Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan di mata Allah SWT. Dalam prosesi pernikahan, terdapat beberapa syarat penting yang harus dipenuhi, salah satunya adalah mahar. Mahar, atau sering disebut maskawin, bukan sekadar simbol materi, tetapi memiliki makna mendalam yang mengandung keutamaan, kasih sayang, dan tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga.
Mahar adalah pemberian wajib dari seorang laki-laki kepada calon istrinya dalam akad nikah. Urgensi mahar ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang wajib dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa: 4)
Pemberian mahar bukanlah suatu beban yang memberatkan, melainkan bentuk penghargaan kepada calon istri dan sebagai tanda keseriusan dari seorang pria kepada calon istrinya dalam membina rumah tangga.
Mahar menjadi tanda kesungguhan seorang pria untuk membangun keluarga. Dengan memberikan mahar, seorang suami menunjukkan bahwa ia siap bertanggung jawab, baik secara materi maupun non-materi, dalam menjalani pernikahan. Mahar juga mencerminkan penghormatan seorang suami kepada istrinya. Pemberian ini menegaskan bahwa sang istri adalah sosok yang berharga dan mulia. Hal ini juga dapat mengangkat derajat wanita sesuai ajaran Islam yang menempatkan wanita sebagai bagian penting dalam keluarga. Mahar bukan sekadar symbol belaka, akan tetapi juga bagian dari ibadah yang mendatangkan pahala. Ketika diberikan dengan ikhlas dan penuh keridhaan, mahar menjadi sebab turunnya berkah dalam rumah tangga yang akan dibangun.
Mahar merupakan hak mutlak yang diberikan kepada calon istri. Setelah diterima, mahar sepenuhnya menjadi milik istri tanpa boleh diganggu gugat oleh siapapun, bahkan suaminya sendiri. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat memuliakan kaum wanita. Mahar menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan yang meminimalisir konflik di kemudian hari. Hal ini membantu memperjelas kesepakatan antara kedua belah pihak, sehingga pernikahan berjalan dengan penuh kejujuran dan keridhaan.
Mahar yang disyariatkan dalam Islam tidak harus mahal atau memberatkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan).” (HR. Abu Dawud)
Hikmahnya adalah agar pernikahan tidak menjadi sulit dan semua lapisan masyarakat dapat menikah dengan mudah. Kesederhanaan dalam mahar mengajarkan bahwa kebahagiaan rumah tangga tidak bergantung pada nilai materi semata. Mahar menjadi pemberian pertama dari suami kepada istri, sehingga dapat menjadi simbol awal cinta dan kasih sayang yang tulus. Hal ini menumbuhkan rasa syukur dan penghargaan terhadap satu sama lain. Dengan memahami bahwa mahar adalah bentuk ketaatan terhadap perintah Allah, mahar memiliki makna spiritual yang mendalam. Suami dan istri akan merasa lebih dekat dengan Allah karena telah menjalankan perintah-Nya dengan penuh kerelaan. Selain itu mahar sering kali memiliki nilai emosional bagi seorang istri. Baik berupa cincin, perhiasan, atau bentuk lainnya, mahar menjadi kenang-kenangan indah yang mengingatkan istri pada awal pernikahan dan perjuangan suami.
Rasulullah ﷺ memberi contoh bahwa mahar dapat disesuaikan dengan kemampuan suami. Mahar yang diberikan tidak harus berwujud harta berlimpah. Bahkan ada mahar sederhana namun penuh makna, seperti:
- Ali bin Abi Thalib memberikan baju besi sebagai mahar ketika menikahi Fatimah Az-Zahra.
- Seorang sahabat Nabi yang tidak memiliki harta memberikan hafalan Al-Qur’an sebagai mahar untuk istrinya.
Hal ini mengajarkan bahwa mahar bukanlah ukuran kekayaan, tetapi niat tulus dan kemampuan suami yang diterima dengan ikhlas oleh istri.
Mahar dalam pernikahan memiliki peran penting sebagai simbol tanggung jawab, penghargaan, dan cinta seorang suami terhadap istrinya. Lebih dari sekadar formalitas, mahar adalah kewajiban syariat yang membawa berkah dan hikmah besar bagi kehidupan rumah tangga. Dalam Islam, mahar diajarkan untuk bersifat mudah, sederhana, dan penuh keikhlasan agar pernikahan menjadi lebih harmonis dan diberkahi Allah SWT. Dengan memahami makna mahar yang sesungguhnya, kita dapat menyadari bahwa nilai kebahagiaan dalam pernikahan tidak diukur dari besarnya mahar, melainkan dari ketulusan, tanggung jawab, dan keberkahan yang mendasari ikatan suci tersebut.
Jadi bagaimana? Sudah mendapatkan gambaran tentang mahar apa yang akan kamu berikan kepada calon istrimu nanti? Atau tersadar dengan mahar yang sudah kamu berikan kepada istrimu dulu pada waktu awal menikah? Semoga bermanfaat.
Muhamad Fathul Arifin – Penghulu KUA Kesugihan, Cilacap