PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

  1. Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi SAW.
  2. Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
  3. Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
  4. Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.

      Sementara itu MUI mengeluarkan fatwa hukumnya tentang larangan pernikahan beda agama ini nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang menetapkan:

  1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
  2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

    2. Melanggar Undang-Undang Perkawinan

       Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang-Undang Pekawinan. Di dalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak dikenal istilah perkawinan antar agama sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1, yaitu “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Undang-Undang Pekawinan hanya mengatur tentang perkawinan di luar Indonesia dan perkawinan campuran. Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hasil Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991 yang ditandatangani Presiden pada tanggal 10 Juni 1991 dan tanggal 22 Juli 1991 diperkuat oleh KMA No.154 Tahun 199l tentang pelaksanan Inpres tersebut, lebih tegas lagi dengan mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama ke dalam bab larangan perkawinan, ada dalam Pasal 40 (c), Pasal 44, Bab X Pencegahan Perkawinan Pasal 61 KHI. Pasal 40 (c) berbunyi; “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Sedangkan Pasal 44 KHI berbunyi:”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”, dan Pasal 61 KHI : ” Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien”.

     Jadi kalau Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan ketentuan al-Qur’an yang bersifat kolektif, ia merupakan hukum yang harus dipedomani bagi umat Islam Indonesia. Walhasil, Perkawinan antar pemeluk agama tidak diperbolehkan secara hukum, karena ia jelas-jelas suatu bentuk halangan perkawinan dan wajib dicegah pelaksanaannya.

        Berdasarkan penjelasan diatas perkawinan yang dilakukan diwilayah hukum Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak di perbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang. Jadi, menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda agama belum bisa diresmikan di Indonesia. Pernikahan pasangan beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

       Hal ini membuktikan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang berbeda agama dan keyakinan jelas melanggar hukum dan tidak bisa dilaksanakan di Negara Republik Indonesia dan seharusnya tidak ada toleransi atau pembelaan terhadap mereka yang melakukan itu baik oleh perseorangan maupun lembaga apapun. Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melayani pencatatan pernikahan pun tidak akan melayani sebuah pernikahan selama pasangan calon suami istri masih berbeda agama. Masyarakat juga diharapkan bisa mengikuti aturan ini dengan baik, artinya jangan kemudian disiasati dengan cara berpura-pura masuk ke agama yang dianut oleh pasangannya hanya karena ingin memenuhi persyaratan administratif, tapi setelah berumah tangga ia kembali ke agamanya semula.

    Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang sederhana di Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati pun berbelit. Tak heran jika banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih menikah di luar negeri. Pasangan yang memutuskan menikah di luar negeri nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia, mereka dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.

       Meski begitu, bukan berarti pernikahan dengan perbedaan agama tak bisa diwujudkan di dalam negeri. Sejatinya, berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan. Hanya saja, tidak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama. Kantor catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing. Caranya, mencari pemuka agama yang memiliki persepsi berbeda dan bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan Kristen.

       Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan sipil yang mau menikahkan pasangan beda keyakinan. Akhirnya, jalan terakhir yang sering dipakai pasangan beda agama di Indonesia untuk melegalkan pernikahannya adalah tunduk sementara pada salah satu hukum agama. Biasanya, masalah yang muncul adalah gesekan antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang dipakai untuk pengesahan.

  1. Tidak akan tercapai tujuan perkawinan

     Setiap perkawinan pasti bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian, keberkahan, mendapatkan ketenangan batin yang dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah sakinah. Menurut Prof. DR. Quraisy Shihab, larangan perkawinan antar agama yang berbeda itu dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, latar belakang sosial atau bahkan perbedaan tingkat pendidikanpun tidak jarang mengakibatkan kegagalan dalam perkawinan.

        Para ulama pun sepakat bahwa prasyarat penting yang harus dipenuhi seseorang dalam mencapai sakinah dalam rumah tangganya adalah sesuai dengan hadits Rasulullah : Fazfar bidzatiddin. Artinya, tolak ukur keberagamaan seseorang adalah yang paling utama Seperti yang tercermin dalam keluarga Rasulullah SAW. Rasulullah dapat merasakan suasana surgawi (baiti jannati) dalam rumah tangganya, karena semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang taat kepada Allah SWT.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin perkawinan seseorang bisa mencapai suasana sakinah jika tidak dilandasi dengan keyakinan yang sama …. ?. Jawabanya adalah tidak mungkin, kalaupun mereka terlihat “bahagia” pasti kebahagiaan yang semu. Sebab dalam pandangan Islam, hakekat kebahagiaan itu adalah ketenangan batin (ithmi’nanul qolb) dan hal itu hanya akan didapat ketika orang dekat dengan Tuhannya.

الابذكرالله تطمئن القلوب

      Artinya: “Ketahuilah hanya dengan zikir (dekat) kepada Allah hati bisa tenang.
(QS.Al Ra’ad : 28)

      Pertanyaannya, “Apakah ada orang yang dapat mengekspresikan ketaatannya kepada Allah secara totalitas sementara di sisinya ada orang yang ‘dicintainya’ menyembah tuhan yang lain ???”. Setiap anggota keluarganya akan sangat sulit mencapai ketaatan hakiki dalam agamanya masing-masing. Karena setiap kali akan menjalankan ajaran agama, ia akan mempertimbangkan perasaan anggota keluarga yang lain. Yang bergama Islam, misalnya akan sulit memelihara sholat 5 waktu, puasa, apalagi amalan-amalan sunah yang menunjukkan ketaatan secara totalitas, begitu juga yang bergama lain pasti akan punya perasaan yang sama. Memang selama ini nampak juga sikap toleransi dari pasangan yang berbeda agama, tapi itu hanya pada tataran kulit, tegasnya hanya pada simbol-simbol agama – seperti pada perayaan natal atau lebaran saja- bukan pada substansi ajaran agama.

    b. Akibat Pernikahan Beda Agama

        Di  Indonesia, perkawinan beda agama tidak hanya merupakan larangan agama, tetapi  juga telah dilarang oleh undang-undang, namun demikian tidak sedikit umat Islam Indonesia dengan berbagai alasan telah melakukan perkawinan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka. Karena negara tidak memfasilitasi perkawinan yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang, maka ada di antara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan perkawinan atau memanfaatkan jasa lembaga tertentu di Indonesia  yang memang memfasilitasi perkawinan beda agama. Di samping itu, ada  pula  yang  menyatakan diri memeluk agama Islam karena akan menikah.

     Namun demikian, sekelompok orang yang  bergabung dalam Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI punya  pendapat lain. Mereka membolehkan perkawinan antara orang Islam dan orang non-Islam. Dalam pengantar buku Counter Legal Draft KHI tahun 2004, mereka menjelaskan bahwa  perkawinan seperti itu dibolehkan dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip pluralisme,  nasionalisme, HAM, demokrasi dan kemashlahatan (Lebih lanjut tentang prinsip-prinsip yang dikemukakan ini dapat dilihat pada: Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft KHI, (Jakarta: t.p, 2004), hlm.25-29). Kalau diamati, pembolehan menikah antaragama ini didasari oleh pemikiran mereka bahwa pelarangannya hanya bersifat ijtihadi, tidak ditetapkan dengan nash yang qath’i, kecuali larangan perkawinan dengan  orang musyrik, yang mereka pahami sebagai musyrik Arab saja.

        Menyangkut hal ini, Zainun Kamal, yang mempunyai pandangan yang sama dengan  Tim Pengarusutamaan Gender ini, menyatakan bahwa tidak terdapat teks ayat al-Qur’an yang secara tegas dan pasti yang mengharamkan perkawinan antara umat beragama, baik laki-laki ataupun perempuan, selain dengan kaum musyrik Arab (Zainun Kamal, Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama, dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hal. 164).

     Sejalan  dengan itu, Siti Musdah Mulia, salah sorang penggagas Counter Legal Draft menjelaskan bahwa semua pendapat yang berkaitan dengan perkawinan lintas agama, hanya bersifat ijtihadi, tidak ditemukan teks al-Qur’an dan Hadis yang secara qath’i  melarang dan membolehkannya (Siti Musdah Mulia, Menafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, dalam ibid., hal. 129-130). Apabila diperhatikan ayat yang sedang dibicarakan ini dan pendapat para ulama yang telah dipaparkan diatas, maka pendapat ini akan sulit diterima. Terlebih lagi, ketika mereka membolehkan perempuan muslimah menikah  dengan non muslim.

      Selain tidak akan tercapainya kebahagiaan yang hakiki dalam rumah tangga, perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai ekses yang berkepanjangan di belakang hari,seperti:
1. Melahirkan keturunan yang tidak jelas Nasabnya

         Karena pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum Islam, maka keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut disebut anak garis ibu, artinya dia terputus nasabnya dari bapaknya yang memproses secara biologis. Jika kemudian terlahir anak perempuan dari pernikahan mereka, kemudian anak perempuan ini beragama islam sedangkan bapaknya beragama lain, maka dia tidak bisa diwalikan oleh bapak. Apabila dipaksakan bapak biologisnya menjadi wali nikah, maka pernikahan anak tersebut tidak sah. Dan pernikahan yang tidak hanya akan sah melahirkan hubungan suami istri yang tidak sah alias zina.
       2. Terputusnya Hak Waris

       Dalam agama Islam, salah satu penyebab seseorang tidak bisa mendapatkan harta waris (terputus hak warisnya) yaitu perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris. Hal ini bisa saja menimbulkan konflik (perebutan harta waris) yang berkepanjangan jika terdapat beberapa ahli waris yang berbeda agama dalam sebuah keluarga.

1 Comment

Tinggalkan Balasan