PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

  1. Membuat Ketidak pastian dalam memilih agama

    Karena biasanya orangtua yang berbeda agama cenderung memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya. Kebebasan ini justru sebenarnya akan menjadi beban psikologis terhadap anak-anak mereka, sebab :
a. Seorang anak yang belum mencapai kematangan berfikir dan tidak memiliki wawasan  keagamaan, sesungguhnya akan membuat mereka bingung dalam menentukan pilihan agamanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka hidup dalam ketidakpastian dan akan selalu diliputi keragu-raguan.
b. Beban psikologis besar juga akan dirasakan oleh anak dari pasangan berbeda agama ini ketika mereka mempertimbangkan perasaan salah satu dari orangtuanya, apakah akan ikut agama bapak atau ibu. Hal ini tidak bisa dianggap remeh sekalipun orangtua memberi kebebasan, tetap anak akan merasakan kebimbangan dalam menentukan pilihannya.
c. Yang paling dikhawatirkan adalah, karena selalu diliputi kebingungan dan ketidakpastian pada akhirnya anak-anak mereka masa bodo terhadap agama, mereka memilih hidup bebas seperti orang yang tidak beragama. Renungkanlah……..!!!

C. PENUTUP

     Menikah beda agama masih menjadi suatu hal yang dianggap kontroversial dalam masyarakat Indonesia. Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara. Seiring dengan kemajuan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat. Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan. Hal ini setidaknya merupakan akibat dari dua hal : pertama, lemahnya pemahaman agama, kedua dampak dari proses akulturasi dan asimilasi budaya sehingga budaya-budaya yang terkesan “modern” lebih kuat pengaruhnya ketimbang ajaran agama.

        Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara. Al-Qur’an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 221, QS. Al-Maidah ayat 5, dan al-Mumtahanah ayat 10. Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa para wali nikah mempunyai peranan yang cukup besar dalam kelangsungan perkawinan puteri-puterinya atau wanita yang berada di bawah perwaliannya, sehingga mereka diperintahkan untuk tidak mengawinkan wanita-wanita Muslimah yang di bawah perwaliannya dengan orang musyrik. Terkait dengan pandangan mayoritas ulama yang tidak memasukkan ahlul kitab dalam terminologi musyrik, itu bukan berarti bahwa wanita beriman boleh kawin dengan pria ahlul kitab.

     Alasan utama larangan pernikahan orang beriman dengan orang yang tidak beriman adalah perbedaan akidah. Orang yang tidak beriman akan selalu mengajak kepada kekafiran, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan pelakunya masuk neraka. Bagaimana mungkin akan terjalin hubungan yang harmonis antara suami dan isteri, ataupun antara keluarga yang berbeda keyakinan ini, jika nilai-nilai yang mereka anut, tidak hanya berbeda, tetapi bertentangan. Pasangan yang musyrik, tentu akan berupaya setiap waktu memberikan pengaruh akidahnya kepada pasangannya yang Muslim, baik lewat ucapan maupun perbuatan. Bila keadaan ini berlangsung dalam waktu yang lama, tidak mustahil pengaruh kesyirikan itu akan masuk sedikit demi sedikit tanpa disadari, dan akhirnya tanpa disadari mereka sudah tidak lagi berbeda dari pasangannya yang musyrik itu. Selain itu, faktor lain dari larangan perkawinan dengan orang musyrik itu adalah anak.

     Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama.  Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu“.

     Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 (c) dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hukum bukan hanya sebagai refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat itu, tetapi juga ditundukkan pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Untuk itu, hukum yang baik di samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat.

      Perkembangan kontemporer manusia dalam meresmikan pasangan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan tetapi perkembangan jaman menuntun pada permasalahan baru yaitu perkawinan beda agama. Pembahasan tentang perkawinan beda agama di Indonesia merupakan suatu yang rumit. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Adapun perkawinan campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

 

REFERENSI :

  • Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran, Jakarta, 2004.
  • Ahmad Rofiq, Drs, MA. “Hukum Islam Di Indonesia”. Jakarta, PT RajaGrafindo, Cet.2, 1992.
  • Andi Sjamsu, Alam. Usia Ideal untuk Kawin, sebuah Ikhtirar Mewujudkan Keluarga Sakinah, (Jakarta : Kencana, 2006)
  • Abdurrahman, H, SH, MH. “Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia”. Jakarta, Akademika Pressindo, 1992.
  • https://beritadiy.pikiran-rakyat.com/citizen/pr-702101617/hukum-menikah-beda-agama-menurut-al-quran-lengkap-dengan-penjelasan-muhammadiyah
  • https://www.idntimes.com/news/indonesia/felia-putri-dewinta/hukum-menikah-beda-agama-begini-penjelasannya-dalam-al-quran
  • Republika Online Mobile-https://www.republika.co.id/berita/qbnsqs366/larangan-menikahi-orang-musyrik-surat-albaqarah-ayat 22,1-4.
  • Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme(Jakarta: Kapal Perempuan, 2004).
  • Al-Nawawy. “Tafsir al-Manar Li Ma’alim al-Tanzil“, Juz I, Semarang, Usaha Keluarga, tt, hal 192.
  • “Undang-Undang Perkainan No.1 Tahun 1974”. Surabaya, PT Pustaka Tinta Mas, 1997.
  • Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, (Beirut; Dār al-Ma’rifah, th 1414H/1993M) jilid II, hlm. 348-349).

 

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *