Alur dan dokumen pendaftaran nikah hari ini memungkinkan bagi calon pengantin (catin) untuk mengetahui apakah perkawinan yang akan mereka laksanakan tergolong dalam kawin hamil atau tidak. Hal ini karena di antara alur dan dokumen yang harus terpenuhi sebagai syarat mengajukan perkawinan adalah tes kesehatan dan imunisasi yang menyertakan tes kehamilan calon pengantin perempuan.
Istilah kawin hamil sendiri dimaksudkan bagi pasangan catin yang telah melakukan hubungan suami istri sebelum adanya perkawinan yang sah dan kemudian terjadi kehamilan dari hubungan tersebut. Definisi ini merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 nomor 1 yang menyebutkan, “seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”.
Menurut penulis, masalah kawin dalam konteks perkawinan dan peradilan di Indonesia dapat dibagi menjadi dua gambaran: kawin hamil yang kelahiran anaknya nanti lebih dari enam bulan usia kandungan dan yang kelahirannya kurang dari enam bulan. Pangkal dari adanya pembagian ini adalah kaidah yang menyebutkan bahwa usia kandungan minimal adalah enam bulan.
Masing-masing dari gambaran ini nantinya memiliki implikasi hukum tersendiri baik dari aspek hukum perkawinannya atau dari aspek hukum peradilannya. Penulis turut menyertakan hukum peradilan dalam masalah ini karena ada prosedur hukum yang harus ditempuh bagi pasangan kawin hamil sesuai dengan pendapat yang menurut penulis lebih relevan.
Menurut opini penulis, fikih munakahat (perkawinan) yang lebih relevan untuk diterapkan dalam masalah kawin hamil, entah itu pada gambaran pertama atau kedua, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Sayyid ‘Abd al-Rahman dalam dua masalah yang ia tulis dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin yang menjadi bagian dari mazhab Syafii,
نَكَحَ حَامِلًا مِنَ الزِّنَا فَوَلَدَتْ كَامِلًا كَانَ لَهُ أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ. إِمَّا مُنْتَفٍ عَنِ الزَّوْجِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا مِنْ غَيْرِ مُلَاعَنَةٍ وَهُوَ الْمَوْلُوْدُ لِدُوْنِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ إِمْكَانِ الْإجْتِمَاعِ بَعْدَ الْعَقْدِ، أَوْ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ آخِرِ إِمْكَانِ الْإجْتِمَاعِ. وَإمَّا لَاحِقٌ بِهِ وَتَثْبُتُ لَهُ الْأَحْكَامُ إِرْثًا وَغَيْرَهُ ظَاهِرًا وَيَلْزَمُ نَفْيُهُ، بِأَنْ وَلَدَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ السِّتَّةِ وَأَقَلَّ مِنْ الأَرْبَعِ السِّنِيْنَ وَعَلِمَ الزَّوْجُ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ، بِأَنْ لَمْ يَطَأْ بَعْدَ الْعَقْدِ وَلَمْ تَسْتَدْخِلْ مَاءَهُ.
“Seorang laki-laki menikahi perempuan hamil dari zina kemudian melahirkan seorang anak, maka ada kalanya menempati 1 dari 4 kondisi; 1). Ada kalanya dinafikan dari suaminya (laki-laki tadi) lahir dan batin tanpa harus dili‘an. Yakni ketika anak tadi lahir kurang dari 6 bulan dari kemungkinan terjadinya hubungan suami-istri setelah akad atau lebih dari 4 tahun sejak kemungkinan terjadinya hubungan suami-istri; 2). Ada kalanya bertemu nasab dengan suaminya (laki-laki tadi) dan memiliki implikasi hukum seperti waris dan lainnya hanya sebatas lahir saja serta wajib bagi suaminya untuk menafikan anaknya. Yakni ketika anak tersebut lahir lebih dari 6 bulan dan kurang dari 4 tahun dari kemungkinan terjadinya hubungan suami-istri dan si suami yakin atau kuat persangkaannya bahwa anak tersebut bukan darinya. Seperti ketika ia tidak berhubungan dengan istrinya dan istrinya tidak memasukkan mani suaminya ke dalam rahimnya.” (Bughyah al-Mustarsyidin: 1,486)
مُلَخَّصَةٌ مَعَ زِيَادَةٍ مِنَ الْإِكْسِيْرِ الْعَزِيْزِ لِلشَّرِيْفِ مُحَمَّد بن أَحْمَد عَنْقَاء فِيْ حَدِيْثِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ الخ إِذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ فِرَاشًا لِزَوْجِهَا أَوْ سَيِّدِهَا فَأَتَتْ بِوَلَدٍ مِنَ الزِّنَا كَانَ الْوَلَدُ مَنْسُوْبًا لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ لَا إَلَى الزَّانِي فَلَا يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ وَلُا يُنْسَبُ إِلَيْهِ ظَاهِرًا وَلَا بَاطِنًا وَإِنْ اسْتَلْحَقَهُ. وَمِنْ هُنَا يُعْلَمُ شِدَّةُ مَا اشْتَهَرَ أَنَّهُ إِذَا زَنَى شَخْصٌ بِإمْرَأَةٍ وَأَحْبَلَهَا تَزَوَّجَهَا وَاسْتَلْحَقَ الْوَلَدَ فَوَرِثَهُ وَوَرِثَهُ زَاعِمًا سَتْرَهَا، وَهَذا مِنْ أَشَدِّ الْمُنْكَرَاتِ الشَّنِيْعَةِ الَّتِي لَا يَسَعُ أَحَدًا السُّكُوْتُ عَنْهَا فَإِنَّهُ خَرْقٌ لِلشَّرِيْعَةِ وَمُنَابَذَةٌ لِأَحْكَامِهَا
“Kesimpulan dengan sedikit penambahan dari kitab Al-Iksir al-‘Aziz karya Syarif Muhammad ibn Ahmad ‘Anqa’ terkait hadis “al-walad li al-firasy”. Ketika ada seorang wanita yang menjadi firasy (istri atau budak) bagi suami atau sayyidnya kemudian melahirkan seorang anak dari hubungan perzinaan maka anak yang lahir tersebut menjadi milik bagi pemilik firasy, bukan milik bagi pezinanya (ayah biologisnya) lahir dan batin, meskipun pezinanya ini mengupayakan pengakuan nasab. Dari sini diketahui betapa buruknya seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian menghamilinya dan menikahinya serta berupaya mengakui nasabnya sehingga bisa saling mewaris satu sama lain, dengan maksud menutup-nutupi perbuatannya. Hal ini termasuk kemungkaran yang sangat berat dan menjijikkan yang bagi siapa pun tidak diperkenankan mengabaikannya. Karena hal ini merusak tatanan syariat dan mengesampingkan hukum-hukum yang ada.” (Bughyah al-Mustarsyidin: 2, 18)
Inti dari pendapat ini adalah pasangan yang telah melakukan hubungan suami istri di luar perkawinan yang sah kemudian hamil dan menikah maka kendati secara hukum lahir anak tersebut dapat memiliki hubungan nasab kepada ayah biologisnya, ayah biologisnya ini tetap dikenakan kewajiban melakukan pengingkaran anak (nafy).
Pendapat yang diikuti di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam KHI pasal 99 tentang definisi anak yang sah, “Anak yang sah adalah a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”, agaknya merujuk kepada mazhab Hanafi sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Mazah berikut ini,
رجل زنى بامرأة فحملت منه فلما استبان حملها تزوجها الذي زنى بها فالنكاح جائز، فإن جاءت بالولد بعد النكاح لستة أشهر فصاعداً يثبت النسب منه وترث منه، لأنها جاءت به في مدة حمل بأنه عقيب نكاح صحيح، فإن جاءت به لأقل من ستة أشهر لا يثبت النسب ولا ترث منه إلا أن يقول: هذا الولد مني ولم يقل من الزنى.
Ketika ada seseorang berzina dengan perempuan sampai hamil, kemudian menikahinya, maka bila ia melahirkan setelah enam bulan atau lebih, nasab anak tersebut bisa sambung dengan suaminya, tapi bila anak lahir kurang dari enam bulan, maka anak tidak bisa sambung dengannya, kecuali suami mengakui itu anaknya dan tidak mengatakan anak hasil zina. (Ibn Mazah, Al-Muhith al-Burhani)
Menurut penulis, pendapat ini kurang tepat diterapkan dalam masalah kawin hamil. Alasannya karena, pertama, hasil pemeriksaan PPN telah dengan jelas mendapati bahwa kehamilan tersebut berasal dari pembuahan di luar perkawinan yang sah. Dalam proses pemeriksaan atas pengajuan pendaftaran nikah, ayah biologisnya ini umumnya telah mengakui (iqrar) asal muasal kehamilan tersebut. Oleh karenanya, masalah kawin hamil ini masuk dalam pengecualian pendapat mazhab Hanafi di atas.
Kedua, Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh memberikan catatan terhadap pendapat mazhab Hanafi ini dengan,
إن هذا الإقرار بالولد يثبت به نسبه منه لاحتمال عقد سابق أو دخول بشبهة، حملاً لحال المسلم على الصلاح وستراً على الأعراض.
“Sesungguhnya pengakuan anak ini yang menyebabkan tetapnya nasab adalah karena adanya kemungkinan terjadinya akad (nikah) terdahulu atau hubungan suami istri yang syubhat. Hal ini karena asas kesalehan pada diri seorang muslim serta penjagaan atas harga dirinya”. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh: 9, 6648)
Sehingga bagaimana bisa diarahkan pada kemungkinan nikah siri (akad terdahulu) atau asas kesalehan jika dari awal telah didapati pengakuan ayah biologisnya atas pembuahan di luar nikah yang telah dilakukan?
Karena dua alasan inilah, menurut penulis, pendapat yang lebih tepat diikuti adalah pendapat yang tidak mutlak menghubungkan nasab anak zina kepada ayah biologisnya. Pertanyaannya kemudian, prosedur apa yang lantas harus ditempuh ayah biologis si anak ini? Jawabannya ada pada ulasan berikutnya, insya Allah. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []