Terkait  mengenai Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Hal tersebut termaktub dalam Ordonansi No. 8 Tahun 1961 pasal 4, 5 dan 6 ayat 1. Maka jika terjadi pernikahan antara pria yang berusia diatas 18 tahun terhadap perempuan di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan atau denda maksimal 1000 rupee ataupun keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan, memerintahkan atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur.

Pencatatan perkawinan

Di Negara Pakistan, akad perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang, maka akan diancam hukuman penjara paling lama tiga bulan dan berupa denda sebanyak 1000 Rupees. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5 Muslim Family Law Ordinance Tahun 1961.

Poligami

Terkait poligami, MFLO 1961 mengatur bahwa seorang laki-laki yang masih ter ikat dalam suatu ikatan perkawinan di larang melakukan perkawinan lagi dengan perempuan lain, kecuali setelah mendapat izin isterinya dan izin dari Dewan Arbitasi. Caranya, seorang suami yang hendak kawin lagi dengan perempuan lain melaporkan keinginannya itu kepada Dewan Arbitrasi dilengkapi dengan alasan-alasannya dan dilampiri surat izin isteri serta membayar uang sejumlah tertentu. Segera setelah surat permintaan izin dari pihak suami itu disampaikan kemudian Dewan Arbitrasi meminta nama seorang wakil dari keluarga suami dan seorang wakil dari keluarga isteri untuk duduk sebagai anggota Dewan Arbitrasi. Jika Dewan Arbitrasi kemudian melihat adanya alasan-alasan yang jelas, diperlukan dan adil, sehingga menyetujui usul perkawinan tersebut maka izin pun diberikan. Barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut, yakni melakukan akad nikah tanpa izin isteri dan Dewan Arbitrasi, diancam dengan hukuman kewajiban membayar secara sekaligus seluruh hutang mahar yang belum terbayar, dan hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak 5000 Rupee atau kedua-duanya.

Perceraian

Pengucapan talak oleh suami dapat dilakukan di luar pengadilan,  kemudian suami wajib melaporkannya kepada ketua Dewan Arbitrasi. Adapun pengaturan tentang talâq-i-tafwîd yaitu penyerahan hak menceraikan oleh suami kepada isterinya. Biasanya pendelegasian itu tercatat dalam Buku Nikah atau dalam Perjanjian Perkawinan dengan suatu syarat, misalnya  kalau  suami menikah lagi dengan wanita lain maka secara otomatis isteri berhak mengambil inisiatif perceraian dengan melaporkan dan memintanya kepada Dewan Arbitrase, sebagaimana diatur pada 18 Tahir. Talâq-tafwîd biasanya dibedakan  dua jenis perceraian lainnya yaitu perceraian secara khulu’ (khula) yang terjadi dengan tebusan tertentu oleh isteri yang dalam pelaksanaannya juga masih memerlukan persetujuan suami dan perceraian mubâra’ah dimana perceraian dilakukan karena baik isteri maupun suami memang sama-sama setuju mau bercerai.

Wasiat Wajibah

Terkait sistem kewarisan MFLO Section 4 mengatur tentang bagian warisan bagi cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu sebelum meninggalnya kakek atau neneknya. Dalam kitab-kitab fikih klasik hal ini tidak diatur dan dianggap sudah jelas, karena dalam Islam prinsipnya orang yang telah meninggal dunia terlebih dahulu tidak menerima warisan dari orang yang meninggal dunia kemudian. Pada masa lalu, ketika sistem kekeluargaan bersifat extended family (apalagi dalam sistem kesukuan) di mana cucu yatim biasanya menjadi tanggung jawab pamannya maka sistem pembagian waris demikian itu tidak menjadi persoalan. Pada masa modern sekarang di mana sistem kekeluargaan cenderung berbentuk keluarga batih (nuclear family) yang anggota keluarganya hanya terdiri atas ayah, ibu dan anak, maka kematian ayah berarti beban bagi ibu untuk menghidupi anaknya yang yatim itu. Oleh karena itu ketiadaan bagian warisan bagi anak-anak yatim itu atas harta peninggalan nenek atau kakeknya, dapat berakibat terlantarnya si cucu. Itulah sebabnya sejumlah Negara Muslim di Timur Tengah memperkenalkan sistem wasiat wajibah atau disebut obligatory bequeth, yaitu bahwa cucu yatim tersebut akan mendapatkan bagian warisan dalam bentuk wasiat otomatis dari nenek atau kakek sebesar paling banyak sepertiga bagian.

  1. Hukum Keluarga Islam di India

India adalah negara di Asia Selatan yang mempunyai penduduk terbanyak kedua di dunia setelah Tiongkok, empat agama utama dunia yakni Hindu, Budha, Jainisme, dan Sikhisme juga lahir di tanah India. Pemerintah tidak melakukan diskriminasi dan interfensi dalam masalah agama para penduduknya. India menjamin hak-hak warga negaranya dalam menjalankan agama masing-masing. mengenai keluarga dan harta milik (yakni perkawinan, perceraian, pemeliharaan, perwalian, adopsi dan warisan) orang Hindu, Muslim, Parsis, dan Kristen serta orang Yahudi, diatur oleh hukum keagamaan mereka masing-masing.

Kewajiban bagi setiap Muslim untuk menjalankan ketentuan-ketentuan agama Islam dan bertindak sesuai syariat. Meskipun dalam hukum negara India, seorang Muslim diperbolehkan memakai ketentuan yang dibuat pemerintah (yakni yang tertuang dalam The Special Marriage Act 1954), akan tetapi yang harus seorang Muslim jalani adalah sesuai apa yang tertuang dalam Syariat. Persoalan hukum keluarga Muslim di India diatur dalam The Muslim Personal Law (Shariat) Application Act 1937. Undang-undang ini lahir ketika masa pemerintahan India Inggris. Pasal 2 undang-undang tersebut menyatakan bahwa:

Application of personal law to Muslims. Notwithstanding any custom or usage to the contrary, in all questions regarding intestate succession, special property of females including personal property inherited or obtained under contract or gift or any other provision of personal laws, marriage, dissolution of marriage, including talaq, ila, zihar, lian, khula, and mubaraat, maintenance, dower, guardianship, gifts, trusts and trust properties and wakfs (other than charities and charitable institutions and charitable and religious endowments), the rules of decision in cases where the parties are Muslims, shall be the Muslim Personal Law (Shariat).”

Undang-undang tersebut hanya mengesahkan penerapan aturan syariah bagi umat Islam, tanpa mengaturnya lebih jauh. Dalam semua persoalan mengenai warisan, hak milik, perkawinan, perceraian, termasuk talak, ila, zihar, li‟an, khuluk, dan mubara‟ah, pemeliharaan, mahar, perwalian, hibah, pelimpahan properti, dan wakaf dimana para pihaknya adalah Muslim, maka harus menggunakan aturan syariah. Oleh karena itu, aturan hukum keluarga Islam di India berdasarkan dan kembali kepada hukum Islam. Kecuali dalam hal dimana telah dikhususkan pengaturannya dalam hukum positif.

Hukum syariat juga dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana hanya salah satu pihak saja yang beragama Islam. Seperti The Dissolution of Muslim Marriages Act 1939 contohnya, undang-undang ini berlaku untuk semua wanita yang “menikah di bawah hukum syariat” dan bukan hanya untuk “wanita Muslim”. Maksudnya, apabila seorang wanita Muslim menikah menurut ketentuan hukum Islam, kemudian dia murtad lalu ingin bercerai dari suaminya maka yang harus digunakan dalam kasus ini ialah hukum Islam sebagai hukum awal ia melakukan perkawinan. Ketentuan syariat juga berlaku dalam perkara kewarisan non-Muslim. Jadi, ketentuan tersebut juga berlaku bagi mereka yang menundukkan dirinya terhadap hukum syariat. Dalam The Shariat Application Act, “Muslim personal law” dan “Syariat” merupakan dua hal yang sama. Syariat adalah ketentuan yang  luas, yang di dalamnya juga mengatur mengenai hukum pribadi  atau di India disebut dengan “Personal Law‟ yang dalam bahasa Arab disebut dengan qȃnun al-ahwal al-syakhsiyyah. Maka berdasarkan Undang-Undang Tahun 1937 tersebut, ungkapan “hukum pribadi Muslim” berarti hukum pribadi umat Muslim berdasarkan syariat yang berlaku bagi seluruh umat Muslim di India, tanpa membedakan alirannya apakah Sunni, Syi’ah, Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali, Ahl al-Hadist, Itsna Asyari, Itsna Isma‟ili, atau aliran Islam yang lainnya karena mereka semua adalah Muslim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *