Fenomena Dokumen Kependudukan tidak sama dengan fakta dalam Pendaftaran Nikah seringkali terjadi di KUA-KUA. Dalih yang disampaikan oleh calon pengantin atau keluarganya menjadikan dikotomi (membenturkan) antara sahnya hukum perkawinan dan pencatatan sebagai administrasi. pada tata administrasi tersebut dianggap tidak penting dan sebatas dokumen administrasi belaka yang tidak berakibat hukum. Akibatnya seringkali terjadi perselisihan dan mengakibatkan benturan (dikotomi) antara KUA dengan warga masyarakat ketika calon pengantin atau keluarganya ketika adanya keharusan melakukan perubahan dokumen pendaftaran nikah yang tidak sesuai dengan faktanya.
Usaha dan upaya calon pengantin untuk mencatatkan pernikahan yang sesuai dengan fakta tersebut terus dilakukan. Apabila pencatatan nikah dilakukan dengan dasar dokumen kependudukan yang salah (baca: keliru dan harus ada pembetulan) oleh KUA, maka sejatinya KUA dan fihak-fihak yang terlibat telah melakukan penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum. Akibat perbuatan tersebut KUA dan fihak-fihak yang terlibat dapat (patut diduga) terjerat sanksi hukum. Sebab pernikahan adalah sebagian dari peristiwa penting dalam kehidupan setiap warga negara yang harus dicatat. Pencatatan peristiwa penting selain pernikahan adalah kelahiran, kematian dan perceraian. Ketentuan tersebut telah tertuang dan diatur dalam Peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 23 Tahun 2006, dan perubahannya UU. No. 24 Tahun 2013. Khusus pencatatan perkawinan ditegaskan lebih kuat lagi dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 32 Tahun 1954 joncto UU. No. 22 Tahun 1946 khusus umat Islam. Hal ini sebagai bentuk kewajiban setiap warga negara agar negara dapat memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan hak-hak hukum setiap warga negara, mendapatkan perlindungan dan hak-hak lainnya.
Pelaksanaan teknis pencatatan peristiwa penting tersebut telah diatur secara detail dan rigit dalam bentuk aturan turunan di bawah Undang-undang tersebut seperti Peraturan Pemerintah atau peraturan Menteri sesuai tugas dan fungsi masing-masing Menteri yang menjadi domain kewenangannya. Pelaksanaan teknis pencatatan kelahiran dan kematian berada pada kewenangan Dispendukcapil. Pencatatan perceraian bagi muslim ditugaskan pada Pengadilan Agama (PA) dan yang non Muslim di Pengadilan Negeri (PN) (lihat: pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama)
Adapun Pencatatan perkawinan bagi muslim ditugaskan pada Kementerian Agama (KUA) dan non Muslim di Dispendukcapil (lihat: PP No. 9 Tahun 1975). Dalam ketentuan awal, baik sebagaimana PP No. 9 Tahun 1975 PPN diharuskan untuk memeriksa dan menghadiri peristiwa perkawinan. Dalam konteks ini, ada dua kepentingan hukum:
- Hukum Negara
Peristiwa terjadinya perbuatan hukum berupa perkawinan harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat untuk menjamin peristiwa hukum tersebut tidak ada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang dilanggar. Kemudian peristiwa hukum tersebut harus dituangkan dalam bentuk Akta Autentik.
- Hukum Agama
Perkawinan adalah masalah hukum yang juga diatur oleh hukum agama. Karenanya seringkali terjadi benturan atau dibentur-benturkan antara hukum agama dan hukum negara. Hal ini disebabkan karena setiap terjadi perkawinan PPN (Islam dan Non Islam) harus melakukan pemeriksaan dan menyaksikan terjadinya peristiwa perkawinan untuk memastikan terpenuhi ketentuan syarat sesuai agama.
Dari aspek hukum agama inilah yang menjadi perbedaan proses pencatatan perkawinan antara Islam dan Non Islam.* Bagi Muslim keikutsertaan PPN sebagai representasi Negara dalam pemeriksaan, kehadiran dan persaksian PPN terhadap peristiwa perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang sinergis. Hal ini karena banyaknya iktilafiyah hukum yang menentukan syarat dan rukun dalam menentukan keabsahan perkawinan. Sedangkan bagi Non Muslim keikutsertaan PPN sebagai representasi Negara dalam perkawinan adalah wujud dari campur tangan negara terhadap agama. Dalam prinsip Non Muslim, khususnya dalam hal ini Kristen, urusan agama dan negara harus terpisah (sekuler). Karenanya, sejak tahun 1983 prosedur pelaksanaan perkawinan sebagaimana ditetapkan PP No. 9/1975 tersebut, oleh kalangan non muslim tidak dijalankan. Dengan adanya Instruksi Mendageri pada tanggal 1 Juni 1989 telah disebutkan bahwa Kantor Catatan Sipil (sekarang Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) tidak berwenang melaksanakan perkawinan, kecuali hanya berfungsi sebagai lembaga pencatatan perkawinan bagi non-muslim dengan merujuk pada Keppres No. 12 Tahun 1983 dan SK Mendagri No. 55
Tahun 1983. Hingga saat ini, prosedur pelaksanaan perkawinan bagi non-muslim dilakukan sendiri dengan melibatkan para pemuka agama masing-masing. Dengan surat keterangan dari pemuka Agama, maka akta perkawinan bagi non-muslim dapat dikeluarkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil tanpa ada proses penelitian dan pemeriksaan lebih lanjut serta perkawinan tidak dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat perkawinan
Keempat macam pencatatan peristiwa penting tersebut mempunyai kedudukan hukum yang sama secara materiil. Artinya pencatatan tersebut harus dilakukan sesuai kenyataan/kebenaran MATERIIL/FAKTUAL. Penyimpangan terhadap kebenaran materiil ini merupakan pelanggaran hukum yang berakibat sanksi denda atau sanksi pidana penjara. Akibat hukum terhadap pelanggaran Pencatatan kependudukan (meliputi: Kelahiran, perkawinan, Perceraian dan kematian) akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian, yaitu hilangnya asal-usul, memutuskan hubungan darah, nasab, hak perwalian nikah atau hak pewarisan. Oleh sebab itu baik secara hukum agama (syari’at) atau secara hukum positif/peraturan perundang-undangan negara (Qonun) sangat tegas terhadap perbuatan yang berakibat hukum tersebut.
Secara hukum agama (syari’at) dapat dijumpai kisah atau peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW. mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi Zaid bin Muhammad. Allah SWT secara tegas melarang perbuatan tersebut sebagaimana surat Al-Ahzab ayat 40 dan ancamannya sebagai dalam hadits-hadits Rasulullah Saw.
Adapun secara hukum positif/peraturan perundang-undangan negara (Qonun) sanksi dari perbuatan yang menyimpang atau pelanggaran hukum telah diatur sebagaimana berikut:
- Melanggar pasal 1 UU No. 32 Tahun 1954 jo. UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk, karena pencatatan perkawinan yang tidak sesuai dengan fakta
- Melanggar pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Melanggar Pasal 172 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang KHI.
- Melanggar pasal 4 PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
- Pasal 77 UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Sanksi pelanggaran diatur dalam pasal 94 UU No. 24 Tahun 2013 jo. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
- Melanggar Pasal 1 dan pasal 39 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sanksi pelanggaran ini diatur dalam pasal 79 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- Melanggar pasal 277 KUHP, yaitu usaha menggelapkan asal-usul orang
Apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan problem dari fenomena tersebut? Tentunya untuk menyelesaikan persoalan tersebut menurut kajian penulis ada beberapa sebab, yaitu Inkonsistensi KUA dalam pelaksanaan teknis dalam instrumen pencatatan nikah seringkali tidak dari ketentuan yang ada. Ada berbagai alasan yang dalam melakukan tersebut pertama, keinginan untuk mempermudah atau tidak mempersulit dengan atas dasar pelayanan yang memuaskan. Kedua, berbagai fihak baik dari internal KUA, tokoh agama atau masyarakat berada pada rel hukum masing-masing. Usaha membenturkan (dikotomi) hukum negara dengan hukum agama menjadi salah satu pemicu adanya anggapan hukum negara (administrasi) tidak diperhatikan atau terabaikan. Padahal sejatinya hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia berlandaskan SIMBIOTIK (Relasi Agama vs Negara) dan bukan paradigma Integralistik atau sekuleristik. Ketiga, adanya FSICO-HIRARKIS, dimana adanya desakan yang kuat dari calon pengantin atau keluarganya pada KUA untuk melakukan layanan yang dikehendakinya, karena adanya kesulitan melakukan perbaikan dokumen kependudukan di Dispendukcapil. Calon pengantin atau keluarganya lebih memilih menekan atau mendesak KUA daripada lainnya.
Dengan ketiga sebab tersebut di atas perlu adanya upaya nyata dari KUA, yaitu:
Pertama, melakukan aktualisasi diri dan upaya eklporasi hukum perkawinan. Dengan adanya peningkatan pengetahuan tersebut KUA dapat melakukan transformasi keilmuan pada berbagai calon pengantin atau pihak-pihak lainnya.
Kedua, melakukan koordinasi untuk membangun kesepahaman dengan instansi terkait atau Dispendukcapil agar melainkan pembetulan atau Pembatalan data kependudukan yang tidak sesuai dengan fakta. Upaya ini adalah Bagain dari wujud dari KEBIJAKAN HUKUM AFIRMATIF yang kewenangannya diberikan penuh kepada Dispendukcapil sebaimana PERPRES No. 96 Tahun 2018 dan Permendagri No. 108 Tahun 2019. (pembahasan ketentuan hukum ini dibahas pada tulisan: https://pustakapenghulu.apripusat.or.id/memaknai-pemberl…no-30-tahun-2024/3909)
KESIMPULAN
Pernikahan adalah peristiwa penting dalam kehidupan setiap warga negara yang harus dicatat