Oleh: Deni Firman Nurhakim

(Kepala KUA Kecamatan Karawang Timur Kab. Karawang, Jawa Barat)

Pendahuluan

Dalam kebanyakan akad nikah yang dihadiri, penulis sering menyaksikan wajah-wajah tegang, terutama calon pengantin (catin). Tampaknya, ketegangan itu muncul akibat rasa khawatir yang berlebihan atas kelancaran prosesi ijab-qobul. Sepintas, terasa wajar. Karena bagi ahasan catin, akad nikah yang akan dilangsungkan adalah yang perdana. Namun ternyata, ketegangan serupa juga dirasakan oleh pasangan catin yang melangsungkan akad nikah bukan untuk pertama kalinya. Setelah dicermati, ternyata, ketegangan itu berpangkal pada prosesi akad nikah yang telah memiliki pakem sendiri di masyarakat. Dan sayangnya, ahasan pakem itu tergolong mitos yang perlu diklarifikasi keabsahannya secara hukum, baik fiqh maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pa.kem ada dua pengertian. Pertama, kata sifat (adjektiva) bermakna kuat mencekam (tentang rem); Kedua, kata benda (nomina) berasal dari ahasa Jawa bermakna cerita wayang yang asli.[1]

 

Namun, yang dimaksud pakem dalam konteks tulisan ini adalah alur rangkaian kegiatan yang di-baku-kan atau dianggap baku/resmi oleh masyarakat.

 

Sedangkan mi·tos n diartikan sebagai cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib;
me·mi·tos·kan v mengeramatkan, mengagungkan secara berlebih-lebihan tentang pahlawan, benda, dan sebagainya; menjadikan mitos; mendewakan;
pe·mi·tos·an n proses, cara, perbuatan menjadikan mitos; pendewaan.[2]

 

Namun, yang dimaksud mitos dalam konteks tulisan ini adalah pendapat/paham dari ahli fiqih yang digunakan letterlijk secara berlebihan oleh orang yang ditokohkan masyarakat, sehingga diyakini oleh masyarakat sebagai suatu keharusan.

 

Tulisan ini berupaya untuk mendudukkan pakem dalam akad nikah secara proporsional, dan berusaha menjelaskan pakem yang termasuk mitos dengan penjelasan yang merujuk pada keterangan dalam kitab-kitab fiqh munakahat dan sedapat mungkin juga dari peraturan perundang-undangan tentang pernikahan yang berlaku.

 

***

 

Akad Nikah Lebih Utama Menggunakan Bahasa Arab?

Dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai bahasa yang sebaiknya digunakan dalam akad nikah. Sehingga aturan dalam fiqh munakahat yang dijadikan acuan pelacakan.

 

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni -sebagaimana dikutip Sayid Sabiq[3]– berpendapat, bagi catin yang memahami bahasa Arab dengan baik, maka ijab-qabulnya harus menggunakan bahasa Arab. Sehingga apabila yang bersangkutan menggunakan bahasa selain Arab maka ijab-qobulnya tidak sah. Adapun catin yang tidak memahami bahasa Arab, maka ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, asalkan semakna dengan kata “nikah” dan “tazwij”. Dan kewajibannya menggunakan bahasa Arab menjadi gugur.

 

Berbeda dengan Ibnu Qudamah, Imam Abu Hanifah berpendapat, sah akad nikah menggunakan bahasa selain bahasa Arab, sekalipun yang bersangkutan memahami bahasa Arab. Karena yang terpenting, kata-kata yang digunakan semakna dengan kata-kata dalam bahasa Arab. Pandangan tersebut senada dengan pendapat Jumhur Ulama Syafi’iyah[4] yang membolehkan akad nikah menggunakan bahasa selain Arab, asalkan dapat dimengerti. Karena yang menjadi inti suatu akad adalah adanya ungkapan kehendak. Dan ungkapan tersebut bisa dinyatakan dalam aneka ragam bahasa.

 

Pendapat Ibnu Taimiyah pun layak digarisbawahi[5]. Menurutnya, orang nonArab yang belajar bahasa Arab secara dadakan bisa jadi ia tidak memahami bahasa tersebut sebaik bahasanya sendiri.

 

Dari paparan di atas menjadi maklum, bahwa yang menjadi pokok dalam akad nikah adalah adanya kesepahaman antara para pihak yang melakukan ijab-qabul, bukan bahasa yang digunakan. Sehingga, bila orang yang tidak memahami bahasa Arab dengan baik “dipaksa” melakukan akad nikah dalam bahasa Arab selain tidak elok juga dikhawatirkan menimbulkan keraguan tentang kesahihan prosesi ijab-qobul yang dilangsungkan. Karena berdasarkan pengalaman penulis bertugas di lapangan, tidak semua catin yang menginginkan akad nikahnya menggunakan bahasa Arab itu memahami dengan baik makna dari kata-kata ijab-qabul tersebut. Begitu pula, para saksi. Keinginan catin tersebut tidak jarang berasal dari keinginan orang-orang lain, semisal calon mertua dan guru ngajinya ataupun anjuran tokoh kharismatik setempat yang masih dianggap tabu untuk diabaikan.

 

Ijab Qabul harus Lancar dan Satu Tarikan Nafas?

Terkait hal ini, KHI pasal 27 menyebutkan, “Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu”. Tidak jarang, berdasarkan pemahaman atas ketentuan tersebut secara letterlijk, ijab kabul harus diulang berkali-kali karena masih dinilai tersendat-sendat dan tidak nyambung (ittishol) antara ijab dan qabul. Bahkan, dalam sebuah kesempatan akad nikah yang dihadiri penulis, ijab-qabul tersebut harus diulang oleh wali dan catin pria dengan susah-payah sampai lima kali! Dan itu pun baru berhasil dilakukan karena lafal qabul-nya ditulis di secarik kertas dan kemudian dibacakan catin pria. Yang empat kali sebelumnya dinilai tidak sah oleh para saksi karena ya itu tadi: tersendat-sendat dan tidak lancar, sehingga ijab-qabul tersebut dianggap tidak beruntun dan berselang waktu. Sesulit itukah ijab-qabul dalam pernikahan Islam?

 

Kebanyakan ulama sepakat, bahwa berlangsungnya ijab-qabul dalam satu majelis adalah syarat sahnya akad nikah dari segi sighat. Artinya, ketika mengucapkan ijab-qabul tersebut tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut kebiasaan setempat ada selingan (selain akad nikah) yang menghalangi peristiwa ijab-qabul.

 

Yang masih diperselisihkan adalah menyangkut kesegeraan mengucapkan sighat qabul sesudah ijab[6]. Mazhab Hanbali dan Hanafi sependapat bahwa kesegeraan mengucapkan qabul sesudah ijab tidaklah menjadi syarat, asalkan masih dalam satu majelis menurut kebiasaan setempat (‘urfi). Mazhab Syafi’i dan Maliky sependapat bahwa kesegeraan tersebut adalah syarat sah ijab qabul. Menurut kedua mazhab ini, antara ijab-kabul tidak boleh ada pemisah, kecuali yang dapat ditoleransi (baca: sebentar). Sehubungan demikian, penulis sependapat dengan Ibrahim Hosen[7] yang menyimpulkan, shighat qabul itu tidak harus diucapkan dengan lancar atau dalam satu tarikan nafas. Karena yang penting, ijab-qabul tersebut terjadi dalam satu majelis. Dan menurut Ibnu Qudamah, selama terjadinya akad nikah tetap dipandang satu majelis.

 

Saksi: Pengesah Akad Nikah?

 

Sebagaimana tercantum dalam pasal 2:1 UU No 1/1974 tentang perkawinan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, yang menjadi penentu sah/tidaknya suatu pernikahan orang Islam adalah bisa dilacak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam (fiqh Islam) soal itu. Dalam ketentuan fiqh Islam yang masyhur yang kemudian diadopsi dalam pasal 14 KHI, secara singkat dapat ditegaskan bahwa pernikahan itu sah apabila telah terpenuhi 5 rukun nikah (calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qobul), berikut syarat-syarat yang mengiringinya.

Yang menjadi persoalan di sini, siapa pihak yang berhak dan berwenang menetapkan sah/tidaknya akad nikah? Apakah saksi nikah, sebagaimana yang biasa terjadi? Ataukah penghulu?

Menurut hemat penulis, dengan melihat fungsi saksi dalam akad nikah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, saksi bukan pihak yang berhak mengesahkan akad nikah. Keberadaannya memang penting, karena di masa sekarang (sesaat setelah akad nikah) fungsinya adalah untuk mengumumkan telah terjadi suatu pernikahan. Dan di masa mendatang, fungsinya adalah untuk mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan bila terjadi pengingkaran pernikahan.

Dengan demikian, mempertimbangkan kedudukan penghulu sebagai pihak yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk oleh Menteri Agama[8] atas nama Presiden selaku pemangku ulul amri di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pihak yang berhak untuk menyatakan dan menetapkan sah tidaknya setiap tahapan dalam proses pernikahan, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, pengumuman kehendak nikah, dan pelaksanaan akad nikah menurut hukum Islam yang dilakukan oleh warga negara/penduduk Indonesia yang beragama Islam. Kenyataan tersebut, menurut Suma[9] harap disadari dengan sesadar-sadarnya oleh para penghulu. Itulah sebabnya, di setiap akhir prosesi akad nikah, penghulu diminta untuk mengumumkan bahwa upacara akad nikah telah selesai dan kedua pengantin telah sah menurut hukum sebagai suami isteri[10].

 

2 thoughts on ““Mitos-Mitos” dalam Akad Nikah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *