu akbar’ (Allah Maha Besar).

Salah seorang kamu menjawab dengan:‘Allahu akbar’ (Allah Maha Besar).

Kemudian mu’adzin mengucapkan: ‘Asyhaduallaa ilaaha illallah’ (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah). Ia menjawab dengan: ‘Asyhaduallaa ilaaha illallah’ (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah).

Mu’adzin mengucapkan: ‘Asyhaduanna muhammadarrasuulullah’ (aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Ia menjawab dengan: ‘Asyhaduanna muhammadarrasuulullah’ (aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).

Mu’adzin mengucapkan: ‘Hayya’alasshalaah’ (Marilah melaksanakan shalat). Ia menjawab dengan: ‘laa haula wa laa quwwata illaa billaah’ (tiada daya dan upaya selain dengan Allah).

Mu’adzin mengucapkan: ‘Hayya’alal falaah’ (Marilah menuju kemenangan). Ia menjawab dengan: ‘laa haula wa laa quwwata illaa billaah’ (tiada daya dan upaya selain dengan Allah).

Mu’adzin mengucapkan:‘Allahu akbar’ (Allah Maha Besar). Ia menjawab dengan: ‘Allahu akbar’ (Allah Maha Besar).

Mu’adzin mengucapkan: ‘laa ilaaha illallaah’ (tiada tuhan selain Allah). Ia menjawab: : ‘laa ilaaha illallaah’ (tiada tuhan selain Allah), dari hatinya, maka ia masuk surga”. (HR. Muslim).

Menjawab ucapan mu’adzin dari hati membimbing hati ke dalam kekhusyu’an shalat.

Menutup dengan doa wasilah. Rasulullah Saw bersabda:

Siapa yang ketika mendengar seruan azan mengucapkan:

“Ya Allah Rabb Pemilik seruan yang sempurna dan shalat yang didirikan, berikanlah kepada nabi Muhammad Saw al-Wasilah dan keutamaan, bangkitkanlah ia di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan”.

Maka layaklah ia mendapat syafaatku pada hari kiamat”. (HR. al-Bukhari.

Memahami makna lafaz yang dibaca dalam shalat. Pemahaman tersebut mendatangkan kekhusyu’an di dalam hati. Ketika seorang muslim yang sedang shalat membaca:

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam”. Ia fahami maknanya, maka akan mendatangkan kekhusyu’an yang mendalam, bahkan dapat meneteskan air mata karena penyerahan diri yang seutuhnya kepada Allah Swt.

Merasakan dialog dengan Allah Swt. Ketika sedang membaca al-Fatihah, seorang hamba sedang berdialog dengan Tuhannya. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan:

Allah berfirman: “Aku membagi shalat itu antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, bagi hamba-Ku apa yang ia mohonkan.

Ketika hamba-Ku itu mengucapkan: ‘Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin’ (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam). Allah menjawab: ‘hamidanii ‘abdii’ (hamba-Ku memuji Aku).

Ketika orang yang shalat itu mengucapkan: ‘Arrahmaanirrahiim’ (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Allah menjawab: ‘Atnaa’alayya ‘abdii’ (hamba-Ku menghormati Aku).

Ketika orang yang shalat itu mengucapkan: ‘Maalikiyaumiddiin’ (Raja di hari pembalasan). Allah menjawab: ‘majjadanii ‘abdii’ (hamba-Ku mengagungkan Aku). Dan ‘fawaddho ilayya ‘abdii’ (hamba-Ku melimpahkan (perkaranya) kepada-Ku).

Ketika orang yang shalat itu mengucapkan: ‘iyyaakana’ buduwa iyyaa kanasta’iin’ (kepada Engkau kami menyembah dan kepada Engkau kami meminta tolong). Allah menjawab: ‘hadaa baenii wabaenaa ‘abdii wali’abdii maasa-ala’ (ini antara Aku dan hamba-Ku, ia mendapatkan apa yang ia mohonkan).

Ketika orang yang shalat itu mengucapkan: ‘ihdinasshiraatal mustaqiim, siraatalladziina’an’amta’alaihim ghairil magduu bi’alaihim waladhdhaalliin’ (tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan yang telah Engkau berikan kepada mereka, bukan jalan orang yang engkau murkai dan bukan pula jalan orang yang sesat). Allah menjawab: ‘hadaali’abdii maa sa-ala’ (ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku itu mendapatkan apa yang ia mohonkan). (HR. Muslim).

Merasakan seolah-olah itulah shalat terakhir yang dilaksanakan menjelang kematian tiba sehingga tidak ada kesempatan untuk beramal shaleh sebagai bekal menghadap Allah Swt.

Pertanyaan 75: Apakah fungsi shalat?

Jawaban:

Allah Swt berfirman:

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia”. (Qs. Al ‘Imran *3+: 112). Hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia terjalin ketika seorang hamba sedang melaksanakan shalat.

Dalam shalat seorang hamba merasakan kedekatan dengan Allah Swt, ia mengadukan semua keluh kesah hidupnya, ia hadapkan semua persoalan hidupnya kepada Dia Yang Maha Besar Pencipta langit dan bumi, sehingga semua terasa kecil di hadapan-Nya:

“Aku hadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan langit dan bumi”. Shalat mendatangkan ketenangan hati. Karena menyerahkan hati kepada pemiliknya:

“Sesungguhnya semua hati anak Adam (manusia) berada diantara jari-jemari Allah Yang Maha Pengasih seperti satu hati, Ia mengarahkannya sesuai kehendak-Nya”. (HR. Muslim).

Shalat juga mendatangkan kesehatan fisik, jika dilaksanakan dengan gerakan yang benar dan dengan thuma’ninah yang sempurna.

Shalat membentuk kepribadian muslim yang bebas dari penyakit hati, diantaranya kesombongan. Dalam shalat seorang muslim dilatih melepaskan dirinya dari sifat angkuh dan sombong, betapa tidak, ia berada dalam satu shaf dengan siapa saja, tidak melihat derajat dan status sosial. Ia menempelkan tempat yang paling tinggi dan mulia pada tubuhnya, ia tempelkan ke tempat yang paling rendah, ia menempelkan dahinya ke lantai. Ia sedang menyelamatkan dirinya dari sifat sombong yang dapat menghalanginya menuju surga Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:

“Tidak akan masuk surga, seseorang yang di dalam hatinya ada sombong sebesar biji sawi”. (HR. Muslim).

Tidak hanya yang batin saja, akan tetapi zahir dan batin, shalat yang diterima Allah Swt mampu mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar. Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar”. (Qs. al-‘Ankabut [29]: 45).

Pertanyaan 76: Apakah shalat yang tertinggal wajib diganti?

Jawaban:

Ya, wajib. Dalil:

Imam Muslim menulis satu bab khusus dalam Shahih Muslim:

Bab: Qadha’ (mengganti) shalat yang tertinggal dan anjuran menyegerakan shalat Qadha’.

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang terlupa shalat, maka ia wajib melaksanakannya ketika ia ingat. Tidak ada yang dapat menebus shalat kecuali shalat itu sendiri”. (HR. Muslim).

Dari Jabir bin Abdillah, sesungguhnya Umar bin al-Khaththab datang pada perang Khandaq, ia datang setelah matahari tenggelam. Umar mencaci maki orang-orang kafir Quraisy seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku hampir tidak shalat ‘Ashar hingga matahari hampir tenggelam”. Rasulullah Saw berkata: “Demi Allah saya pun tidak melaksanakannya”. Lalu kami pergi menuju lembah Buth-han, Rasulullah Saw berwudhu’, kemudian kami pun berwudhu’. Rasulullah Saw melaksanakan shalat ‘Ashar setelah tenggelam matahari. Kemudian setelah itu beliau melaksanakan shalat Maghrib”. (HR. al-Bukhari).

Pendapat Imam an-Nawawi:

Para ulama terkemuka telah Ijma’ bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, maka ia wajib meng-qadha’nya. Abu Muhammad Ali bin Hazm bertentangan dengan Ijma’ ulama, ia berkata: “Orang yang meninggalkan shalat itu tidak akan mampu meng-qadha’nya, perbuatannya itu tidak sah. Ia cukup dengan memperbanyak berbuat baik dan shalat sunnat untuk memberatkan timbangan amalnya pada hari kiamat serta memohon ampun kepada Allah Swt bertaubat kepada-Nya. Pendapat Ibnu Hazm ini bertentangan dengan Ijma’ ulama, pendapat ini batil bila dilihat dari dalilnya. Ibnu Hazm membahas dengan mengemukan dalil-dalil, akan tetapi dalil-dalil yang ia sebutkan itu tidak mengandung dalil secara mendasar dalam masalah ini.

Diantara dalil yang mewajibkan Qadha’ adalah hadits Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw memerintahkan orang yang melakukan hubungan intim di siang Ramadhan agar melaksanakan puasa dengan membayar kafarat. Artinya, ia mengganti hari puasa yang telah ia rusak secara sengaja dengan hubungan intim tersebut. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan Sanad Jayyid. Abu Daud juga meriwayatkan yang sama dengan itu. Jika orang yang meninggalkan karena lupa tetap wajib mengqadha’, maka orang yang meninggalkan secara sengaja lebih utama untuk mengqadha’83.

Pendapat Imam Ibnu Taimiah:

Menyegerakan diri melaksanakan qadha’ shalat yang banyak tertinggal lebih utama daripada menyibukkan diri dengan shalat-shalat sunnat. Adapun shalat wajib yang tertinggal sedikit, maka melaksanakan qadha’ bersama shalat sunnat, itu baik. Karena Rasulullah Saw ketika beliau tertidur bersama para shahabat sehingga tertinggal shalat Shubuh pada tahun perang Hunain, beliau melaksanakan shalat Qadha’ yang sunnat dan yang wajib. Ketika tertinggal shalat wajib pada perang Khandaq, beliau meng-qadha’ yang wajib saja tanpa shalat sunnat. Shalat-shalat wajib yang tertinggal diqadha’ di semua waktu, karena Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang mendapatkan satu rakaat shalat Shubuh sebelum terbit matahari, maka hendaklah ia menambahkan satu rakaat lagi”. Wallahu a’lam84.

Kita wajib memperhatikan shalat-shalat kita, karena yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat, Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat dari amalnya adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka ia menang dan berhasil. Jika shalatnya rusak, maka ia telah sia-sia dan rugi. Jika ada kekurangan pada shalatnya, Allah berfirman: “Perhatikanlah, apakah hamba-Ku itu melaksanakan shalat-shalat sunnat, maka disempurnakan kekurangan itu”. Demikianlah seluruh amalnya”. (HR. at-Tirmidzi).

 

 

83 Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab: 3/71.
84 Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah: 5/105.

Pertanyaan 77: Apakah hukum orang yang meninggalkan shalat secara sadar dan sengaja?

Jawaban:

Dosa besar yang kedua puluh adalah meninggalkan shalat secara sengaja.

Pensyariat Yang Maha Bijaksana telah memerintahkan orang-orang yang beriman agar menegakkan shalat, menunaikannya, menjaganya dan memperhatikannya. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (Qs. an-Nisa’ [4]: 103). Dan firman-Nya: “Orang-orang yang mendirikan shalat”.

Sunnah juga demikian, diriwayatkan dari Rasulullah Saw: “Empat perkara yang diwajibkan Allah dalam Islam, siapa yang melaksanakan tiga, maka itu tidak mencukupi baginya hingga ia melaksanakan semuanya; shalat, zakat, puasa Ramadhan dan haji ke baitullah”. (HR. Ahmad). Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang meninggalkan shalat secara sengaja, maka Allah menggugurkan amalnya, perlindungan Allah dijauhkan darinya (ia kafir), hingga ia kembali kepada Allah dengan bertaubat”. (HR. al-Ashfahani). Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Siapa yang meninggalkan shalat, maka kafirlah ia”. Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Siapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya”. Dari jabir bin Abdillah, ia berkata: “Siapa yang tidak shalat, maka ia kafir”.

Hadits shahih dari Rasulullah Saw: “Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat itu kafir”. Demikian juga pendapat para ulama dari sejak masa Rasulullah Saw bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa udzur hingga waktunya berakhir, maka kafirlah ia, karena Allah Swt mengancam orang yang meninggalkan shalat. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw: “Antara seseorang dan kekafiran adalah meninggalkan shalat”85.

 

 

85 Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah: 5/233.

(Disalin dari buku 99 Tanya Jawab Seputar Shalat, penulis H.Abdul Somad,Lc,MA, Penerbit Tapaqquh Media Pekanbaru-Riau, cet. ke V, Agustus 2017).

Next Post Isbal
1 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 18 kali

Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Memahami Ayat Dan Hadits Mutasyabihat

4 November 2025 - 22:42 WIB

Syi’ah

4 November 2025 - 00:02 WIB

Tawassul

30 Oktober 2025 - 15:53 WIB

Ikhtilaf dan Madzhab

27 Oktober 2025 - 15:26 WIB

Kesaksian Untuk Jenazah

23 Oktober 2025 - 14:03 WIB

Bid’ah

21 Oktober 2025 - 13:51 WIB

Trending di Tanya Jawab Fikih
1
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x