Abu Hanifah, Zufar, Abu Yusuf, dan Muhammad berkata, jika nusyuz itu terjadi dari pihak perempuan, maka halal bagi laki-laki mengambil kembali sebanyak yang telah diberikannya, tapi jangan lebih. Tetapi kalau kesalahan terjadi dari pihak laki-laki, tidak halal bagi laki-laki itu mengambil sedikitpun juga dari istrinya.
Ibnu Qasim menyatakan pendapat yang diperolehnya dari Malik, boleh laki-laki mengambil pembayaran khulu’ lebih besar dari apa yang telah diberikannya dan halal baginya. Begitu juga walaupun kesalahan itu sengaja datang dari laki-laki, maka halal baginya mengambil pembayaran khulu’ itu, jika perempuan ridha dan tidak merasa berat. Menurut Tsauri, jika khulu’ itu atas kemauan perempuan, maka halal bagi laki-laki mengambilnya, seperti juga khulu’ itu terbit dari dari pihak laki-laki tidak halal baginya mengambil apapun dari perempuan itu. Sedangkan menurut Syafi’i, jika perempuan itu tidak menunaikan kewajibannya terhadap suaminya, halal tebusan talak itu bagi suaminya.
Menurut Ulama’ jumhur, jama’ah dari sahabat dan tabi’in, iddah perempuan khulu’ sama seperti iddah talak. Menurut Tirmidzi, demikian perkataan kebanyaan ahli ilmu,terdiri dari para sahabat, tabi’in dan lain-lain. mereka menerangkan bahwa perempuan yang di-khulu’ itu termasuk perempuan yang ditalak, menurut umumnya ayat Al-Quran.[10]
فَإِنْطَلَّقَهَافَلَاتَحِلُّلَهٗمِنْبَعْدُحَتّٰىتَنْكِحَزَوْجًاغَيْرَهٗۗفَإِنْطَلَّقَهَافَلَاجُنَاحَعَلَيْهِمَاأَنْيَّتَرَاجَعَاإِنْظَنَّاأَنْيُّقِيْمَاحُدُوْدَاللّٰهِۗوَتِلْكَحُدُوْدُاللّٰهِيُبَيِّنُهَالِقَوْمٍيَّعْلَمُوْنَ
Ayat ini menunjukkan bahwa setelah terjadinya talak yang ketiga maka tidak dapat dirujuk kembali. Rujuk dan khulu’ hanya dapat dilakukan sebelum terjadinya talak yang ketiga. Lebih jelasnya, jika suami memilih untuk menceraikan isterinya dengan perceraian yang tidak ada lagi kesempatan rujuk (talak ketiga), maka bekas isterinya itu tidak halal baginya untuk dinikahi sampai bekas isteri tersebut menikah dengan pria yang lain, selain bekas suami yang pertama.
“maka jika sudah ditalaknya (oleh suami yang kedua), tidaklah dosa bagi mereka berdua untuk menikah kembali.” Ayat ini menegaskan bahwa perempuan yang telah dicerai dengan talak tiga, tidak boleh kembali kepada bekas suaminya itu, sehingga dia kawin lebih dahulu dengan laki-laki lain dengan sah dang sudah bercampur, seperti yang telah diterangkan diatas. Adapun perkawinannya dengan suami yang kedua itu, seandainya hanya bermaksud supaya dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama maka perkawinan itu dinamakan “al-muhallil wal muhalla lahu”, atau yang lebih populer dalam ungkapan bahasa Indonesia perkawinan “cina buta”. Rasuullah mengumpamakan laki-laki yang berbuat seperti itu seperti kambing pinjaman, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Uqbah bin Amir, yang artinya : “belumkah aku ceritakan kepadamu tentang kambing pinjaman ?mereka menjawab belum. Maka kata Rasul pula,itulah dia Muhallil. Allah mengutuk muhallil dan muhallal lahu.”
Selain ini banyak lagi hadist yang menunjukkan bahwa perbuatan Muhallil itu termasuk dosa besar, karena dia adalah perbuatan yang terkutuk.
Menurut Abu Tsaur, Syafi’i dan golongan Hanafiyah, muhallil yang merusakkan pernikahan ialah apabila dalam pernikahan itu ada disyaratkan perceraian sesudah itu, supaya perempuan itu dapat kembali kawin kepada suaminya yang pertama. Tetapi jika dalam pernikahan itu tidak ada disyaratkan demikian, maka akad nikah itu adalah sah dan tidak termasuk di dalam asal muhallil ini.[11]
Jumhur ulama mensyaratkan lima hal bagi wanita yang telah di talak tiga, untuk kembali menjadi isteri si suami (suami yang telah mentalak tiga). Pertama, telah melakukan iddah dari talak yang ketiga. Kedua, melakukan akan nikah dengan suami atau pria lain (suami yang ke dua). Ketiga, telah disetubuhi oleh suami yang kedua tersebut. Keempat, ditalak oleh suami yang kedua. Kelima, melakukan iddah dari perceraian dengan suami yang kedua.[12]