“Dimensi Ilahiah: Isra’ Mi’raj dalam Lensa Sains dan Shalat”

          “Dimensi Ilahiah: Isra’ Mi’raj dalam Lensa Sains dan Shalat”

Oleh : Dian Rachmat , SHI, M.Sy ( Kepala KUA Tawang Kota Tasikmalaya )

1. Eksplorasi Makna  Isra Mi’raj

Sebagian kaum Mutaakhirin menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah berisra’ dari Mekah ke Baitul Maqdis saja, di lain waktu dari Mekah ke langit saja, dan di lain waktu dari Mekah ke Baitul Maqdis, lalu ke langit. Mereka bergembira dengan paham ini dan merasa telah berhasil memperoleh kesimpulan yang dapat melepaskan diri dari berbagai kesulitan. Keterangan mereka itu sangatlah menyimpang. Keterangan itu tidak dikutip dari seorang ulama salaf pun. Andaikan Israa’ itu bervariasi, niscaya Nabi Muhammad saw akan memberitahukan kepada umatnya dan niscaya manusia akan mengutipnya secara berulang dan berulang.

Musa bin Uqbah meriwayatkan dari az-Zuhri, “Israa’ terjadi satu tahun sebelum hijrah.” Demikian pula menurut Urqah. As- Sa’di berkata, “Terjadi pada 16 bulan sebe Jun hijrah. Yang benar adalah bahwa Nabi Muhammad saw diisra’kan dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur, dari Mekah ke Baitul Maqdis sambil menunggang Buraq. Setelah beliau tiba di pintu Masjidil Aqsha, beliau menambahkannya di dekat pintu. Kemudian, beliau masuk dan mengerjakan shalat tahiyatul masjid dua rakaat.

Kemudian, di sajikanlah sebuah tempat seperti tangga yang bertitian untuk naik. Nabi Muhammad saw menitinya dan naik ke langit dunia, kemudian ke langit lainnya yang berjumlah tujuh buah, Pada setiap langit, beliau dengan para penghuninya dan mengucapkan salam kepada nabi yang berada di berbagai langit selaras dengan kedudukan dan derajat mereka hingga beliau bertemu dengan Musa al-Kalim di langit keenam dan Ibrahim di langit ketujuh. Kemudian, nabi melampaui kedudukan kedua nabi itu dan para nabi lainnya hingga beliau tiba di Mustawa dan dapat mendengar berderitnya pena pencatat takdir yang akan terjadi. Beliau melihat Sidratul Muntaha dan tertutup-atas perintah Allah Ta’ala–dengan kemuliaan yang besar berupa tirai emas dan dengan aneka warna. Para malaikat yang menutupnya. Di sana, beliau melihat sosok Jibril yang memiliki 600 sayap Beliau melihat Rafraf hijau yang menutupi ufuk. Beliau juga melihat Baitul Ma’mur, sedang Ibrahim, pendiri Ka’bah pumi, tengah bersandar ke sana. Baitul Ma’mur merupakan Ka’bah langit. Setiap hari, mpat itu dimasuki 70.000 malaikat dan mereka tidak kembali lagi dari sana hingga ri Kiamat. Beliau melihat surga dan neraka. Allah memfardukan shalat lima puluh di sana. Kemudian, Dia meringankan- menjadi lima kali sebagai tanda kasih sayang-Nya dan kelembutan kepada hamba-Nya. Pemberlakuan kewajiban shalat di sana menunjukkan bahwa betapa shalat sangat penting, mulia, dan agung

Al-Hafizh Ibnu Katsir telah menampilkan hadits yang berbeda-beda kualitas kesahihan dan kelemahannya Namun, Kami membelikan untuk Anda hadits-ahad yang shahih saja seperti dijelaskan di atas; hadis yang menguatkan kepada Anda bahwa isra’ dan mikraj benar, bukan imajinasi, dilakukan ketika sadar, bukan  ketika tidur, berikut jasmani dan rohani.

Kemudian, Nabi Muhammad saw turun ke Baitul Maqdis dan turun pula para nabi bersamanya. Dia shalat bersama mereka ketika tiba waktunya. Di antara ulama, ada yang berpendapat bahwa beliau mengimami mereka di langit. Namun, menurut penjelasan beberapa riwayat hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Sebagian riwayat juga mengatakan bahwa shalat itu terjadi saat beliau pertama kali memasukinya Yang jelas bahwa shalat itu dilakukan setelah dia kembali ke Masjidil Aqsha, sebab tatkala dia melintasi mereka pada tempat masing-masing, mereka bertanya kepada Jibril siapa yang menyertainya, dan Jibril memberitahukan siapa dia. Inilah pendapat yang relevan karena tujuan utama menghadap Zat Yang Mahatinggi ialah untuk menerima kewajiban shalat baginya dan umatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah beliau menerimanya, maka Nabi Muhammad saw berkumpul dengan saudara- saudaranya dari kalangan para nabi. Kemudian, Allah menonjolkan kemuliaan dan keutamaannya atas nabi lain dengan menjadikannya sebagai shalat melalui isyarat yang diberikan Jibril. Kemudian, Nabi Muhammad saw keluar dari Baitul Maqdis, lalu menunggangi Buraq dan pulang ke Mekah pada akhir malam. Allah Maha Mengetahui tentang hal itu.

Kemudian, khalayak berikhtilaf, apakah Isra’ itu berikut tubuh dan rohnya atau ruhnya saja? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa Isra’ itu berikut badan dan rohnya, dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur. Mereka tidak menolak jika sebelum itu Rasulullah memimpikan hal itu, setelah melihatnya dengan sadar, sebab bermimpi melainkan mum pert falak di waktu subuh Kemudian, terjadilah Israa dalam keadaan sadar dan nyata. Yang landasan pendapat itu ialah fir Allah Ta’ala, “Maha Suci Dzat Yang telah jadikan hamba-Nya pada malam hari Magadhi Apsha yang telah Kami berkati se “Ungkapan tasbih hanya diguna- Lan ketika menghadapi perkara yang hebat. Dengan demikian, jika Israa terjadi dalam mimpi, berarti ia bukan perkara yang besar dan tidak dianggap besar. Tatkala kaum kafir Quraisy mendustakannya dengan cepat, sebagian orang muslim menjadi murtad

Selain itu, hamba berarti terdiri dari kesatuan antara ruh dan jasad, maka ini pun menunjukkan besarnya perkara Israa. Allah Ta’ala berfirman, “Memperjalankan hamba-Nya pada malam hari. Lalu, Firman Allah Ta’ala pada surah al-Israa ayat 60. “Dan tidaklah Kami menjadikan mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu, melainkan merupakan ujian bagi manusia,” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, yaitu melihat dengan mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada malam Isra”. Demikian diriwayatkan Bukhari.

Firman Allah Ta’ala, “Penglihatannya tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak melampauinya.” (an-Najm: 17) Mata merupakan perangkat fisikal, bukan mentalistik. Ayat ini pun ditafsirkan kepada Buraq, yaitu binatang tunggangan yang putih berkilau dan memiliki dua mata. Melihat hanya berlaku bagi tubuh, tidak bagi ruh sebab roh tidak memerlukan tunggangan ketika bergerak. Wallahu a’lam.

Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Asfahani me- riwayatkan keterangan dalam buku Dala-ilun Nubuwwah dari jalur Muhammad bin Umar al-Waqidi, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi. Ringkasannya demikian, “Tatkala Heraklius memanggil Abu Sufyan dan menanyakan kepadanya tentang Rasulullah. maka Abu Sufyan berusaha menjawab dengan nada menghina beliau. Dia berkata, ‘Wahai paduka, maukah aku ceritakan kepada engkau sebuah kisah sehingga engkau mengetahui bahwa Muhammad telah berdusta? Heraklius berkata. “Cerita apakah itu? Abu Sufyan berkata, ‘Dia mengatakan bahwa dirinya telah pergi ke negeri Kami, negeri Haram, dalam satu malam, lalu tiba di masjid páduka, yaitu Masjid Iliya (Baitul Maqdis) ini. Dan pulang kepada Kami pada malam itu juga sebelum subuh.”

Abu Nu’aim berkata, “Saat itu, Patrik Elia berada di sisi Kaisar. Patrick Elia berkata, ‘Aku tahu malam yang dimaksud ftu.” Perawi berkata, “Kemudian, Kaisar melirik patrick dan berkata, ‘Apa yang kamu ketahui mengenai hal ini? Patrik menjawab, ‘Sesungguhnya, aku tidak bisa pergi tidur sebelum mengunci semua pintu masjid. Pada malam itu pun aku mengunci semua pintu, kecuali satu. Aku tidak mampu menutupnya. Maka, aku pun meminta bantuan kepada para pekerja dan orang-orang yang ada di sana. Namun, Kami tidak mampu menggerakkannya. Seolah-olah pintu itu di- himpit oleh sebuah gunung. Kemudian, aku memanggil sejumlah tukang kayu. Mereka memeriksakannya, lalu berkata, ‘Pintu ini terhimpit kusen atas (ambang) dan ba- ngunan masjid. Kami tidak sanggup mem betulkannya, kecuali siang hingga Kami mengetahui sumber himpitannya.”

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *