Ayat-Ayat Kauniyah yang Terabaikan

Diskursus interaksi antara “agama” dan “ilmu (sains)” adalah dua entitas yang seakan tak bisa dipertemukan. Sejak dulu di abad klasik hingga di era generasi Z ini. Kontradiksi keduanya seolah tak terdamaikan.   Seolah sains tidak memperdulikan agama. Sebaliknya, agama tidak memperdulikan sains.

 

Kini paradigma dikotomis itu mulai diratapi. Disesali oleh banyak kalangan. Menjadikan seolah hati nurani terlepas dari akal sehat. Menyebabkan empati, simpati dan sosial skill menipis. Begitupula distorsi pada alam, lingkungan dan lain-lain.

 

Padahal dalam sejarah, pendidikan Islam sebenarnya telah terpola paradigma keilmuan bercorak integralistik ensiklopedik. Di satu sisi. Paradigma model ini ditokohi para ilmuan seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan Ibn Khaldun. Lalu di sisi  lain tegak pula paradigma keilmuan agama yang spesifik-parsialistik. Oleh perjalanan waktu, paradigma kedua ini yang pada akhirnya lebih dominan. Dikembangkan terutama oleh para ahli hadis dan ahli fikih dari abad klasik Islam. Lalu diwariskan secara turun temurun antar generasi. Hingga kini. Bermodus pola yang hampir-hampir secara taken for granted bahkan dogmatik.

 

Fenomena ini belakangan menggelisahkan bagi kalangan saintis Islam. Tak terkecuali para saintis Islam Indonesia. Beberapa di antaranya merespon kegelisahan itu secara kreatif akademik. Menuangkan kegundahannya dalam tulisan. Lalu dipublikasikan dalam bentuk sebuah buku.

 

Seperti yang dilakukan oleh Agus Purwanto. Seorang saintis asal ITS Surabaya. Guru Besar di bidang Fisika Teori ini menumpahkan kegelisahannya itu dalam sebuah buku berjudul Ayat-Ayat Semesta (AAS). Di sini Purwanto misalnya menyatakan kegelisahanya pada kondisi mayoritas umat Islam di dunia:

 

“Umat dan para ulama banyak menghabiskan waktu untuk membahas persoalan fikih. Lalu sering sekali berseteru serta bertengkar karenanya. Mereka lalai atas fenomena terbitnya matahari, beredarnya bulan, dan kelap-kelipnya bintang. Mereka abaikan gerak awan di langit, kilat yang menyambar, listrik yang membakar, malam yang gelap gulita, dan mutiara yang gemerlap. Mereka juga tak tertarik pada aneka tumbuhan di sekitarnya, binatang ternak maupun binatang buas yang betebaran di muka bumi dan aneka fenomena serta keajaiban lainnya.”(Agus Purwanto, 2008)

 

Agus Purwanto juga menegaskan kalau mayoritas umat tidak saja sekedar terjebak pada mental fikih oriented.  Tapi juga terjebak pada  pengalaman dan pengamalan keagamaan yang semata esoterik. Seraya mengabaikan dan meremehkan akal dan ilmu pengetahuan.

 

Faktanya, umat bahkan ulama cenderung mengabaikan eksistensi ayat-ayat kauniyah. Ayat-ayat yang memaparkan tentang alam semesta dan segenap isinya. Meliputi mikro kosmos dan makro kosmos. Meskipun ayat-ayat jenis ini bertebaran begitu banyak di dalam Alquran. Tinimbang ayat-ayat hukum. Dibanding ayat-ayat kauniah, ayat-ayat hukum hanya berjumlah seperlimanya. Tidak heran bila Purwanto kemudian menandaskan kembali fakta tersebut dengan pernyataan berikut:

 

“Meski ayat hukum hanya berjumlah seperlima dari ayat kauniyah, tetapi telah menyedot hampir semua energi ulama dan umat Islam. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah meskipun jumlahnya sangat banyak tetapi terabaikan. Sains sebagai perwujudan normatif dari ayat-ayat kauniyah seolah-olah tidak terkait dan tidak mengantar orang Islam ke surga atau neraka sehingga tidak pernah dibahas baik di wilayah keilmuan maupun pengajian-pengajian”.(Purwanto,  2008)

 

Dominasi pemikiran fikih oriented semacam inilah yang dikritik oleh Muhammad Arkoun. Seorang filsuf Islam moderen kelahiran Aljazair. Oleh Arkoun dominasi pemikiran sejenis ini disebut berakibat sungguh fatal. Inilah biang kerok terjadinya kejumudan berpikir umat.  Selama berabad-abad. Sebab dengan modus berpikir parsialistik serupa ini, yang terjadi kemudian umat hanya sekedar bisa melakukan pembacaan repetitif.  Lalu terjebak pada taklid buta. Umat lalu kehilangan daya kritis. Hingga tejerumus pada sikap dogmatis nan fanatis. Sesuatu yang oleh Arkoun disebut sebagai sindroma takdis al-afkar ad-diniyah. Pensakralan pemikiran keagamaan.  Sikap yang juga dikritik dengan keras oleh Cak Nur sejak dekade 70-an.

 

Cak Nur mengkritik cara berpikir ekslusif model ini. Bagi Cak Nur, gaya pikir serupa ini harus dirubah. Bila perlu dengan melakukan suatu gerakan yang disebutnya sebagai psycological striking force. Daya kejut psikologis. Dalam kerangka dan semangat perubahan inilah Cak Nur kemudian menawarkan gagasan sekularisasi. Sebuah gagasan pembaharuan, yang meskipun pada awalnya begitu kontroversial, namun substansinya masih tetap kontekstual hingga saat ini. Termasuk dalam konteks mendamaikan interaksi agama dan sains.  Pun untuk fokus yang lebih imbang antara ayat-ayat kauniyah dan hukum di kalangan umat.

📌Hayyun Nur📌

Kepala Biro Kajian Hukum Islam dan Karya Ilmiah PP APRI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *