1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah

     Maqashid al-syari’ah secara etimologi merupakan istilah gabungan dari dua kata: maqashid dan al-syari’ah. Maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad, qashd, maqshid atau qushud yang merupakan derivasi dari fi’il (kata kerja) qashada-yaqshudu dengan beragam maknanya, seperti tujuan, menuju suatu arah, jalan lurus, adil, tengah-tengah, dan tidak melampaui batas.( Ahmad bin Muhammad al-Muqri’, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’i, 1987: 192). Sementara al-syari’ah secara etimologi bermakna al-din (agama), millat, minhaj (metode), thariqah (jalan atau cara), serta sunnah. Adapun makna aslinya adalah jalan menuju mata air (Zaynuddin Abu Abdillah, 1999: 163). Sedangkan makna gabungan istilah tersebut yaitu maqashid al-syari’ah, ia berkembang dari makna paling sederhana hingga makna holistik. Di kalangan ulama klasik sebelum al-Syathibi, belum ditemukan definisi yang konkret dan komprehensif tentang maqashid alsyari’ah. Al-Bannani misanya, memaknai maqashid al-syari’ah dengan hikmah hukum; al-Asnawi mengartikannya dengan tujuan-tujuan hukum; sementara al-Ghazali, al-Amidi, dan Ibnu al-Hajib mendefinisikannya dengan menggapai manfaat dan menolak mafsadat (Umar bin Shalih bin Umar, Maqashid al-Syariah ‘inda al-Imam al-‘Izz bin Abd al-Salam, 2003: 88). Dari variasi definisi tersebut mengindikasikan kaitan erat antara maqashid al-syari’ah dengan illat, hikmah, tujuan dan kemaslahatan.

       Adapun makna maqashid al-syari’ah menurut ulama kontemporer adalah tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat (Allal al-Fasi, Maqashid al-Syariah wa Makarimuha,1991: 7). Senada dengan pengertian tersebut, Ahmad al-Raysuni memberikan definisi maqashid al-syari’ah sebagai tujuan atau motif dibalik penetapan syariat yang ditujukan guna merealisasikan kemaslahatan para hamba (Ahmad al-Raysuni, Nazhariyah al-Maqashid ‘inda al-Syathibi, 1995 : 19). Kemudian, Wahbah al-Zuhaili mengartikan maqasid alsyariah sebagai nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariat, yang ditetapkan oleh al-syari’ (Allah) pada setiap ketentuan hukumnya (Wahbah al-Zuhayli, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, 1995 : 217). Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa maqashid al-syari’ah adalah, nilai-nilai, hikmah-hikmah dan lain sebagainya yang dijaga eksistensinya oleh Allah dalam setiap syariat guna memberikan kemaslahatan untuk para hamba.

      Maqashid al-syari’ah memiliki tiga tinjauan kemaslahatan yang harus dijaga secara hierarki. Kemaslahatan tersebut adalah maslahat dharuriyyah, hajiyah dan tahsiniyah (Abu Ishaq al-Syathibi, Taysir al-Muwafaqat, 2009: 145-147). Pertama, dharuriyyah. Ia merupakan sesuatu yang tidak boleh tiada demi tegaknya kesejahteraan, baik terkait urusan dunia maupun akhirat. Jika maslahat ini hilang, maka hilang dan lenyaplah kesejahteraan serta kemaslahatan dalam kehidupan dunia maupun akhiratnya. Menurut Imam al-Syathibi, dharuriyyah mencakup upaya-upaya memilihara eksistensi lima tujuan pokok dan prisnsipil (haifdzu al-din atau agama, hifdzu al-nafs atau jiwa, hifdzu al-‘aql atau akal, hifdzu al-nasb/al-nasl atau nasab/keturunan, hafdzu al-mal atau harta) yang sering disebut dengan al-kuliyyat al-khams, al-dharuriyyah al-khamsah atau al-ushul al-khamsah (Abu Ishaq al-Syathibi, Tahdzib al-Muwafaqat, h. 114. Lihat juga: Ahmad al-Raysuni, Muhazharat fi Maqashid alSyari’ah, (Kairo: Dar al-Kalimah, 2014, h. 195). Kedua, terkait maslahat hajiyah (Sekunder). Dalam pandangan al-Syathibi, maqashid atau maslahat hajiyah yaitu sesuatu yang dibutuhkan demi mendatangkan kelapangan, maslahat atau manfaat, dan menghilangkan kesempitan atau kesulitan yang jika luput/hilang tidak mengangncam kehidupan namun melahirkan kesukaran. Ketiga, maslahat tahsiniyah (tersier). Maqashid tahsiniyyah yaitu sesuatu yang berfungsi sebagai pelengkap atau komplementer. Menurut Imam al-Syathibi, maslahat tahsiniyah adalah segala sesuatu terkait memperhatikan kebiasaankebiasaan baik dan menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk dengan berdasarkan pertimbangan akal sehat. Perkara ini juga sering disebut dengan kemuliaan akhlak (Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah , tahqiq. Abdullah Darraz, (Alexandria: Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t, vol. 2, h. 14). Masih menurut al-Syathibi, maslahat tahsiniyah bermuara pada kebaikan-kebaikan yang melengkapi prinsip maslahat dharuriyyah dan tahsiniyyah. Sebab ketiadaan tahsiniyah tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap eksistensi maslahat dharuriyyah maupun hajiyah.

     Kata maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang artinya “maksud dan tujuan”. Sedangkan syariah bermakna “hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”. Sedangkan Wahbah al-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menuliskan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syariat dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah Jilid II mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan syariat adalah demi terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, penetapan hukum harus mengarah pada terwujudnya tujuan tersebut. Lebih lanjut, Al-Syatibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama (Hifdzu al-Diin), jiwa (Hifdzu al-Nafs), akal (Hifdzu al-‘Aql), keturunan (Hifdzu al-Nasl), dan harta (Hifdzu al-Maal).

  1. Perspektif Maqashid Al-Syari’ah Terhadap Upaya Pencegahan Stunting

     Stunting merupakan masalah kesehatan yang serius di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang berdampak pada perkembangan fisik dan kognitif anak. Fenomena ini disebabkan oleh malnutrisi kronis pada periode 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari kehamilan hingga dua tahun pertama kehidupan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi prevalensi stunting, salah satunya adalah melalui peningkatan gizi ibu hamil dan anak. Namun, pencegahan stunting dari perspektif Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syariah) dapat memberikan landasan yang lebih komprehensif, tidak hanya dalam aspek fisik dan kesehatan, tetapi juga dalam pemenuhan hak dasar manusia, khususnya anak-anak.

      Maqashid al-Syari’ah, secara sederhana, merujuk pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh syariat Islam. Tujuan utama syariah adalah untuk melindungi lima aspek pokok kehidupan manusia, yang dikenal dengan istilah Hifdzu al-Diin (perlindungan agama), Hifdzu al-Nafs (perlindungan jiwa), Hifdzu al-‘Aql (perlindungan akal), Hifdzu al-Nasl (perlindungan keturunan), dan Hifdzu al-Maal (perlindungan harta). Dalam konteks pencegahan stunting, aspek yang paling relevan adalah Hifdzu al-Nafs (perlindungan jiwa) dan Hifdzu al-Nasl (perlindungan keturunan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *