PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

      Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)

 

A. PENDAHULUAN

         Kembali Jagad dunia maya digemparkan dengan pernikahan beda agama yang terjadi kota Semarang satu tahun terakhir ini, Menikah beda agama masih menjadi suatu hal yang dianggap kontroversial dalam masyarakat Indonesia. Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara. Seiring dengan kemajuan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat. Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan, dimana soal iman seringkali diremehkan dalam sebuah proses memilih pasangan hidup. Kebanyakan orang justru mengedepankan perasaan cinta dan kriteria duniawi, dampaknya yang kita rasakan saat ini adalah meningkatnya angka keretakan rumah tangga yang disebabkan oleh perilaku yang kalau kita mau akui lebih jujur, biang keladinya adalah lemahnya iman. Ironisnya saat ini malah justru semakin banyak kasus perkawinan antar agama, yaitu perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita yang tunduk pada agama yang berbeda, demikian menurut Suparman Usman dalam bukunya yang berjudul “Perkawinan Antar Agama”.

        Tuntutan agar perkawinan antar pasangan yang berbeda agama bisa disahkan di Indonesia agaknya semakin deras belakangan ini. Apalagi hal ini umumnya dilakukan oleh para selebritis yang notabene disaksikan publik karena pernikahan mereka biasanya di blow up oleh media. Hal inilah yang kemudian dapat membentuk opini masyarakat bahwa pernikahan antar agama itu adalah hal biasa, karena secara sosiologis, sebuah kesalahan  sekalipun jika terlalu sering dibiasakan lama-kelamaan biasa  dianggap baik. Ketika muncul lagi kasus-kasus baru pernikahan beda agama ini, banyak orang atau sebagian orang masih memperdebatkan soal pernikahan beda agama. Lantas, bagaimana hukum menikah beda agama menurut Al-Qur’an dan aturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia?

B. PEMBAHASAN

     a. Landasan Berkeluarga dalam Islam

     Dalam  pandangan umum keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang minimal terdiri dari suami dan istri. Pada ayat 221 al-Qur’an Surat al-Baqarah diatas, Allah SWT memberikan tuntunan bagaimana memilih pasangan, suami atau istri yang menjadi cikal bakal dari sebuah keluarga.

       Pemilihan pasangan, suami atau istri, merupakan suatu hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam membentuk rumah tangga, karena kekuatan  bangunan  rumah tangga itu sangat tergantung pada suami dan istri sebagai pilar utamanya. Pilar ini harus kuat agar bangunan rumah tangga tetap berdiri dengan kokoh dalam menghadapi persoalan kehidupan. Kekuatan itu, tidak terletak pada kecantikan dan ketampanan, karena keduanya akan pudar dimakan waktu dan juga bersifat relatif, bukan pula pada harta kekayaan, karena harta kekayaaan itu sangat mudah datang dan pergi, dan bukan pula karena kedudukan dan status sosial, karena ini juga akan berubah sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Kekuatan pilar utama itu akan ditemukan pada kekuatan iman dan ketaatan dalam menjalankan tuntunan Allah. Oleh karena itu, tuntunan pertama dan utama yang  diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mendirikan rumah tangga adalah keimanan.

     Rasulullah saw mengingatkan agar seorang Muslim dalam menentukan pilihan jodoh tidak tertipu oleh hal-hal yang bersifat duniawi saja, tetapi harus memperhatikan keimanannya. Ibnu Majah meriwayatkan Hadits yang bersumber dari Abdullah bin ‘Amr, : “Dari Abdullah bin ‘Amr berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan mengundang malapetaka. Janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi harta bendanya akan membuatnya bertindak semena-mena. Nikahilah wanita karena agamanya. Sungguh budak hitam yang beragama itu lebih baik (Ibnu Katsīr, Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Azhīm,hlm. 560).

Di  Indonesia, perkawinan beda agama tidak hanya merupakan larangan agama, tetapi  juga telah dilarang oleh undang-undang, namun demikian tidak sedikit umat Islam Indonesia dengan berbagai alasan telah melakukan perkawinan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka. Karena negara tidak memfasilitasi perkawinan yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang, maka ada di antara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan perkawinan atau memanfaatkan jasa lembaga tertentu di Indonesia  yang memang memfasilitasi perkawinan beda agama.

Sebenarnya, Allah SWT dalam firman-firman-Nya yang tercantum di Al-Qur’an telah menjelaskan hukum pernikahan seorang muslim dengan non-muslim, atau singkatnya disebut sebagai pernikahan beda agama. Semua Ulama mayoritas sepakat bahwa sesungguhnya pernikahan antar agama ini sampai kapanpun tidak dapat dibenarkan, mengapa? Setidaknya karena ada tiga alasan:

  1. Melanggar Hukum Agama

       Al-Qur’an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ – ٢٢١

       Artinya: “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu’min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS.Al-Baqarah:221).

      Adapun  sebab  turun ayat 221 ini, menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi yang bersumber dari al-Muqatil adalah berkenaan dengan Ibnu Abi Mirtsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi ‘Anāq, seorang  wanita Quraisy yang miskin tapi cantik, namun masih musyrik, sedangkan Ibnu Abi Mirtsad seorang Muslim. Lalu Allah  menurunkan ayat ini. (Ali Ibnu Ahmad al-Wāhidī al-Naysābūrī, Asbāb al-Nuzūl, (Kairo: Maktabah al-Manār, th.1388H/ 1968M), hlm. 39)

       Kata al-musyrikāt (الْمُشْرِكَاتُ) yang berarti perempuan-perempuan musyrikdan kata al-musyrikīn (الْمُشْرِكِيْنَ) yang berarti laki-laki musyrik, merupakan bentuk jamak dari al-musyrik (الْمُشْرِكُ) yang berarti orang yang menyekutukan Allah dengan selain-Nya atau orang yang melakukan suatu kegiatan dengan tujuan utama ganda, kepada Allah dan kepada selain-Nya, misalnya  Ahlul Kitab. Dalam  Q.S. al-Taubah (9): 29-30 dijelaskan bahwa di antara  kelompok  Ahlul Kitab adalah  penganut  Yahudi  dan Nasrani. Orang-orang Yahudi  mempercayai bahwa Uzair adalah anak Allah, demikian juga orang-orang Nasrani yang mempercayai Isa al-Masih adalah anak Allah juga. Inilah yang menjadi  dasar  bagi  segolongan ulama untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan  الْمُشْرِكَاتُ dan الْمُشْرِكِيْنَ dalam  ayat  ini mencakup Ahlul Kitab.

       Di  antara  alasan  para ulama yang mengelompokkan Yahudi dan Nasrani  sebagai  ahlul kitab yang melakukan perbuatan syirik adalah firman Allah dalam Q.S.al-Taubah (9):31, yang berbunyi سُبْحَانَهُ عَمَّا ُيُشْرِكُوْنَ yang berarti  “Maha  Suci  Dia  (Allah) dari apa yang mereka persekutukan” dan Q.S.al-Nisa’ (4):48, yang berbunyiإِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَآءُ yang berarti “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain itu bagi siapa yang Dia  kehendaki”. Menurut  pendapat ini, kalau mereka bukan termasuk  orang  musyrik  tentulah Allah akan mengampuni mereka. (Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, (Beirut; Dār al-Ma’rifah, th 1414H/1993M) jilid II, hlm. 348-349). Namun demikian, sebagian  besar mufassir  mempunyai  pandangan lain. Menurut  mereka yang dimaksud dengan musyrikat  dan musyrikin  adalah musyrikat Arab yang tidak mempunyai kitab, dan mereka adalah para penyembah berhala, karena inilah makna yang biasa dipakai oleh al-Qur’an untuk  pengertian musyrik. Dengan demikian, orang Yahudi yang mengatakan Uzair anak  Allah atau orang Nasrani yang mengatakan Isa  al-Masih anak Allah dan mempercayai trinitas, yang oleh Islam dinilai telah  mempersekutukan Allah, namun al-Qur’an  tidak menyebut mereka sebagai orang musyrik, tetapi menyebut mereka sebagai ahlul kitab sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Q.S.al-Baqarah (2):105:

مَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ الْمُشْرِكِيْنَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ

   Artinya: ”Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan dari Tuhanmu”. Dan firman Allah dalam Q.S. al-Bayyinah (98) ayat 1:

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ.

       Artinya: ”Orang-orang kafir dari golongan ahlul kitab  dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”.

        Dalam  kitab  Tafsīr  Ibnu Katsīr tercantum hadis yang menjelaskan sebab  turunnya ayat 221 tersebut  (Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm,(Kairo: Dār al-Hadīs, th.1426H/2005M), jilid I, hlm.560). Ayat tersebut turun  berkenaan  dengan  Abdullah Bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba  sahaya wanita yang hitam. Pada suatu waktu Abdullah bin Rawahah marah  kepadanya, sampai  menamparnya.  Kemudian  ia  menyesali perbuatannya itu, lalu menghadap Rasulullah SAW untuk menceritakan hal itu. Kemudian  terjadilah  dialog antara Rasulullah SAW dan Abdullah Bin Rawahah sebagai berikut:

قال النبي صلى الله عليه و سلم له : ما هي يا عبد الله قال : تصوم وتصلي وتحسن الوضوء وتشهد أن لا إله إلآ الله وأنك رسول الله فقال : يا عبد الله هذه مؤمنة فقال عبد الله : فوالذي بعثك بالحق لأعتقنها ولأتزوجنها ففعل فطعن عليه ناس من المسلمين

    Artinya: “Rasulullah berkata kepada Abdullah,“Perempuan seperti apa dia?” Abdullah menjawab,“Ia berpuasa, shalat, wudhunya bagus, Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain  Allah  dan engkau utusan Allah.” Nabi bersabda,“Hai Abdullah, ini adalah perempuan mukmin.” Abdullah menjawab,“Demi Allah yang telah mengutus Engkau dengan benar, saya akan memerdekakannya dan akan mengawininya.” Kemudian  iapun  menikahinya.  Pada  waktu itu sebagian orang-orang  muslim mencela tindakannya itu.

      Hadis di atas menegaskan bahwa mengawini wanita budak, yang status sosialnya  lebih  rendah  dan tidak cantik, tetapi beriman lebih baik dari mengawini wanita musyrik, walaupun cantik, dari keturunan terhormat dan menarik hati. Di sini  ditegaskan  bahwa  dalam  menentukan  pilihan jodoh untuk dinikahi, pertimbangan utama bukan pada kecantikan, status sosial, harta kekayaan, dan seumpamanya, tetapi adalah iman. Karena dengan iman, seorang akan mencapai kesempurnaan agama dan dunia sekaligus, sedangkan dengan kecantikan, status sosial dan harta kekayaan, orang hanya akan memperoleh kesempurnaan  dunia. Kebahagiaan  rumah tangga tidak bisa dicapai hanya dengan kesempurnaan dunia semata, karena itu, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan  oleh  al-Bukhari  dan  Muslim  dari Abu Hurairah Ra dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ : تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

     Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Dahulukanlah karena agamanya, anda akan bahagia”.

     Selain QS.Al-Baqarah:221 di atas, salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hukum pernikahan beda agama adalah QS. Al-Maidah ayat 5:

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ – ٥

        Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al-Maidah: 5).

        Ayat di atas menyiratkan bahwa Allah SWT menghalalkan atau mengizinkan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim yang termasuk dalam golongan Kitabiyyah (ahli kitab) asli. Perempuan Kitabiyyah ialah perempuan Yahudi dan Nasrani. Terhadap ayat tersebut, al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam al-Syafi’I, kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya al-Qur’an, dan mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab. Sementara menurut tiga madzhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hambali, berpendapat bahwa kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama ahli kitab tersebut telah dinasakh (al-Nawawi, tafsir Munir Juz I : 192).

        Antara kata ahlul kitab dan al-musyrikin terdapat huruf athaf (menghubungkan)  yang menunjukkan bahwa keduanya berbeda, namun keduanya menunjukkan kelompok orang kafir  (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, hlm. 349).  Pendapat  yang membedakan antara musyrik dan ahlul kitab ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Maidah (5):5, yang mengizinkan seorang muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab yang berbunyi:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَآ آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلاَ مُتَّخِذِيْ أَخْدَانٍ

      Artinya: “(Dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga  kehormatan  di antara orang-orang yang diberi  al-Kitab  sebelum kamu, bila kamu  telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”.

     Dalam ayat Al-Qur’an yang lain, Allah SWT juga menjelaskan bahwa haram hukumnya seorang muslim menikah dengan orang kafir. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ – ١٠

       Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10).

      Kutipan ayat di atas berisi sebuah kisah yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW yaitu perempuan-perempuan kafir yang lari dari suaminya, kemudian memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian perempuan-perempuan yang telah memeluk Islam tersebut menjadi haram untuk kembali ke suami-suaminya yang kafir. Demikian pula suami-suaminya yang kafir tersebut menjadi haram bagi perempuan-perempuan muslim tersebut. Ayat di atas sering dijadikan landasan untuk menerangkan hukum Islam yang melarang seorang perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim.

     Muhammadiyah telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslim atau ahlul kitab di atas dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur, dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *