“MASJID RAMAH” sebagai icon nyata di Indonesia (sebuah gagasan dan pemikiran)

“MASJID RAMAH” sebagai icon nyata di Indonesia (sebuah gagasan dan pemikiran)

Pendahuluan

       Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Kemenag RI 2020-2024 sebanyak 2.640 masjid se-Indonesia, dengan lima masjid per kabupaten/kota ditargetkan masuk ke dalam kategori “Masjid Ramah”. Di Indonesia, tempat peribadatan (shalat) ummat Islam itu, di samping dikenal dengan sebutan masjid, juga dikenal beberapa sebutan lainnya, seperti : surau, langgar, tajugmushalla. Untuk masjid pun, dikenal juga sebutan tambahan, ada yang disebut masjid agung, masjid raya, masjid jami’ dan sebagainya. Keragaman istilah ini, terkait dengan fungsi, ukuran, kepemilikan dan keberadaannya. Dalam perkembangan terakhir, di kota-kota besar di Indonesia, yang semakin hari semakin padat dan sempit, banyak dibangun masjid atau mushalla yang bersatu dengan gedung-gedung besar atau komplek-komplek bangunan, seperti perkantoran, pertokoan, pasar, terminal bahkan sampai sampai di tempat-tempat hiburan. Sebaliknya, banyak juga masjid-masjid besar dan bertingkat, sehingga memiliki banyak ruangan yang bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan di luar kegiatan peribadatan.

       Masalahnya sekarang adalah sampai dimana batasan masjid dalam berbagai sebutannya di atas, kriteria, adab-adab serta aktifitas dan kegiatan macam apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan di dalamnya. Inilah yang menjadi pokok masalah perlunya dirumuskan fiqh masjid, yakni pemahaman yang mendalam dan otentik terhadap berbagai ketentuan dan informasi yang berkaitan dengan masjid serta regulasi khusus berupa undang-undang yang mengatur secara kompleks dalam kemasjidan.

         Masjid, siapapun sudah mengenal nama ini, baik yang muslim maupun non muslim. Setiap orang yang mendengar kata tersebut pasti di benaknya sudah terbayang sebuah tempat, dimana orang melakukan ritual ibadah sholat, mengaji, mendengarkan tausiah dan sejenisnya. Sebenarnya fungsi masjid saat ini sangat berbeda dengan fungsi masjid pada masa-masa berdirinya Islam. Masjid pada masa Rasulullah Muhammad SAW, adalah bagian tak terpisahkan dari perkembangan agama Islam. Karena masjid menjadi pusat dari perkembangan Islam itu sendiri. Pada tulisan ini, penulis ingin sedikit menjelaskan kepada para pembaca agar lebih memahami, bahwa masjid memiliki peran yang sangat fital dalam kemajuan peradaban Islam. Dengan pemahaman tetang fungsi dan peran masjid, diharapkan agar kita lebih memakmurkan masjid, sehingga kemajuan Islam yang dulu pernah bermula dari masjid akan terulang di masa kini.

 Masjid Ramah sebagai icon nyata di Indonesia (sebuah gagasan dan pemikiran)

      Pada awalnya perkembangan di masa Rasulullah Muhammad SAW, masjid menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan agama Islam. Masjid menjadi pusat dari perkembangan Islam itu sendiri. Pada masa awal perkembangan Islam di nusantara pun, tidaklah lepas dari pengoptimalan peran dan fungsi masjid tersebut. Hal ini terlihat dengan banyaknya masjid-masjid kuno yang terdapat diberbagai pelosok nusantara yang masih terpelihara dengan baik, dan dianggap sebagai warisan kebudayaan Islam. Antara lain Masjid Agung Demak, Masjid Sunan Ampel, Masjid Sunan Kudus, dan lain sebagainya. Hingga akhirnya disetiap desa didirikan sebuah masjid yang disebut masjid desa dikerenakan pentingnya keberadaan masjid itu sendiri dalam penyebaran agama Islam.

      Dengan dikembalikannya peran dan fungsi masjid, berarti mengembalikan arti pentingnya Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam artian masjid dapatlah Kembali menjadi basis dari dakwah umat Islam tersebut. Masjid tidak hanya sebagai tempat untuk menunaikan shalat ataupun tempat untuk merayakan hari besar keagamaan, tetapi juga dapat difungsikan sebagai pusat dakwah, pusat ekonomi masyarakat, serta pendidikan keagamaan, dan juga pusat perkumpulan dari berbagai macam organisasi masa ke Islaman, yang diharapkannya nanti dapat menjadi sarana pemersatu umat.

  1. Konsep tentang masjid

         Kata masjid terulang sebnyak 28 kali di dalam Al-Qur’an, menurut pendapat dari M. Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i Atas berbagai Persoalan Umat. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan patuh hormat dan takzim, berdasarkan buku Ensiklopedi Islam, halaman 169.

         Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriyah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang di khususkan untuk melaksanakan sahalat dinamai masjid, yang artinya “tempat bersujud”. Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan Allah semata. Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.

  1. Masjid pada Masa Rasulullah SAW 

         Ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau membangun lahir benih masjid besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah tempat peradaban, atau palin tidak, dari tempat tersebut lahir benih peradaban baru umat manusia.

      Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah Saw., adalah Masjid Quba’, kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari perbedaan  pendapat ulama tentang hal tersebut. Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yaitu sebagai :

  1. Tempat ibadah (shalat, zikir).
  2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi- social budaya).
  3. Tempat pendidikan.
  4. Tempat santuanan sosial.
  5. Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
  6. Tempat pengobatan para korban perang.
  7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
  8. Aula dan tempat menerima tamu.
  9. Tempat menawan tahanan, dan
  10. Pusat penerbangan atau pembelian agama.

      Agaknya masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain :

(a) Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama.

(b) Kemampuan Pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.

(c) Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam dan  khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan dan syura (musyawarah).

  1. Masjid Zaman Sekarang

         Masjid pada masa kini telah berubah, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid. Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak bahwa masjid tidak dapat berperan didalam hal-hal tersebut.

         Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi. Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas. Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik desa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yan terpelajar maupun tidak  sehat atau sakit, serta kaya dan miskin. Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk :

(a) Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.

(b) Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar meski tanpa bercampur

dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

(c) Ruang pertemuan dan perpustakaan.

(d) Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.

(e) Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.

Semua hal di atas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun harus tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub. Hal terakhir ini perlu mendapatkan perhatian, karena menurut pengamatan sementara pakar, sejarah kaum Muslim menunjukkan estetika suatu masjid sering ditandai dengan kedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya. Seakan-akan nilai arsitektur dan estetika dijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi kekurangan atau kelumpuhan tersebut.

         Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara. Segala sesuatu yang diduga mengurangi kesucian masjid atau dapat mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid. Salah satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang tidak wajar terlihat pada masjid (dan sekitarnya) adalah kehadiran para pengemis.

           Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada pengunjung dan lingkungannya, karena Rasulullah Saw., melarang adanya benih-benih pertengakaran dalamnya, fungsi masjid paling tidak dinyatakan oleh hadis Rasulullah Saw., ketika menegur seseorang yang membuang air kecil (di samping) masjid :

Masjid-masjid tidak wajar untuk tempat kencing atau (membang sampah). Ia hanya untuk (dijadikan tempat) berzikir kepada Allah Ta’ala, dan membaca (belajar) Al-Qur’an. (HR Muslim).

          Dengan kata lain, masjid adalah tempat ibadah dan pendidikan dalam pengertiannya yang luas. Bukanlah Al-Qur’an berbicara tentang segala aspek kehidupan manusia. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama islam namun tetap menghargai perbedaan agama yang ada. Tak heran jika Menteri Agama pun mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Terbaru tentang Pengurus Masjid untuk ikut mengelola kepengurusan masjid yang ada di Seluruh Indonesia.

           Pada dasarnya mesjid berfungsi sebagai tempat beribadahnya umat muslim, lebih dari itu bisa dimaksimalkan sebagai madrasah atau tempat belajar umat islam juga. Untuk bisa sampai pada tahapan tersebut tentunya membutuhkan Pengurus Masjid yang berdedikasi tinggi. Menteri Agama cukup konsen untuk menjadikan masjid sebagai awal peradaban umat islam dalam mengembangkan kemajuan. Ada banyak hal positif dan kebaikan berangkat dari masjid, seperti berbagi atau menjadi tempat mencari ilmu. Pengurus masjid atau biasa disebut takmir masjid berperan untuk memajukan sebuah masjid. Kehadiran pengurus masjid bisa menentukan arah untuk membawa jamaahnya ke kehidupan yang lebih baik terutama dalam hal ibadah kepada Allah swt.

       Selain tempat ibadah, mesjid dijadikan sebagai pusat pembinaan umat yang sangat ditentukan oleh kemampuan pengurus masjid dalam mengelola sumber daya yang ada. Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur kehidupan warganya dalam berbagai bidang termasuk kehidupan beragama. Pengurus masjid memiliki peran penting dalam kehidupan beragama terutama agama islam yang menjadikan masjid sebagai pusat peradabannya.

       Menteri Agama telah memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan pengurus masjid melalui sebuah peraturan. Peraturan Menteri Agama No 54 2006 tentang Pengelolaan Masjid, di dalamnya ada penjelasan mengenai pengurus masjid terdiri dari siapa saja dan sebagainya.  Adapun yang tertuang dalam peraturan tersebut yakni sebagai berikut:

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *