Nafkah merupakan bahasan yang penting untuk penulis kaji, nafkah diartikan sebagai mengeluarkan atau berarti belanja, maksudnya sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada istri, seorang bapak kepada anak dan kerabat lainnya sebagai keperluan pokok bagi mereka.

Para ulama sepakat mengenai masalah wajibnya nafkah, namun mengenai kadarnya nafkah yang dikeluarkan, para ulama beragam pendapat:

Dikutip dari sebuah artikel pendapat Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang menjadi tolak ukur nafkah menyesuaikan kondisi dan keadaan suami, sedangkan Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa nafkah diukur dengan ukuran syara’ dan yang dii’tibarkan dengan keadaan suami.”

Jadi para ulama membatasi kadar nafkah yang wajib diberikan dari suami untuk istri-anaknya demi kemaslahatan bersama, supaya masing-masing suami-istri mengetahui hak dan kewajiban tentang nafkah tersebut.

Hemat penulis, nafkah dibagi menjadi dua; nafkah lahir dan nafkah batin; nafkah lahir kewajiban berupa pemberian yang diberikan seorang suami kepada istri dan anaknya secara materil baik sandang, pangan, maupun papan. nafkah batin berupa kebutuhan yang berkaitan dengan kebutuhan biologis ataupun immateriil.

Dalil mengenai kewajiban memberikan nafkah tercantum dalam QS al-Baqarah ayat 233.

وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوف

Artinya: “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf…” (QS al-Baqarah: 233).

Ayat diatas menerangkan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya dengan cara yang baik, suami juga tidak boleh bersifat kikir dalam memberikan nafkah sehingga istri menderita karenanya.

Bahkan sekalipun istri yang sudah diceraikannya hendaknya memberikan nafkah selama masa iddah sesuai dengan kemampuannya sebagaimana dalam QS al-Thalaq ayat 7.

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS al-Thalaq: 7).

Ayat diatas menjelaskan bahwa hendaknya seorang suami yang mempunyai kelapangan dalam harta memberikan nafkah kepada anak istri yang sudah diceraikannya sesuai dengan kemampuannya.

Nafkah juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat (2) bahwa suami wajib melindungi istri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan ayat (4) dijelaskan bahwa suami sesuai dengan pengahasilannya menanggung (a) nafkah, kiswah dan tempat kediaman istri; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; dan (c) biaya pendidikan bagi anak.

Selain itu, dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 ayat (1) menjelaskan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Dari keterangan diatas, tidak dijelaskan secara detail mengenai besaran nafkah namun disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan suami, dalam hal pemberian nafkah pentingnya kedepankan musyawarah untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.

Ajaran Islam sudah sangat jelas mengatur tentang kewajiban nafkah dari seorang suami kepada istri dan anaknya, tentu pemberian nafkah dilakukan dengan cara-cara yang baik dan juga halal. Dengan begitu, akan membawa dampak yang positif kepada keluarga sehingga menjadi tenang dan damai.

Disamping itu, salah satu keutamaan memberikan nafkah ialah bernilai sedekah bahkan prioritas utama sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersabda “Nafkah yang diberikan seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya bernilai sedekah. Sungguh, seseorang diberi ganjaran karena meski sesuap nasi yang dia masukkan ke dalam mulut keluarganya.” (HR Muttafaq alaih).

Wallahu a’lam bi al-Showab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *