PUTUS NIKAH DAN AKIBATNYA

Tinjauan Kaidah Penafsiran Ayat Ahkam

 

 

Disusun oleh : Yayan Nuryana

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

 

            Segalapuji dan syukurpenulissampaikankehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan kealam yang berilmu pengetahuan.

Penulis kali ini berusaha mengangkat tema artikelPUTUS NIKAH DAN AKIBATNYA”.Tinjauan Kaidah Penafsiran Ayat Ahkam

Dalam penulisan artikel ini, penulis menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.

Namun demikian semoga bermanfaat dan memberi pengajaran, terimaksih kepada Admin Pustaka Penghulu yang berkenan menampilkan tulisan ini..

 

Trimaksih.

 

 

Purwakarta, 27 mei 2024

 

Penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………      i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………….     ii

 

BAB I       PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang……………………………………………………………………………..     1
  2. Rumusan Masalah………………………………………………………………………….     1
  3. Tujuan penulisan ………………………………………………………………………….      1

 

BAB II       PEMBAHASAN

  1. Putusnya pernikahan……………………………………………………………………………..    2
  2. Talak ………………………………………………………………………………………………    3
  3. tafsir ayat dan penjelasannya………………………………………………………….. 5
  4. Khuluk ……………………………………………………………………………………………   7
  5. Iddah ………………………………………………………………………………………………11

 

BAB III    PENUTUP

  1. …………………………………………………………………………………………..   17

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………..  

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Akad perkawinan dalam hukum Islam adalah bukan perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik.

Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami istri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa. Setiap sepasang suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir batin yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat masih dikandung badan. Namun demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup, dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.

Muculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.

  1. Rumusan Masalah
  2. Apa yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?
  3. Bagaimana qawaid ahkam tentang talak?
  4. Bagaimana qawaid ahkam tentang khuluk?
  5. Bagaimana qawaid ahkam tentang iddah ?
  6. Tujuan Masalah

Untuk Mengetahui bagaimana putusnya perkawinan dan akibat hukumnya (talaq, khuluk, tafriq dan iddah)

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Putusnya Pernikahan

Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan seorang wanita sudah bercerai, dan salah seorang antara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan perkawinan suami istri dapat putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat dengan tali perkawinan.[1]

Perceraian dalam hukum Islam ialah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :

“sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim)[2]

Berdasarkan hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutanya.

Putusnya perkawinan mungkin atas inisiatif suami, mungkin pula atas inisiatif istri. Menurut fiqih hanya suami yang berhak menceraikan istrinya yaitu dengan talak dan cukup secara lisan tanpa melalui penguasa. Istri dapat memohon cerai melalui pengadilan dengan jalan khulu’ dengan mengembalikan mahar (iwadh). Akan tetapi dalam hukum di Indonesia mengatur so’al perceraian tidak demikian sederhana, semula karena tadinya suami mempunyai hak untuk menalak istrinya seolah-olah tindakan sepihak, maka bentuk acaranya ialah dengan mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan agama. Tetapi dalam pelaksanaanya kemudian meskipun bernama permohonan (bersifat voluntair atau sepihak) menurut instruksi pihak termohon (istri) harus didengar, bahkan berhak mohon banding bila keputusan tidak menyenangkan baginya, jadi tidak ada bedanya dengan gugatan (bersifat contentious/dua pihak). Apabila menurut fiqih dulu suami telah dengan sungguh artinya mengucapkan talak, tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia, kini tidak demikian lagi.[3]

Putusnya ikatan pernikahan diakibatkan oleh beberapa sebab antara lain :

  1. Talak

Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI).

Al-Qur`ân telah menunjukkan disyariatkan hal tersebut tatkala muncul perpecahan antara suami-istri dengan mengutus dua penengah dari keluarga mereka berdua, yang lebih mengutamakan memperbaiki hubungan pasangan suami-sitri sehingga mereka berdua padu kembali daripada bercerai dan terjadinya talak. Dua penengah ini menasehati dan mengingatkan mereka berdua dan memberitahukan  kepada mereka dampak negatif perceraian dan madharat-madharatnya serta hancurnya kehidupan rumah tangga yang telah dibina bersama, serta penyesalan dan hati mereka berdua pasca perceraian, termasuk tercerai-berainya anak-anak dan kepahitan yang akan mereka rasakan.

Apabila nasehat itu tidak bermanfaat dan usaha mereka tidak membuahkan hasil, dan akhirnya dua penengah ini memandang cerai merupakan pilihan bagi mereka, dan mengizinkan suami untuk menceraikan istrinya.

Uraian ini tersimpulkan dari firman Allâh Azza wa Jalla  :

وَإِنْخِفْتُمْشِقَاقَبَيْنِهِمَافَابْعَثُواحَكَمًامِنْأَهْلِهِوَحَكَمًامِنْأَهْلِهَاإِنْيُرِيدَاإِصْلَاحًايُوَفِّقِاللَّهُبَيْنَهُمَا ۗ

إِنَّاللَّهَكَانَعَلِيمًاخَبِيرًا

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu berkamsud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal [An-Nisâ/4:35][4]

Allâh Azza wa Jalla tidak mensyariatkan agar  suami terburu-buru menjatuhkan talak dan bersegera melakukannya atas dorongan hawa nafsu dan jeratan emosi, tanpa menjalankan perintah Allâh Azza wa Jalla terhadap dirinya dan dianjurkan-Nya  kepadanya.

Perintah yang termuat dalam firman-Nya “maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan” menunjukkan bahwa mengutus penengah itu bersifat wajib, sebab perintah maksudnya kewajiban untuk melakukannya berdasarkan pandangan banyak Ulama, dan perintah terhadap sesuatu bermakna larangan untuk tidak melakukannya. Dan melakukan larangan, yaitu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan perintah,  akan mengakibatkan  fasâd (rusak)nya suatu tindakan dan tidak diperhitungkannya apa yang diperbuat, sebagaimana telah dibahas dalam Ilmu Ushul Fiqh.

Jadi, siapa saja yang tergesa-gesa mengambil langkah dalam menghadapi perselisihan dan melontarkan kata-kata talak, tanpa menempuh jalan tahâkum (menyerahkan urusan dan putusan kepada juru damai) yang diperintahkan terlebih dulu, maka orang tersebut telah melakukan sebuah larangan dan durhaka dengan melawan perintah.  Adapun orang yang menjalankan perintah, lalu menyerahkan putusan kepada dua penengah tersebut, namun mereka tidak mendapatkan pintu untuk menyatukan pasangan itu dan tidak ada jalan untuk memadukan mereka berdua kembali, maka Allâh Azza wa Jalla tidak menjadikan dosa dalam putusan tersebut. Ini berdasarkan firman-Nya:

وَإِنْيَتَفَرَّقَايُغْنِاللَّهُكُلًّامِنْسَعَتِهِ ۚ وَكَانَاللَّهُوَاسِعًاحَكِيمًا

Jika keduanya bercerai, maka Allâh akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allâh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.  [An-Nisâ/4:130].

لطَّلَاقُمَرَّتٰنِۖفَإِمْسَاكٌبِمَعْرُوْفٍأَوْتَسْرِيْحٌبِإِحْسَانٍۗوَلَايَحِلُّلَكُمْأَنْتَأْخُذُوْامِمَّااٰتَيْتُمُوْهُنَّشَيْئًاإِلَّاأَنْيَّخَافَاأَلَّايُقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۗفَإِنْخِفْتُمْأَلَّايُقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۙفَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَافِيْمَاافْتَدَتْبِهٖۗتِلْكَحُدُوْدُاللّٰهِفَلَاتَعْتَدُوْهَاۚوَمَنْيَّتَعَدَّحُدُوْدَاللّٰهِفَأُولٰئِكَهُمُالظّٰلِمُوْنَ

Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya-*. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.

فَإِنْطَلَّقَهَافَلَاتَحِلُّلَهٗمِنْبَعْدُحَتّٰىتَنْكِحَزَوْجًاغَيْرَهٗۗفَإِنْطَلَّقَهَافَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَاأَنْيَّتَرَاجَعَاإِنْظَنَّاأَنْيُّقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۗوَتِلْكَحُدُوْدُاللّٰهِيُبَيِّنُهَالِقَوْمٍيَّعْلَمُوْنَ

Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diteragkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.

وَإِذَاطَلَّقْتُمُالنِّسَاءَفَبَلَغْنَأَجَلَهُنَّفَأَمْسِكُوْهُنَّبِمَعْرُوْفٍأَوْسَرِّحُوْهُنَّبِمَعْرُوْفٍۗوَلَاتُمْسِكُوْهُنَّضِرَارًالِّتَعْتَدُوْاۚوَمَنْيَّفْعَلْذٰلِكَفَقَدْظَلَمَنَفْسَهٗۗوَلَاتَتَّخِذُوْااٰيٰتِاللّٰهِهُزُوًاوَّاذْكُرُوْانِعْمَةَاللّٰهِعَلَيْكُمْوَمَاأَنْزَلَعَلَيْكُمْمِّنَالْكِتٰبِوَالْحِكْمَةِيَعِظُكُمْبِهٖۗوَاتَّقُوااللّٰهَوَاعْلَمُوْاأَنَّاللّٰهَبِكُلِّشَيْءٍعَلِيْمٌ

Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu Kitab (Al-Quran) dan hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

  1. Tafsir ayat dan penjelannya

Jumlah talak perempuan yang boleh dirujuki adalah dua, dan talak itu disebut talak “talak raj’i”. Jika telah dijatuhkan talak pertama sebelum habis masa iddahnya, perempuan boleh dirujuk kembali. Demikian juga kalau dijatuhkannya talak kedua sebelum habis masa iddah perempuan itu, boleh dirujuk kembali. Dan tidak dapat lagi dirujukinya apabila telah jatuh talak ketiga.[5]

Allah SWT. Menyebutkan “dua kali”, bukan “dua talak”. Hal itu berarti bahwa jatuhnya talak itu ialah “satu kali” dan “dua kali” dan “tiga kali”. Dan tidaklah berarti jatuh “satu kali” untuk “dua talak “atau untuk ”tiga talak” sekaligus. Demikian pendapat jumhur mufassir.

Jika telah dijatuhkannya talak untuk yang kedua kalinya, maka dia boleh memilih salah satu dari dua,yaitu diteruskannya kembali talak sampai yang ketiga, atau dirujukinya kembali dan dipegangnya dengan sebaik-baiknya, bukan dengan maksud hendak menyiksa isterinya.itu yang dimaksud dengan firman Allah, “Maka pegang dengan baik atau lepaskan dengan baik.”

Ulama’ berbeda pendapat tentang orang menalak istrinya dengan talak dua atau talak tiga sekaligus dengan sekali ucapan. Apakah jatuh tiga atau jatuh satu? Jumhur berpendapat jatuh talak tiga atau sebanyak yang diucapkannya. Yang lain berpendapat hanya satu saja.

Sesungguhnya Jumhur ulama’ termasuk hanafiah menyatakan bahwa talak syar’i adalah sekali, kemudian sekali lagi. Jika langsung dijatuhkannya talak dua atau talak tiga, dinamakan talak bid’ah dan hukumnya adalah haram.[6]

Sejarah talak tiga secara sekaligus itu, menurut riwayat Ahmad dan Muslim dari hadist Thawus dan Ibnu Abbas, dia berkata :

“adalah talak dimasa Rasulullah SAW dan dimasa Abu Bakar dan dua tahun di masa Khalifah Umar, talak tiga secara sekaligus dihitung satu saja. Kemudia Umar berkata “Bahwasannya manusia itu hendak bersegera saja, hendak terburu-buru saja dalam perbuatan yang semestinya bertindak perlahan-lahan, jika kamu langsungkan kehendak mereka itu, niscaya terjadilah yang demikian itu.”

Maksudnya ialah oleh karena perbuatan orang banyak selalu hendak menalak istrinya dengan talak tiga sekaligus, padahal seharusnya dalam hal ini mereka hendak bertindak perlahan-lahan, dan dipikirkan dengan mendalam tetapi mereka hendak terburu-buru juga, maka Umar menurutkan kehendak mereka itu dengan menetapkannya. Artinya orang yang menalak istrinya tiga sekaligus langsung ditetapkan tiga, bukan satu. Demikianlah Ulama madzhab menetapkan pendapat itu, hanya Abu Hanifah yang mengatakan , bahwa talak seperti itu  haram hukumnya, tetapi dianggapnya juga talak tiga.[7]

Menurut Shi’iah Imamiyah talak yang diucapkan tiga sekaligus tidak dapat menjatuhkan talak walaupun satu talak. Sedangkan menurut al-Zaydiyah, Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim, adalah jatuh talak satu. Lebih lanjut menurut pendapat Shi’iah Imamiyah dan mereka yang sepakat dengan pendapatnya bahwa merupakan suatu kewajiban untuk kembali kepada al-Sunnah dan menolak ijtihad yang dilakukan oleh ‘Umar Bin al-Khattab karena melakukan talak tiga sekaligus merupakan tindakan membatalkan rukhsah dan pertolongan yang telah diberikan oleh Allah.[8]

لطَّلَاقُمَرَّتٰنِۖفَإِمْسَاكٌبِمَعْرُوْفٍأَوْتَسْرِيْحٌبِإِحْسَانٍۗوَلَايَحِلُّلَكُمْأَنْتَأْخُذُوْامِمَّااٰتَيْتُمُوْهُنَّشَيْئًاإِلَّاأَنْيَّخَافَاأَلَّايُقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۗفَإِنْخِفْتُمْأَلَّايُقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۙفَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَافِيْمَاافْتَدَتْبِهٖۗتِلْكَحُدُوْدُاللّٰهِفَلَاتَعْتَدُوْهَاۚوَمَنْيَّتَعَدَّحُدُوْدَاللّٰهِفَأُولٰئِكَهُمُالظّٰلِمُوْنَ

Penjelasan ayat ini ditujukan kepada suami, artinya tidak halal bagi mereka itu mengambil kembali apa-apa yang sudah diserahkannya kepada istrinya, seperti mahar walaupun sedikit, dengan maksud hendak memberikan mudharat kepada istrinya itu.

Zuhayly, mengemukakan bahwa talak adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah yang tidak dishari’atkan kecuali karena darurat. Jika hal tersebut terjadi, maka suami haram mengambil kembali apa yang telah ia berikan baik mahar atau yang lainnya ( ولايحللكمأنتأخذوامماءاتيتموهنشيئا). Justru suami berkewajiban memberi hadiah berupa materi atau uang kepada isteri sebagai tambahan atas hak-haknya.Berdasarkan Firman Allah Surah al-Ahzab : 49

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواإِذَانَكَحْتُمُالْمُؤْمِنَاتِثُمَّطَلَّقْتُمُوهُنَّمِنْقَبْلِأَنْتَمَسُّوهُنَّفَمَالَكُمْعَلَيْهِنَّمِنْعِدَّةٍتَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّوَسَرِّحُوهُنَّسَرَاحًاجَمِيلًا

“Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”

  1. Khuluk

Dalam ayat 229 ini Allah juga memperbolehkan sang isteri memmberikan sesuatu kepada suaminya sebagai imbalan perceraian atau khulu’ (فلاجناحعليهمافيماافتدتبه).

Apa yang dimaksud dengan “tebusan talak” atau khulu’ ? yaitu si istri meminta kepada suaminya supaya dia diceraikan dan dia bersedia membayar uang tebusan cerai itu. Dalam hal ini fuqaha dan ulama khalaf berbeda pendapat mengenai pembayaran khulu’ itu.

Menurut Jumhur Ulama, boleh melakukan khulu’ dengan memberikan tebusan lebih besar dari mahar yang diberikan suami kepadanya. Menurut Hanafiyah hal tersebut dimakruhkan. Sedangkan golongan Shi’ah, al-Zuhry, Hasan al-Basry tidak memperbolehkan khulu’ dengan memberikan lebih dari mahar yang diberikan suami kepada isteri. Imam Shafi’i dalam hal ini berpendapat bahwa khulu’ adalah mubah dan bagi si laki-laki berhak atas mahar mithil nya si wanita itu.[9]

Menurut riwayat  yang diterima dari Ali, dia memakruhkan menerima tebusan talak itu lebih besar dari mahar yang telah diberikannya kepada istri. Demikian qoul Said Ibnu Musayyab, Hasan, Thawus, Said bin Zubair. Menurut yang diriwayatkan dari Umar , Usman, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahhid, Ibrahim dan Hasan, mereka membolehkan mengambil lebih besar dari apa yang telah diberikannnya.

Abu Hanifah, Zufar, Abu Yusuf, dan Muhammad berkata, jika nusyuz itu terjadi dari pihak perempuan, maka halal bagi laki-laki mengambil kembali sebanyak yang telah diberikannya, tapi jangan lebih. Tetapi kalau kesalahan terjadi dari pihak laki-laki, tidak halal bagi laki-laki itu mengambil sedikitpun juga dari istrinya.

Ibnu Qasim menyatakan pendapat yang diperolehnya dari Malik, boleh laki-laki mengambil pembayaran khulu’ lebih besar dari apa yang telah diberikannya dan halal baginya. Begitu juga walaupun kesalahan itu sengaja datang dari laki-laki, maka halal baginya mengambil pembayaran khulu’ itu, jika perempuan ridha dan tidak merasa berat. Menurut Tsauri, jika khulu’ itu atas kemauan perempuan, maka halal bagi laki-laki mengambilnya, seperti juga khulu’ itu terbit dari dari pihak laki-laki tidak halal baginya mengambil apapun dari perempuan itu. Sedangkan menurut Syafi’i, jika perempuan itu tidak menunaikan kewajibannya terhadap suaminya, halal tebusan talak itu bagi suaminya.

Menurut Ulama’ jumhur, jama’ah dari sahabat dan tabi’in, iddah perempuan khulu’ sama seperti iddah talak. Menurut Tirmidzi, demikian perkataan kebanyaan ahli ilmu,terdiri dari para sahabat, tabi’in dan lain-lain. mereka menerangkan bahwa perempuan yang di-khulu’ itu termasuk perempuan yang ditalak, menurut umumnya ayat Al-Quran.[10]

فَإِنْطَلَّقَهَافَلَاتَحِلُّلَهٗمِنْبَعْدُحَتّٰىتَنْكِحَزَوْجًاغَيْرَهٗۗفَإِنْطَلَّقَهَافَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَاأَنْيَّتَرَاجَعَاإِنْظَنَّاأَنْيُّقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۗوَتِلْكَحُدُوْدُاللّٰهِيُبَيِّنُهَالِقَوْمٍيَّعْلَمُوْنَ

 

Ayat ini menunjukkan bahwa setelah terjadinya talak yang ketiga maka tidak dapat dirujuk kembali. Rujuk dan khulu’ hanya dapat dilakukan sebelum terjadinya talak yang ketiga. Lebih jelasnya, jika suami memilih untuk menceraikan isterinya dengan perceraian yang tidak ada lagi kesempatan rujuk (talak ketiga), maka bekas isterinya itu tidak halal baginya untuk dinikahi sampai bekas isteri tersebut menikah dengan pria yang lain, selain bekas suami yang pertama.

“maka jika sudah ditalaknya (oleh suami yang kedua), tidaklah dosa bagi mereka berdua untuk menikah kembali.” Ayat ini menegaskan bahwa perempuan yang telah dicerai dengan talak tiga, tidak boleh kembali kepada bekas suaminya itu, sehingga dia kawin lebih dahulu dengan laki-laki lain dengan sah dang sudah bercampur, seperti yang telah diterangkan diatas. Adapun perkawinannya dengan suami yang kedua itu, seandainya hanya bermaksud supaya dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama maka perkawinan itu dinamakan “al-muhallil wal muhalla lahu”, atau yang lebih populer dalam ungkapan bahasa Indonesia perkawinan “cina buta”. Rasuullah mengumpamakan laki-laki yang berbuat seperti itu seperti kambing pinjaman, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Uqbah bin Amir, yang artinya : “belumkah aku ceritakan kepadamu tentang kambing pinjaman ?mereka menjawab belum. Maka kata Rasul pula,itulah dia Muhallil. Allah mengutuk muhallil dan muhallal lahu.”

Selain ini banyak lagi hadist yang menunjukkan bahwa perbuatan Muhallil itu termasuk dosa besar, karena dia adalah perbuatan yang terkutuk.

Menurut Abu Tsaur, Syafi’i dan golongan Hanafiyah, muhallil yang merusakkan pernikahan ialah apabila dalam pernikahan itu ada disyaratkan perceraian sesudah itu, supaya perempuan itu dapat kembali kawin kepada suaminya yang pertama. Tetapi jika dalam pernikahan itu tidak ada disyaratkan demikian, maka akad nikah itu adalah sah dan tidak termasuk di dalam asal muhallil ini.[11]

Jumhur ulama mensyaratkan lima hal bagi wanita yang telah di talak tiga, untuk kembali menjadi isteri si suami (suami yang telah mentalak tiga). Pertama, telah melakukan iddah dari talak yang ketiga. Kedua, melakukan akan nikah dengan suami atau pria lain (suami yang ke dua). Ketiga, telah disetubuhi oleh suami yang kedua tersebut. Keempat, ditalak oleh suami yang kedua. Kelima, melakukan iddah dari perceraian dengan suami yang kedua.[12]

“jika mereka (berdua) berpikiran akan dapat menegakkan batas-batas Allah” berarti bekas suami istri itu dapat memperkirakan bahwa mereka akan menjaga dan memelihara baik-baik kewajiban masing-masing, sebagaimana batasan yang telah ditentukan Allah. Akan tetapi, jika mereka berdua tidak mempunyai pikiran seperti itu atau salah seorang dari padanya tidak dapat memperkirakan dapat hidup damai dan rukun sebagai suami isteri, maka tidaklah dibolehkan mereka mengulangi perkawinanya lagi. Karena dengan demikian, mereka akan memasuki suatu perbuatan yang diharamkan atau pekerjaan maksiat.[13]

وَإِذَاطَلَّقْتُمُالنِّسَاءَفَبَلَغْنَأَجَلَهُنَّفَأَمْسِكُوْهُنَّبِمَعْرُوْفٍأَوْسَرِّحُوْهُنَّبِمَعْرُوْفٍۗوَلَاتُمْسِكُوْهُنَّضِرَارًالِّتَعْتَدُوْاۚوَمَنْيَّفْعَلْذٰلِكَفَقَدْظَلَمَنَفْسَهٗۗوَلَاتَتَّخِذُوْااٰيٰتِاللّٰهِهُزُوًاوَّاذْكُرُوْانِعْمَةَاللّٰهِعَلَيْكُمْوَمَاأَنْزَلَعَلَيْكُمْمِّنَالْكِتٰبِوَالْحِكْمَةِيَعِظُكُمْبِهٖۗوَاتَّقُوااللّٰهَوَاعْلَمُوْاأَنَّاللّٰهَبِكُلِّشَيْءٍعَلِيْمٌ

Kalimat itu artinya yang hakiki ialah “maka telah sampai iddahnya.” Akan tetapi kalau yang dipakai arti yang hakiki ini tidaklah lagi sesuai dengan tujuannya, karena perempuan yang telah sampai atau telah habis iddahnya tidak boleh dirujuki lagi kecuali dengan perkawinan yang baru. Karena itu maksudnya ialah “maka telah hampir sampai iddahnya.”

Menurut Al-Qurthubi, arti balaga ialah “hampir sampai” dengan ijma’nya sekalian ulama’. Ayat ini menjadi dalil, bahwa perempuan yang telah dicerai oleh suaminya dengan telak satu atau talak dua, sebelum habis masa iddahnya, si suami berhak memegangnya, artinya merujuknya kembali. Tetapi hendaknya memegangnya itu dengan cara yang baik, ma’ruf, dengan tidak bermaksud hendak menganiaya perempuan itu. Andaikata tidak dapat dirasakannya kehidupan yang rukun dan damai kembali diantara kedua suami istri itu, maka lepaslah dia dengan merujuki kembali dengan cara yang baik pula, sehingga habislah masa iddahnya.

Pada ayat 231, disebutkan bahwa Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati habisnya masa iddah maka bagimu adalah salah satu dari dua perkara yaitu merujuk dengan cara yang ma’ruf bukan dengan maksud memberi kemudharatan atau menceraikan dengan cara yang ma’ruf pula, yaitu dengan menunaikan hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami seperti nafkah, mahar, mut’ah dan lain sebagai nya.

Baik rujuk maupun cerai, semua harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf. Dalam ayat 231 ini menceraikan disebutkan dengan kata ma’ruf sedangkan dalam ayat 229 diatas disebutkan dengan kata ihsan. ma’ruf dalam ayat ini adalah batas minimal dari perlakuan yang dituntut atau yang wajib dari suami yang menceraikan. Sedangkan, ayat 229 adalah batas yang terpuji yang dianjurkan yang melebihi kewajiban. Karena itu pula dalam ayat 231 ini, perintah minimal itu disusul dengan larangan minimal pula yaitu janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan. Siapapun yang melakukannya, maka pada hakikatnya ia telah menganiaya dirinya sendiri.

Disebutkan juga pada ayat ini bahwa “Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan “(وَلَاتَتَّخِذُواءَايَاتِاللَّهِهُزُوًا). Ayat ini merupakan larang untuk menjadikan hukum-hukum Allah sebagai gurauan, karena kesemua hukum Allah merupakan kesungguhan. Ulama sepakat bahwa apabila seseorang mentalak isterinya dengan cara bergurau maka akan tetap jatuh talak. Selanjutnya ingatlah akan nikmat Allah yaitu berupa Islam, penjelasan hukum, dan juga akan hikmah, yaitu al-Sunnah yang menjelaskan maksud Allah melalui lisan Nabi saw., terhadap hal-hal yang tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu..

  1. Ayat-ayat yang terkait dengan iddah
  2. s Al-Baqarah : 234

وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنْكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجًايَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّأَرْبَعَةَأَشْهُرٍوَعَشْرًافَإِذَابَلَغْنَأَجَلَهُنَّفَلَاجُنَاحَعَلَيْكُمْفِيمَافَعَلْنَفِيأَنْفُسِهِنَّبِالْمَعْرُوفِوَاللَّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramudenganmeninggalkanisteri-isteri (hendaklah para isteriitu) menangguhkandirinya (ber’iddah) empatbulansepuluhhari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkanmerekaberbuatterhadapdirimereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahuiapa yang kamuperbuat. (Al-Baqarah :234).

Berangkat dari ayat diatas, menurut kalangan fuqaha’, iddah itu terbagi kedalam dua kategori,

Pertama, idaah yang terjadi karena wanita tersebut ditinggal mati oleh suaminya. Kondisi yang ditinggal mati ini adakalanya wanita tersebut dalam keadaan mengandung dan adakalanya dalam keadaan kosong. Apabila dalam mengandung masa iddahnya adalah menunggu sampai melahirkan. Apabila tidak dalam keadaan mengandung, dalam pengertian tidak ada benih di dalamnya, masa iddahnya empat bulan sepuluh hari.

Kedua, iddah yang terjadi bukan karena ditinggal mati suami. Ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang madsalah wanita hamil yan ditinggal mati oleh suaminya, hingga berlaku dua masa iddaah; iddah melahirkan dan iddah wafat.

Jumhur ulama fiqih menyatakan masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan, sekalipun masa kelahiran belum sampai empat bulan sepuluh hari

Menurut ali bin abi thalib dan ibn abbas iddah yang dipakai adalah yang terlama, jika wanita tersebut melahirkan, jika wanita tersebut melahirkan sebeum masa empat bulan sepuluh hari, jika telah lewat empat bulan sepuluh hari, tetapi wanita tersebut belum juga melhirkan maka iddahnya sampai sesudah melahirkan.

وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوءٍوَلَايَحِلُّلَهُنَّأَنْيَكْتُمْنَمَاخَلَقَاللَّهُفِيأَرْحَامِهِنَّإِنْكُنَّيُؤْمِنَّبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآَخِرِوَبُعُولَتُهُنَّأَحَقُّبِرَدِّهِنَّفِيذَلِكَإِنْأَرَادُواإِصْلَاحًاوَلَهُنَّمِثْلُالَّذِيعَلَيْهِنَّبِالْمَعْرُوفِوَلِلرِّجَالِعَلَيْهِنَّدَرَجَةٌوَاللَّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa wanita yang diceraikan atau ditinggal oleh suaminya, maka ia haruslah menunggu selama tiga quru’

Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu) atau menahan (diri mereka) dari kawin (selama tiga kali quru’) yang dihitung dari mulainya dijatuhkan talak.

Dan quru’ adalah jamak dari qar-un dengan mematahkan qaf, mengenai hal ini ada dua pendapat, ada yang mengatakannya suci dan ada pula yang mengatakannya haid.

Ini mengenai wanita-wanita yang telah dicampuri. Adapun mengenai yang belum dicampuri, maka tidak ada idahnya berdasarkan firman Allah, “Maka mereka itu tidak mempunyai idah bagimu. Juga bukan lagi wanita-wanita yang terhenti haidnya atau anak-anak yang masih di bawah umur, karena bagi mereka idahnya selama tiga bulan. Mengenai wanita-wanita hamil, maka idahnya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya sebagaimana tercantum dalam surah At-Thalaq, sedangkan wanita-wanita budak, sebagaimana menurut hadis, idah mereka adalah dua kali quru’ (Dan mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah pada rahim-rahim mereka) berupa anak atau darah haid, (jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.

Dan suami-suami mereka) (lebih berhak untuk merujuk mereka) sekalipun mereka tidak mau dirujuk (di saat demikian), artinya di saat menunggu itu (jika mereka menghendaki perbaikan) sesama mereka dan bukan untuk menyusahkan istri. Ini merupakan dorongan bagi orang yang berniat mengadakan perbaikan dan bukan merupakan syarat diperbolehkannya rujuk. Ini mengenai talak raj`i dan memang tidak ada orang yang lebih utama daripada suami, karena sewaktu masih dalam idah, tidak ada hak bagi orang lain untuk mengawini istrinya.

(Dan para wanita mempunyai) dari para suaminya (hak-hak yang seimbang) dengan hak-hak para suami (yang dibebankan kepada mereka) (secara makruf) menurut syariat, baik dalam pergaulan sehari-hari, meninggalkan hal-hal yang akan mencelakakan istri dan lain sebagainya. (Akan tetapi pihak suami mempunyai satu tingkat kelebihan) tentang hak, misalnya tentang keharusan ditaati disebabkan maskawin dan belanja yang mereka keluarkan dari kantong mereka. (Dan Allah Maha Tangguh) dalam kerajaan-Nya, (lagi Maha Bijaksana) dalam rencana-Nya terhadap hak-hak-Nya.

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa wanita yang mati suaminya harus menahan diri (beridah) selama satu tahun. Juga walaupun ayat ini kelihatannya umum (mencakup semua wanita yang ditinggal mati oleh suaminya) namun ia mempunyai pengertian khusus yaitu yang tidak dalam keadaan mengandung.

Sebab untuk wanita hamil, Allah telah memberikan hukum yang lain pada ayat yang lain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam tafsir ayat 240.

Idah perempuan yang mati suaminya empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu ia tidak boleh berhias-hias mempersiapkan diri menerima pinangan atau memberi janji untuk menerima pinangan.

Demikian juga ia tidak boleh keluar rumah kecuali karena hal-hal yang dibolehkan oleh agama. Karena selain masa itu untuk mengetahui kebersihan rahimnya (hamil atau tidak hamil), juga digunakan sebagai masa berkabung.

Manakala ia tidak hamil maka ia wajib berkabung menghormati tali hubungan suami istri baik terhadap mendiang suami maupun terhadap keluarga suaminya. Ia harus berkabung selama ia dalam idah.

Setelah habis masa empat bulan sepuluh hari tersebut dibolehkan membuat segala sesuatu tentang dirinya menurut cara yang wajar, umpamanya menerima pinangan dan keluar rumah dan perbuatan lain yang tidak bertentangan dengan agama.

Allah mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh manusia. Ayat ini menegaskan bahwa mengenai masa berkabung ini Islam memberikan jalan sebaik-baiknya yang sesuai dengan kebutuhan manusia.

Wanita-wanita pada masa jahiliah melakukan masa berkabung selama satu tahun penuh dan tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh memakan makanan yang enak dan tidak boleh pula memperlihatkan diri di muka umum.

Bahkan pada sebahagian kelompok masyarakat kaum wanita yang menjalani masa berkabung ini harus melakukan hal-hal yang jauh lebih berat dari apa yang dilakukan oleh orang di masa jahiliah seperti terus-menerus menangis dan meratap.

Tidak boleh mengurus dirinya dan lain sebagainya. Ada pula yang melakukan masa berkabung ini bukannya karena kematian suaminya saja karena kematian anak pun mereka berkabung secara demikian.

Maka tepatlah apa yang diatur oleh Islam bahwa masa berkabung untuk wanita yang kematian suami tidak boleh lebih dari empat bulan sepuluh hari dan untuk kematian famili lainnya tidak boleh lebih dari tiga hari.

Penyimpangan dari ketentuan ini harus dihindari karena Allah Maha Mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh manusia.

Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa bagi wanita-wanita yang telah diceraikan hendaknya menunggu selama tiga kali masa haid dari sejak dijatuhkannya thalaq kepadanya demi memastikan keadaan rahimnya, apakah ia hamil atau tidak, masa penantian ini adalah masa iddah bagi wanita yang telah disetubuhi oleh suaminya, maka setelah tiga kali haid ini baru boleh menikah lagi.

Selain itu, (wanita yang dithalq ini) juga tidak boleh menyembunyikan kehamilan dan mengingkarinya dengan tujuan agar tidak kembali kepada suaminya, atau karena ia lebih menyukai perpisahan dan melalui masa iddah.

Seseorang suami mempunyai hak untuk merujuk istrinya selam belum berakhir masa iddah tersebut, karena pada masa tersebut sang istri masih berada dibwah pemeliharaan dan tanggung jawabnya, itu pun jika ia (suami) menghendaki untuk kembali membangun hubungan keluarga yang harminis dengannya dan tidak untuk menyusahkannya . sementara istri mempunyai beberapa hak darinya, seperti mendaoatkan pergaulan yang baik darinya, kasih sayang dan juga nafkah,sebagaimana suami juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang lembut, pergaulan yang baik dan tidak dikhianati.

Suami juga mempunyai beberapa kelebihan dan keistimewaan atas para istrinya yaitu lebih disebabkan  oleh nafkah, perlindungan, dan tanggung jawab serta pergaulan mereka terhadap istrinya. Tetapi walau demikian halnya tidak berarti bahwa ia(suami) lebih baik darinya, karena kelebihan itu diukur dari ketaqwaaannya.

Q.s Al-Thalaq : 4

وَاللَّائِييَئِسْنَمِنَالْمَحِيضِمِنْنِسَائِكُمْإِنِارْتَبْتُمْفَعِدَّتُهُنَّثَلَاثَةُأَشْهُرٍوَاللَّائِيلَمْيَحِضْنَوَأُولَاتُالْأَحْمَالِأَجَلُهُنَّأَنْيَضَعْنَحَمْلَهُنَّوَمَنْيَتَّقِاللَّهَيَجْعَلْلَهُمِنْأَمْرِهِيُسْرًا

 

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah merekaituialahsampaimerekamelahirkankandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwakepada Allah, niscaya Allah menjadikanbaginya kemudahandalamurusannya.

Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak haid lagi iddahnya di perhitungkan dengan bulan, yaitu tiga bulan. Dan kalau dia masih haid maka iddahnya adalah tiga kali haid.

Dalam ayat ini juga berbicara tentang iddah dan ini diberikan tuntutan kepada suami untuk berfikir panjang sebelum mengambil keputusan yang pasti untuk menjatuhkan thalaq kepada istri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1]Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) Hal. 73

[2]Zainuddin Ali. Loc.Cit. Hal. 73

[3]Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya. (Jakarta : Sinar Grafika, 1996) Hal. 28-29

[4]Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: di bawah Naungan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 352.

[5]Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Hakam (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), 225.

[6]Ibid, 116.

[7]Ibid, 117.

[8]http://d-jabahri.blogspot.com/2008/08/al-quran-berbicara-tentang-talak.html. diakses pada tanggal 25 september 2019 pukul 21.00

[9]Ibid.

[10]Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Hakam, 119.

[11]Ibid, 123.

[12]http://d-jabahri.blogspot.com/2008/08/al-quran-berbicara-tentang-talak.html. diakses pada tanggal 9 mei 2015 pukul 10.00

[13]Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Hakam,123.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *