Salah satu dalil yang digunakan dalam penentuan masalah nasab bagi anak hasil zina adalah hadis yang berisi sengketa nasab antara Sa‘ad ibn Abi Waqqash dengan ‘Abd ibn Zam‘ah. Menariknya, dalam hadis tersebut, sebagaimana dipahami oleh Al-Nawawi dalam syarahnya, Al-Minhaj, Rasulullah memberlakukan hukum lahir dan hukum batin.
وَفِيْ هَذَا الْحَدِيْثِ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ لَا يُحِيْلُ الْأَمْرَ فِيْ الْبَاطِنِ فَإِذَا حَكَمَ بِشَهَادَةِ شَاهِدَيْ زُوْرٍ أَوْ نَحْوِ ذلِكَ لَمْ يَحِلَّ الْمَحْكُوْمُ بِهِ لِلْمَحْكُوْمِ لَهُ
“Dalam hadis ini diketahui bahwa hukum yang diputuskan seorang hakim tidak dapat mengubah realitas perkara yang sebenarnya. Maka jika seorang hakim memutus sebuah perkara berdasarkan kesaksian palsu dua orang saksi atau pun yang lain maka putusan itu tidak halal bagi pihak yang diuntungkan.” (Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim ibn al-Hajjaj: 5, 188)
Hukum lahir dapat dipahami sebagai putusan yang diberikan oleh hakim (qadli) di majelis persidangan. Sedangkan hukum batin adalah realitas yang terjadi sebenarnya.
Menariknya lagi, hukum lahir dan batin pada masalah anak zina ini seluruhnya terakomodir dalam putusan Rasulullah ketika ‘memberikan’ nasab bagi ‘Abd ibn Zam‘ah sebagai pemilik firasy sekaligus memerintahkan Sawdah binti Zam‘ah untuk menutup diri. Meskipun jika ditilik lebih dalam, dua hukum ini saling bertolak belakang satu sama lain.
Putusan Rasulullah inilah yang diimplementasi seluruhnya oleh Sayyid ‘Abd al-Rahman dalam menuliskan dua masalahnya tentang status nasab anak hasil zina dalam Bughyah al-Mustarsyidin. Pendapat Bughyah ini yang menurut penulis lebih tepat diterapkan dalam masalah kawin hamil di Indonesia sebagaimana telah diulas beberapa waktu yang lalu (baca selengkapnya di Relevansi Pendapat Bughyah bagi Kawin Hamil).
Sebagai konsekuensi dari pendapat Bughyah ini, pengingkaran anak harus dilakukan oleh suami sekaligus ayah biologis si anak. Karena ketika terjadi kawin hamil, suami atau ayah biologis si anak ini menjadi firasy bagi ibu si anak hingga menyebabkan berlakunya hukum lahir pada masalah nasab si anak, mengikuti redaksi hadis,
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Seorang anak menjadi milik pemilik ranjang (di mana anak tersebut dilahirkan), sedangkan bagi pezina tidak memiliki hak apa-apa terhadapnya.” (H.R. Muslim)
Oleh karenanya, untuk membatalkan hukum tersebut dan beralih kepada hukum batin, suami sekaligus ayah biologis si anak harus melakukan pengingkaran atau dalam redaksi Bughyah disebut nafy.
Sayangnya, regulasi perkawinan dan peradilan di Indonesia tidak memungkinkan untuk suami atau ayah biologis si anak melakukan pengingkaran anak. Menurut penulis, hal ini karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 sudah kadung mendefinisikan anak yang sah sebagai “anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”, sehingga selama anak tersebut lahir dalam ikatan perkawinan (kawin hamil) tetap dihukumi sebagai anak yang sah dan memiliki hubungan nasab dengan ayahnya.
Cantolan hukum ini dari sisi fikih munakahat agaknya merujuk pada misalnya mazhab Hanafi sebagaimana dijelaskan Ibn Mazah,
رجل زنى بامرأة فحملت منه فلما استبان حملها تزوجها الذي زنى بها فالنكاح جائز، فإن جاءت بالولد بعد النكاح لستة أشهر فصاعداً يثبت النسب منه وترث منه، لأنها جاءت به في مدة حمل بأنه عقيب نكاح صحيح، فإن جاءت به لأقل من ستة أشهر لا يثبت النسب ولا ترث منه إلا أن يقول: هذا الولد مني ولم يقل من الزنى.
Ketika ada seseorang berzina dengan perempuan sampai hamil, kemudian menikahinya, maka bila ia melahirkan setelah enam bulan atau lebih, nasab anak tersebut bisa sambung dengan suaminya, tapi bila anak lahir kurang dari enam bulan, maka anak tidak bisa sambung dengannya, kecuali suami mengakui itu anaknya dan tidak mengatakan anak hasil zina. (Ibn Mazah, Al-Muhith al-Burhani)
Sebagai implikasi dari definisi tersebut, KHI pasal 101, “Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li‘an”, harus dipahami dalam konteks hukum turunan pasal 9, bahwa pengingkaran anak tidak berlaku bagi masalah kawin hamil.
Pun demikian dengan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang gugatan pengingkaran anak tidak berlaku pada kawin hamil. (7) Gugatan penyangkalan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah dapat dilakukan dengan cara li‘an, dengan ketentuan: (a). Jika anak lahir sebelum masa 180 (seratus delapan puluh) hari sejak hari perkawinan dilangsungkan (kecuali anak tersebut hasil hubungan suami istri sebelum dilakukan perkawinan); (b). Jika suami dapat membuktikan bahwa anak yang berusia 180 (seratus delapan puluh) hari atau lebih dalam kandungan istrinya, atau anak yang dilahirkan bukan anaknya yang sah karena dia dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan hubungan biologis dengan istrinya.
Mazhab yang dipilih dalam KHI ini (Hanafi?) pada dasarnya dapat diaplikasikan meski ‘bertentangan’ dengan mazhab mayoritas yang diacu di Indonesia (Syafii) karena kaidah yang menyebutkan,
حكم الحاكم يرفع الخلاف
“Hukum (yang dipilih oleh) hakim menghilangkan perbedaan pendapat (mazhab).”
Jika timbul pertanyaan, mengapa memunculkan tulisan ini jika tetap mengakui mazhab yang digunakan oleh KHI? Jawabannya karena penulis menganggap bahwa mazhab Syafii dalam masalah kawin hamil lebih relevan untuk diterapkan sebagaimana telah diulas dalam tulisan sebelumnya. Selain itu, banyak juga dari kalangan penghulu yang ‘mendua’ dan tidak konsisten mengikuti KHI sehingga memunculkan kritik . Wallahu a‘lam bi al-shawab. []