Bayangkan sepasang anak muda, namanya Dimas dan Laila. Setelah melewati fase perkenalan yang cukup panjang, dikenalkan teman saat kajian ilmu, ngobrol seperlunya, dan istikharah berkali-kali—akhirnya mereka mantap ingin menikah. Orang tua sudah setuju, tanggal akad sudah ditentukan, gedung sudah dipesan, katering pun tinggal bayar DP.
Tapi… apakah mereka benar-benar sudah siap?
Bukan siap tampil cantik di pelaminan atau jago senyum di depan kamera. Tapi siap secara syar’i, secara fikih, secara lahir dan batin. Karena dalam Islam, menikah bukan hanya perayaan. Ini adalah tentang ibadah sepanjang hidup
Niat: Mau Menikah Karena Apa?
Langkah pertama yang sering dilupakan: memperbaiki niat.
Menikah itu ibadah. Bahkan disebut Rasulullah sebagai penyempurna separuh agama. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا تزوج العبد فقد استكمل نصف الدين فليتق الله في النصف الباقي
“Apabila seorang hamba menikah, maka sungguh ia telah menyempurnakan setengah dari agamanya.”
(HR. Baihaqi)
Jadi niat menikah itu bukan cuma karena sudah cocok, takut zina, atau ingin segera punya anak. Tapi karena ingin menjalani hidup bersama dalam ketaatan kepada Allah. Niat ini penting, karena ia menentukan bagaimana seseorang bersikap dalam rumah tangga nantinya—apakah tetap istiqamah saat senang dan susah, atau justru tumbang ketika realita tak seindah drama.
Belajar Fikih Nikah: Jangan Cuma Tahu Tanggal Resepsi
Dimas dan Laila adalah perumpamaan seperti banyak calon pengantin lainnya, mereka sibuk mempersiapkan pesta megah dan meriah. Tapi mereka lupa, bahwa sebelum resepsi, ada akad, dan sebelum akad, ada syarat dan rukun yang harus dipahami.
Menurut fiqih munakahat, sebuah pernikahan sah jika memenuhi rukun berikut:
- Ada mempelai pria dan wanita
- Ada wali nikah dari pihak perempuan
- Ada dua orang saksi yang adil
- Ada ijab kabul yang sah
Kalau salah satu unsur ini tidak ada, maka pernikahannya tidak sah menurut syariat. Inilah pentingnya belajar. Bahkan sebelum nikah, sebaiknya ikut bimbingan pra-nikah, baik yang diselenggarakan KUA atau lembaga lain yang kompeten.
Allah berfirman:
فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ ٤٣
“… Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl: 43)
Menikah tanpa ilmu itu seperti naik kapal tanpa tahu arah kompas. Bisa saja sampai, tapi bisa juga hanyut dan tenggelam di tengah jalan.
Siapkan Mental dan Akhlak, Bukan Hanya Mahar
Pernikahan bukan cuma soal sah di atas kertas, tapi juga soal tahan banting dalam hidup berdua. Cinta bisa memudar, tapi akhlak yang baik akan tetap menyelamatkan.
Rasulullah SAW bersabda:
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang taat beragama, niscaya engkau akan beruntung.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau kita hanya siap secara ekonomi, tapi tidak siap secara emosi, maka akan mudah putus asa ketika ujian datang. Maka penting bagi pasangan calon pengantin untuk bertanya pada diri sendiri:
- Sudahkah aku siap sabar menghadapi kekurangan pasangan?
- Sudahkah aku bisa mengelola emosi saat terjadi perbedaan?
- Bisakah aku jadi pasangan yang mendukung, bukan menuntut terus?
Kalau belum, maka bukan berarti tidak boleh menikah—tapi perlu belajar dan memantaskan diri lebih dulu.
Tahu Hak dan Kewajiban: Biar Tidak Baper Tiap Hari
Banyak pasangan baru yang mengira kehidupan rumah tangga itu romantis seperti drama Korea. Padahal yang ada justru: cucian numpuk, gas habis, dan telat bayar listrik. Kalau tidak tahu hak dan kewajiban masing-masing, maka bisa muncul konflik kecil yang menumpuk jadi masalah besar.
Dalam fikih, suami punya kewajiban:
- Memberikan nafkah lahir dan batin
- Memimpin rumah tangga dengan bijak
- Tidak menyakiti istri, baik fisik maupun verbal
Sedangkan istri punya kewajiban:
- Taat kepada suami dalam hal yang ma’ruf
- Menjaga kehormatan diri dan harta suami
- Menjadi penyejuk dan penenang di rumah
Semua ini bisa dijalani kalau ada ilmu dan komunikasi yang baik.
Shalat Istikharah dan Musyawarah: Agar Tidak Salah Langkah
Banyak orang terburu-buru menikah karena takut kehilangan. Padahal, dalam Islam diajarkan untuk meminta petunjuk Allah lewat istikharah.
ذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ
“Jika salah seorang di antara kalian berkehendak melakukan sesuatu, maka hendaklah ia shalat dua rakaat (selain shalat fardhu), kemudian berdoa…”
(HR. Bukhari)
Lalu, jangan lupa libatkan keluarga. Musyawarah dengan orang tua atau guru spiritual sangat membantu untuk melihat hal-hal yang kadang kita abaikan karena terlalu “baper”.
Akhir,
Siapkan Pernikahan Seperti Menyiapkan Shalat
Ketika kita mau shalat, kita berwudhu, menutup aurat, dan menghadap kiblat. Kita siapkan jasmani dan ruhani. Begitu juga dengan pernikahan. Jangan asal jadi. Tapi siapkan dengan sebaik-baiknya. Karena menikah bukan cuma soal hari H, tapi soal hari-hari sesudahnya. Nikah itu indah, jika dijalani dengan niat ibadah, dipandu dengan ilmu, dan dijaga dengan akhlak. Maka sebelum kamu mengucapkan ijab kabul, pastikan kamu sudah siap menjadi imam atau makmum dalam kehidupan yang panjang. Sebab cinta yang baik bukan yang instan, tapi yang dilandasi iman.
Untukmu yang sedang menanti hari bahagia, ingatlah:
- Menikah itu bukan pelarian dari kesepian, tapi kesiapan menghadapi ujian bersama.
- Jangan hanya mencari pasangan yang sempurna, tapi carilah yang mau sama-sama belajar.
- Jangan terlalu sibuk menyiapkan hari H, sampai lupa menyiapkan kehidupan sesudahnya.
Sebagaimana sebuah pepatah Arab mengatakan:
“Al-‘Uqud tuqaddamu qablal-‘arsy, wal-‘arsy laa yuqdimu as-sakinah”
(“Akad didahulukan sebelum pelaminan, tapi pelaminan tak menjamin kedamaian.”)
Semoga Allah mudahkan langkahmu, berkahi niat sucimu, dan jadikan rumah tanggamu sebagai jalan menuju surga, bukan hanya tempat berbagi suka, tapi juga ladang pahala dan ketenangan jiwa. Aamiin.
- Muhamad Fathul Arifin – Penghulu Ahli Pertama, KUA Kesugihan