Buku kiriman dari Direktur Penerbit Pustaka Alvabet itu, saya terima dengan suka cita. Lumayan tebal. 397 halaman. Berjudul “Jejak Awal Khilafah Utsmani”.
Penulisnya seorang jurnalis dari akhir abad ke-20. Herbert Adams Gibbons. Jurnalis asal Amerika ini memang terkenal banyak menulis tentang politik Internasional dan kolonialisme Eropa.
Gibbons agaknya bukan sekedar jurnalis biasa. Gelar M.A. dan Ph.D. dari Princeton University dan jabatan Profesor Sejarah serta Politik Ekonomi di Robert College Istambul Turki, menunjukkan seberapa hebat kapasitasnya. Profesi dan latar belakang pendidikannya ini seperti memberi jaminan bagi otentisitas dan kualitas karya historis yang ditulisnya di tahun 1916 itu. Buku ini ditulis merujuk pada pengalaman pribadi Gibbons selama masa tugas empat tahun di Konstantinopel. Ibu Kota Kekaisaran Turki Usmani.
Agaknya Gibbonn menulis buku ini tepat ketika Turki Usman sedang mengalami masa-masa kemundurannya. Turki Utsmani merupakan imperium Islam terakhir yang pernah berkuasa sebagai adidaya selama 625 tahun. Terhitung sejak didirikan pertama kali oleh Usman Bey di tahun 1299 Masehi. Hingga pembubarannya oleh Mustafa Kemal Attaturk di tahun 1922 Masehi.
Puncak kejayaan Turki Usmani terjadi pada abad 16 dan 17. Di masa ini Turki Usmani praktis memilik kekuatan militer tak tertandingi. Wilayah kekuasaannya begitu luas. Mencakup hampir sepertiga luas dunia dengan 4 benua. Meliputi seluruh semenanjung Arab, Asia Selatan, juga Afrika dan sebagian benua Eropa.
Buku ini aslinya berbahasa Inggris. Berjudul “The Foundation of the Ottoman Empire”. Sesuai judulnya, buku ini memaparkan secara hampir detail asal-usul genealogis Turki Usmani. Para peletak dasar kekaisaran Turki Usmani dikulik Gibbons secara runut di dalam empat bagian buku tersebut. Mulai dari Usman. Sang pendiri. Hingga 3 penerusnya. Orkhan, Murad, dan Bayezid.
Namun ketika menerima buku itu, bukanlah hal tersebut yang pertama kali menarik perhatian saya. Melainkan penggunaan kata “Khilafah” pada bagian judulnya.
Kata “Khilafah” itu tentu merupakan terjemahan dari kata “Empire” pada judul versi bahasa Inggrisnya.
Kata “Khilafah” pada judul itu sungguh menarik. Secara leksikal kata khilafah bukanlah terjemahan langsung dari “Empire”. Di dalam bahasa Indonesia, setidaknya terdapat dua kata yang menjadi terjemahan langsung untuk “Empire”. Kekaisaran atau kerajaan. Kedua kata ini selaras dengan defenisi “Empire” itu an sich.
Oxford Dictionary of English misalnya mendefenisikan “Empire” sebagai sekumpulan besar negara yang dikuasai atau berada di bawah kekuasaan sebuah monarki, oligarki, atau bentuk kekuasaan berdaulat lainnya dengan otoritas tunggal yang sentralistik. Defenisi ini persis sama dengan sistim kekuasaan Turki Utsmani. Dus, Turki Usmani per defenisi tepatnya merupakan sebuah imperium. Sebuah kekaisaran. Bukan khilafah.
Kata khilafah berasal dari kata Arab “khalafa”. Artinya wakil, pengganti, pemerintah, atau penguasa. Dari kata kerja bentuk lampau (fiil madhi) khalafa inilah istilah khalifah dan khilafah berakar.
Khalifah secara simplistis berarti pemimpin suatu pemerintahan. Bila demikian, setiap pemimpin pemerintahan termasuk dalam lingkup pengertian khalifah. Apapun sebutannya. Seorang khalifah bisa disebut sebagai Presiden, Perdana Menteri atau bahkan Kaisar dan Raja.
Bila khalifah bermakna pemimpin pemerintahan, maka khilafah merujuk pada sebuah sistim atau bentuk pemerintahan. Artinya, apapun bentuk dan sistim sebuah pemerintahan, dapat disebut sebagai khilafah.
Berbentuk republik ataupun monarki. Bersistim presidensil atau parlementer. Semuanya secara jenerik termasuk dalam pengertian khilafah. Begitulah sejatinya makna kata “khilafah”. Sesederhana itu.
Makna khilafah yang sederhana itu kemudian menjadi sedemikian kompleks. Menimbulkan kontroversi tak berujung. Itu terjadi, setelah istilah ini mengalami proses ideologisasi dan diberi atribut teologis. Persis seperti yang pernah diusung oleh HTI.
Garis ideologis HTI bersumber dari pemikiran Taqiyuddin Annabhani. Tokoh utama pendiri Hizbut Tahrir Internasional kelahiran Palestina tahun 1909.
Khilafah yang dimaksudkan oleh Annabhani berupa satu kepemimpinan universal bagi umat Islam di seluruh dunia. Tugas utamanya menegakkan syariat dan menebarkan dakwah Islam di seluruh permukaan bumi.
Demikianlah, kata khilafah yang semula bermakna umum mengalami ideologisasi. Kata yang merujuk pada semua bentuk pemerintahan itu, terdistorsi hanya merujuk pada satu bentuk pemerintahan dengan atribusi teologis.
Inilah yang saya sebut sebagai dramatisasi terhadap istilah khilafah. Disebut demikian, karena gagasan khilafah itu sesungguhnya memiliki setidaknya dua problem substansial. Pertama, problem historis. Kedua, problem teologis.
Secara historis, gagasan khilafah Nabhani itu, tidak memiliki preseden historis dalam sejarah panjang peradaban Islam. Sejak dari era paska hijrah di Madinah hingga sesudah runtuhnya kekuasaan Turki Usmani.
Gagasan khilafah itu sesungguhnya lebih bersifat teoritik normatif doktriner ketimbang sosiologis empirik. Kenyataannya, memang tak ada satu pun pemerintahan dari sepanjang sejarah peradaban Islam pernah diselenggarakan dengan sistim khilafah seperti itu. Tidak di masa Rasulullah. Tidak pula di masa khulafaurrasyidin. Apalagi di masa imperium Islam sesudahnya. Entah itu Dinasti Umayyah dan Abbasiah. Pun Dinasti Usmaniyah.
Bukannya khilafah, Ketiganya malah menghidupkan kembali sistim tribalisme (kebanian). Sistim pemerintahan yang berakar kuat dari tradisi jahiliyah sebelum Islam. Sistim yang justru sejak mula hendak dihapus oleh Rasulullah.
Pendeknya, gagasan khilafah yang hendak diperjuangkan oleh sekelompok orang sebagai jihad suci itu, sejatinya tak lebih kecuali suatu idealisasi dan klaim normatif doktrinal. Bukan sesuatu yang benar-benar pernah ada di dalam sejarah.
Begitu pula secara teologis. Tak ada satupun ayat Alquran, tidak pula hadis sahih yang secara eksplisit mendukung gagasan ini. Dalil-dalil qurani dan sunnah nabawi yang kerap dikutip para pengusungnya, secara hermeneutis sangat interpretable. Tak satupun argumen teologis itu, yang berbicara secara rinci tentang teknis bernegara. Apalagi sampai sedemikian jauh menguraikan tentang sistim dan ideologi negara yang harus dibentuk oleh umat Islam. Bilapun ada, itu tak lebih berupa prinsip-prinsip umum bernegara yang masih membutuhkan interpretasi kontekstual.
Dengan demikian, pemaknaan kata khilafah secara ideologis sebagai sistim bernegara model Annabhani yang diikuti oleh HTI itu, tak lebih dari sebuah dramatisasi semantik terhadap istilah khilafah. Gagasan negara khilafah dengan demikian, hanyalah pula merupakan angan-angan dramatik. Sebuah utopia teologis. Sesuatu yang sangat mungkin berakar kuat dari sikap beragama yang tekstualis nan doktriner.
Hayyun Nur
Sebuah narasi akhir yg elegan
“Sebuah utopia teologis. Sesuatu yang sangat mungkin berakar kuat dari sikap beragama yang tekstualis nan doktriner.
Terima kasih, pak Kyai Abdullatif