Muculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.
- Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?
- Bagaimana qawaid ahkam tentang talak?
- Bagaimana qawaid ahkam tentang khuluk?
- Bagaimana qawaid ahkam tentang iddah ?
- Tujuan Masalah
Untuk Mengetahui bagaimana putusnya perkawinan dan akibat hukumnya (talaq, khuluk, tafriq dan iddah)
BAB II
PEMBAHASAN
- Putusnya Pernikahan
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan seorang wanita sudah bercerai, dan salah seorang antara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan perkawinan suami istri dapat putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat dengan tali perkawinan.[1]
Perceraian dalam hukum Islam ialah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
“sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim)[2]
Berdasarkan hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutanya.
Putusnya perkawinan mungkin atas inisiatif suami, mungkin pula atas inisiatif istri. Menurut fiqih hanya suami yang berhak menceraikan istrinya yaitu dengan talak dan cukup secara lisan tanpa melalui penguasa. Istri dapat memohon cerai melalui pengadilan dengan jalan khulu’ dengan mengembalikan mahar (iwadh). Akan tetapi dalam hukum di Indonesia mengatur so’al perceraian tidak demikian sederhana, semula karena tadinya suami mempunyai hak untuk menalak istrinya seolah-olah tindakan sepihak, maka bentuk acaranya ialah dengan mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan agama. Tetapi dalam pelaksanaanya kemudian meskipun bernama permohonan (bersifat voluntair atau sepihak) menurut instruksi pihak termohon (istri) harus didengar, bahkan berhak mohon banding bila keputusan tidak menyenangkan baginya, jadi tidak ada bedanya dengan gugatan (bersifat contentious/dua pihak). Apabila menurut fiqih dulu suami telah dengan sungguh artinya mengucapkan talak, tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia, kini tidak demikian lagi.[3]
Putusnya ikatan pernikahan diakibatkan oleh beberapa sebab antara lain :
- Talak
Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan (Pasal 117 KHI).
Al-Qur`ân telah menunjukkan disyariatkan hal tersebut tatkala muncul perpecahan antara suami-istri dengan mengutus dua penengah dari keluarga mereka berdua, yang lebih mengutamakan memperbaiki hubungan pasangan suami-sitri sehingga mereka berdua padu kembali daripada bercerai dan terjadinya talak. Dua penengah ini menasehati dan mengingatkan mereka berdua dan memberitahukan kepada mereka dampak negatif perceraian dan madharat-madharatnya serta hancurnya kehidupan rumah tangga yang telah dibina bersama, serta penyesalan dan hati mereka berdua pasca perceraian, termasuk tercerai-berainya anak-anak dan kepahitan yang akan mereka rasakan.