Akad Nikah Catin Difabel
Oplus_16908288

Akad Nikah Catin Difabel

H. Deni Firman Nurhakim

(Penghulu Ahli Madya/Kepala KUA Karawang Timur Kab. Karawang Prop. Jawa Barat)

 

Buku saku bertajuk “Pedoman Akad Nikah” yang diterbitkan Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (2008) sebagai pegangan praktis bagi penghulu dalam menjalankan tugasnya di lapangan tidak menjelaskan mengenai tata cara akad nikah bilamana calon pengantin (catin) prianya difabel, khususnya penyandang tuna wicara dan tuna rungu. Padahal, -sekalipun sangat jarang- dipastikan para penghulu akan memimpin peristiwa nikah yang tidak biasa tersebut. Sehubungan demikian, tulisan singkat ini diharapkan dapat mengisi kekosongan informasi dalam buku pedoman penghulu di atas.

***

Pengertian Difabel

Istilah difabel merupakan pengindonesiaan dari kependekan istilah bahasa Inggris “different abilities people” yang berarti orang dengan kemampuan yang berbeda. Melalui istilah difabel, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan menjadi pemahaman sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda (lihat “Difabel dan Pendidikan”, Edisi 6 Maret 2009 dalam www.lifesupportalchemist.wordpress.com).

Kini, terma ‘difabel’ sohor digunakan orang sebagai bentuk eufemisme dari terma ‘penyandang cacat’ yang dinilai banyak orang menyudutkan si empunya. Kalangan yang termasuk difabel ini antara lain: tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, cacat mental, dan cacat kronis. Untuk keperluan tulisan ini, terma difabel dibatasi pada tuna rungu dan tuna wicara.

 

Kesahihan Akad Nikah

Sebagaimana bisa dibaca di banyak literatur fiqh yang masyhur dan peraturan perkawinan yang berlaku (lihat pasal 4 dan 14 KHI), kesahihan akad nikah itu tergantung pada terpenuhi-tidaknya rukun-rukun nikah berikut syarat-syaratnya. Menurut pendapat kalangan Syafi’iyyah yang diadopsi KHI (Al-Jaziri, 2003:12) rukun nikah itu ada lima, yaitu: a. catin pria; b. catin wanita; c. wali; d. dua orang saksi; dan e. ijab-qabul. Dari kelima rukun nikah tersebut, yang menjadi fokus bahasan kita adalah soal ijab-qabulnya.

Suatu ijab-qabul itu dinilai sah apabila, kedua belah pihak sudah tamyiz (baca: ‘aqil baligh); ijab-qabul dilakukan dalam satu majelis; ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab; dan keduanya bisa mendengarkan pernyataan masing-masing (Sabiq, 1983: 29-30). Karena keterbatasan kaum difabel, syarat yang terakhir ini cenderung tidak bisa dilakukan oleh mereka sebagaimana lazimnya. Sehingga kalau dipaksakan, dikhawatirkan akan mengganggu kekhidmatan prosesi akad nikah yang dilakukan.

 

Beberapa Skenario

Menghadapi situasi seperti itu, seorang penghulu dituntut mampu memutuskan pilihan yang tepat sesuai kondisi nyata di lapangan. Untuk itu, hemat penulis, setidaknya ada dua skenario yang bisa dijadikan gambaran.

Pertama, apabila para “aktor” utama yang terkait dengan pernikahan ini (catin pria, wali, dan dua saksi) adalah kaum difabel juga atau orang yang memahami bahasa isyarat kalangan difabel, maka tindakan yang lebih utama adalah qabul dilakukan secara langsung oleh catin pria difabel menggunakan bahasa isyarat yang juga dipahami oleh wali dan dua orang saksi tersebut, semisal menggunakan bahasa isyarat tangan atau lainnya, seperti angukan kepala sebagai bentuk penerimaan.

Ketentuan di atas berdasarkan kaidah fiqhiyyah, “Al-‘Ibrotu fil ‘Uquudi lil Ma’aani, Laa lil Alfhaadzii wal Mabaanii” (yang dijadikan pegangan dalam akad-akad adalah maksud atau makna BUKAN lafal dan bentuk perkataan). Jadi, sekalipun menggunakan bahasa isyarat tangan atau angukan kepala yang miskin bunyi, asalkan selaras dengan maksud si penutur yang menerima ijab dari wali, maka secara hukum akad nikah tersebut dinilai sah dan bisa diterima.

Kedua, apabila para “aktor” utama -selain catin pria- adalah bukan kaum difabel dan tidak memahami bahasa isyarat kalangan difabel, maka tindakan yang lebih utama adalah qabul dilakukan secara langsung oleh catin pria difabel menggunakan bahasa tulisan yang lugas dan jelas (shorih). Karena bahasa tulisan tersebut dinilai bisa lebih mewakili ungkapan isi hati seseorang daripada bahasa isyarat yang dikategorikan kinayah. Namun, apabila yang bersangkutan tidak bisa menulis, maka diperbolehkan menggunakan bahasa isyarat asalkan para pihak terkait yang hadir saat akad juga bisa memahami maksudnya (Az-Zuhayli, 1989: 46).

***

 ‘Alaa kulli haal, bagi banyak orang, akad nikah dinilai sebagai prosesi yang sangat sakral. Oleh karena itu, penghulu sebagai petugas yang memimpin jalannya akad nikah seyogianya memiliki komitmen untuk melayani masyarakat sebaik mungkin. Dan bangunan komitmen tersebut harus didirikan di atas asas profesionalitas dan kreatifitas dari yang bersangkutan. Wallaahu a’lamu bis showaab.

Daftar Pustaka

Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitabu Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Beirut: Darul Fikri, 2003, tc, Juz ke-4

Az-Zuhayli, Wahbah. Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu. Damsyiq: Darul Fikri, 1989, Cet. 3, Juz ke-7

Difabel dan Pendidikan”, Edisi 6 Maret 2009 dalam www.lifesupportalchemist.wordpress.com

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001, tc

Pedoman Akad Nikah. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2008, tc

Sabiq, As-Sayyid. Fiqhus Sunnah. Beirut: Darul Fikri, 1983, Cet. 3, Juz ke-2

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *