2. SAKSI

a. Saksi asal tunjuk di jalan

Dalam sinetron tersebut, terdapat adegan yang secara tidak langsung sangat menciderai kehormatan pernikahan. Hal ini terkait dengan penunjukan saksi. Saat penghulu menanyakan siapa yang menjadi saksi kepada Pongki dan Maimun, keduanya terlihat kebingungan. Pongki lantas keluar dari ruangan penghulu dan mencari-cari orang lain untuk dijadikan saksi.

Pada saat kebersamaan, tiba-tiba muncul petugas resepsionis KUA, yang langsung digamit oleh Pongki. Sejurus kemudian,  datang pula tukang servis AC yang kebetulan mau memperbaiki AC kantor. Pongki pun langsung meminta petugas resepsionis dan si tukang AC untuk menjadi saksi pada pernikahan dirinya dan Maimunah.

Adegan tersebut menunjukkan bahwa pernikahan bisa dilangsungkan dengan asal tunjuk saksi. Tak peduli apakah saksi tersebut mengenal atau tidak terhadap kedua mempelai. Hal ini tentu menjadi contoh buruk bagi pelaksanaan pernikahan. Apalagi dalam adegan tersebut, pernikahan tersebut jelas dilaksanakan di kantor KUA. Dengan kata lain, pernikahan tersebut dilakukan oleh petugas dan lembaga resmi yang berwenang,

Padahal seharusnya saksi tidak boleh asal tunjuk. Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 24-26, saksi merupakan salah satu rukun pernikahan yang juga memiliki syarat-syarat yang harus terpenuhi, seperti adil dan beragama Islam. Kedudukan saksi menjadi penting karena ia bisa menjadi pihak yang dimintai klarifikasi oleh petugas terkait dengan keabsahan status calon pengantin, status wali, dan prosesi ijab kabul. Demikian pula, saat terjadi masalah di kemudian hari terkait dengan pernikahan tersebut, sang wali pun bisa menjadi pihak yang bisa dimintai penjelasannya.

 

b. Saksi minta bayaran.

Masih terkait dengan saksi, terdapat pula adegan yang sangat tidak pantas ditayangkan. Hal itu terkait dengan transaksi untuk menjadi saksi. Saat tukang AC dimintai menjadi saksi, terjadi adegan tawar-menawar harga yang sengit dengan Pongki. Pernikahan pun menjadi tak ubahnya transaksi jual beli di pasar. Sungguh, hal ini sangat keterlaluan, dan melukai perasaan para penghulu.

Jika pernikahan tersebut bukan terjadi di KUA, dan tidak dilakukan oleh petugas resmi negara, mungkin transaksi tawar-menawar itu biasa saja terjadi. Pernikahan-pernikahan yang dilakukan oleh bukan petugas resmi dan di luar KUA, bisa saja melanggar prosedur pernikahan yang ditetapkan oleh pemerintah, bahkan bisa saja melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah, seperti terkait  iddah.

Namun jika pernikahan itu dilaksanakan di KUA dan sesuai prosedur, tentu saja persoalan saksi sudah diselesaikan saat pendaftaran dan pemeriksaan awal. Justru pihak KUA adalah lembaga yang berwenang untuk mengawasi pernikahan sesuai dengan regulasi dan hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

 

3. PROSEDUR NIKAH

a. Berkas lengkap, tapi ternyata tidak lengkap

Terdapat adegan yang tidak logis dan sinkron dalam sinetron. Saat dialog antara Pongki dan petugas resepsionis terjadi, sang petugas menyatakan bahwa surat-suratnya sudah lengkap. Namun pada adegan berikutnya, ternyata masih ada yang belum lengkap, yaitu surat kuasa wali nikah dan siapa saja yang menjadi saksi. Jika memang surat-suratnya sudah dinyatakan lengkap, tentu persoalan wali sudah selesai, dan identitas para saksi sudah didaftarkan saat pertama kali pendaftaran.

Secara tidak langsung, penulis skenario dari sinetron tidak mengetahui tentang bagaimana prosedur pendaftaran pernikahan di KUA. Padahal lokasi pernikahannya di KUA. Jika memang adegan pernikahannya di KUA, dan dihadiri oleh petugas resmi, semestinya adegan-adegan yang ditampilkan sesuai dengan regulasi dan prosedur yang diterapkan di KUA. Naskah skenarionya terlebih dikonsultasikan dengan pihak KUA yang menjadi lokasi syuting.

Sebagaimana diketahui, KUA sekarang sudah menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Pendaftaran pernikahan sudah menggunakan sistem digital melalui aplikasi Simkah Web. Semua data mestinya sudah di-entry saat pendaftaran dan pemeriksaan berkas sebelum terjadi akad nikah. Dengan demikian, data wali dan saksi sudah selesai sebelum pernikahan itu terjadi.

b. Tanpa wali dan saksi

Saat Pongki dan Maimunah datang ke Kantor KUA, keluar pula sepasang laki-laki dan perempuan dari dalam kantor KUA. Ternyata kedua orang itu mengaku baru saja menikah. Tak ada orang lain yang mengiringi sepasang pengantin tersebut. Hal ini bisa menimbulkan pemahaman bahwa pernikahan di kantor KUA adalah perkara yang remeh dan gampang. Tanpa harus ada wali dan saksi pun, pernikahan bisa dilangsungkan di KUA. Cukup calon pengantin laki-laki dan pengantin perempuan datang ke KUA, semua hal yang lain bisa diatur. Pemahaman ini bisa menyesatkan bagi khalayak umum. Nilai-nilai sakral pernikahan menjadi luntur dalam adegan sinetron tersebut.

Bagaimanapun pernikahan di KUA sudah berdasarkan peraturan dan regulasi positif yang berlaku. Tidak ada lagi ada perdebatan fiqh dan persoalan khilafiyah antar mazhab yang digunakan. Semua perdebatan dan perbedaan pandangan mazhab fikih sudah selesai dengan adanya aturan perundangan yang berlaku. Sebagaimana dikatakan al-Mawardi di al-Ahkam as-Sulthaniyyah, salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan adalah mencegah timbulnya anarki dan memberikan kepastian hukum saat terjadi silang pendapat di tengah masyarakat. Ditambah lagi, dalam Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, Imam al-Qarafi juga menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan oleh pemerintah adalah menghilangkan perbedaan pendapat.

Di antara perdebatan fikih itu, termasuk pula bahwa pernikahan boleh tanpa wali seperti dalam mazhab Hanafi. Dalam mazhab Maliki, pernikahan boleh tanpa dihadiri oleh dua orang saksi yang menyaksikan langsung akad nikah. Bahkan dalam mazhab Dawud az-Zahiri, pernikahan boleh tanpa wali  dan tanpa saksi. Ketiga model pernikahan tersebut dijelaskan dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra karya Ibnu Hajar al-Haitami, salah seorang ulama yang dianggap sebagai pengikut mazhab Zahiri. Mengutip pendapat Imam ar-Rafi’i, pernikahan tanpa wali dan saksi justru pelakunya bisa dihukum had.    Namun semua pendapat tersebut tidak berlaku dalam tataran regulasi perkawinan di Indonesia.

 

PENUTUP

Demikian ulasan tentang praktek pernikahan yang ditampilkan dalam sinetron Para Pencari Tuhan Jilid 17 Episode 13. Semoga kejadian hal ini tidak terulang di kemudian hari. Para sineas, seperti Deddy Mizwar, mungkin memang berniat baik untuk memberikan misi dakwah dalam karyanya. Meski demikian, alangkah baiknya jika hal-hal yang terkait dengan hukum yang memang sudah diatur dalam regulasi dan perundangan, dikonsultasikan terlebih kepada pihak-pihak yang berwenang dan memiliki kompetensi. Dengan demikian, misi dakwahnya benar-benar diharapkan memberikan pesan positif kepada masyarakat, bukan pesan yang justru menyesatkan. Wallahu a’lam.

Penulis:
Abdurrasyid Ridha
– Pengurus Biro Kajian Hukum dan Karya Ilmiah PP APRI.
– Ketua PC APRI Kabupaten Indramayu

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *